Dari sejak awal jadi penggila bola, khususnya Piala Dunia, saya tidak pernah merasa fanatik pada satu kesebelasan dari negara tertentu. Sebab, dalam memandang setiap pertandingan, saya lebih memilih untuk melihatnya sebagai bagian dari proses mendukung “perjuangan†sebuah kekuatan negara lemah–yang harus lebih saya bela–melawan sebuah kekuatan negara lain yang sudah kuat dan mapan. Jarang saya membela kesebelasan dari negara yang sudah mempuyai “tradisi†sebagai kekuatan sepak bola dunia, kecuali Brasil tentunya. Sebab Brasil lebih merupakan negara para seniman bola yang selalu bermain cantik dan relatif penuh kejujuran dibanding tim kesebelasan negara-negara lain pada umumnya.
Jarang rasanya kita melihat pemain Brasil bermain “sinetron†dengan memperagakan sepak bola negatif termasuk bermuslihat “menyiasati†wasit dengan aksi-aksi diving–yang disebutkan oleh salah seorang komentator sepak bola kita sebagai bagian dari “taktik yang sah†dari permainan sepakbola yang profesional [Sic!]. Gemes rasanya melihat pemain bola-yang tersentuh pun tidak-berguling-guling merintih kesakitan sambil matanya menyipit kecil ke arah wasit mengharapkan “keadilanâ€, bahkan kalau perlu pemain lawannya tersebut dikartu merah keluar lapangan!
Sepak bola saat ini memang bukan sekedar bermain bola, tetapi lebih dari itu. Permainan sepak bola sudah merupakan bagian dari suatu diplomasi dan kebanggaan suatu bangsa. Dari perspektif urusan dalam negeri, sepak bola dapat pula dianggap sebagai pelipur lara sesaat atas segala kekisruhan ekonomi, sosial bahkan juga politik. Sepak bola dapat menyatukan suatu bangsa dalam sekejap dari segala macam bentuk perselisihan sosial menjadi suatu kesatuan yang utuh tanpa syarat. Atau bahkan justru sebaliknya, sepakbola menjadi pemicu peperangan antar negara, seperti El Salvador dan Honduras di tahun 1969, misalnya. Banyak para pemimpin bangsa, yang tertolong oleh euphoria kemenangan kesebelasannya dalam ajang international sehingga memanfaatkan momen itu untuk menaikkan pamor dan popularitas dirinya.
Dalam persepktif urusan luar negeri, sepak bola dapat menjadi duta dan alat promosi yang tangguh. Coba ingat lagi ketika dalam Piala Dunia yang lalu, tiba-tiba tim Kamerun muncul di Piala Dunia (1990) mengalahkan Argentina lengkap dengan Diego Armando Maradona-nya, atau Senegal yang secara aktraktif mengalahkan Perancis di edisi pertamanya muncul dalam Piala Dunia 2002. Langsung saja banyak orang–termasuk pelaku bisnis–melirik mereka, bahkan para pemainnya kemudian laku dimana-mana, dijadikan rebutan klub-klub sepak bola besar di Eropa.
Kembali ke kesebelasan Jerman, mengapa tiba-tiba saya menjadi “fans†dadakannya. Sederhana saja, saya baru tahu ketika berada di sana bahwa kesebelasan Piala Dunia mereka saat ini adalah kesebelasan Jerman pertama yang skuadnya terdiri dari keturunan maupun imigran dari berbagai bangsa di dunia. Ada Mesur Özil dan Serdar Tasci yang keturunan Turki, ada Khadira yang keturunan Tunisia, ada Gomez yang keturunan Spanyol, ada Cacao imigran dari Brasil yang baru dinaturalisasi tahun 2009, ada Denis Aogo yang keturunan Nigeria, ada Jerome Boateng keturunan Ghana, disamping pendatang lain yang sudah reguler ada sebelumnya, misalnya Podolski, Trochowski dan Klose dari Polandia (yang berkulit putih sehingga tidak terlalu kentara dengan Jerman “asliâ€). Ini jelas suatu “revolusi†luar biasa dari sebuah bangsa yang tadinya cenderung sangat “puritanâ€, serba Jerman, karena ego “über alles†itu. Bahkan dalam upaya menyatukan rasa kebangsaan dari warga Jerman untuk mendukung kesebelasannya yang beragam suku bangsa itu.
Sebuah TV lokal di sana menampilkan pencitraan keharmonisan anggota tim sepak bola ini melalui suatu feature acara yang memperlihatkan para pemain lengkap dengan para istri atau pasangannya masing-masing. Bahkan ada yang berjilbab segala (saya tidak tahu persis, pasangannya siapa; mungkin Khadira, Özil atau Tasci yang muslim) bercengkrama tanpa canggung dalam suatu jamuan sore di suatu kebun belakang rumah yang luas. Sungguh suatu hal yang menyentuh.
Bangsa Jerman, yang selama ini digambarkan sebagai keturuan bangsa Aria yang arogan, perfeksionis dan serba merasa lebih tiggi dari yang bangsa lain, tiba-tiba saja mulai “sadar diri†bahwa kekuatan yang sesungguhnya akan timbul apabila mau merangkul semua sumber daya yang ada walaupun itu berasal dari pemain yang bukan Jerman “asliâ€. Sepertinya naif sekali pendapat ini, namun apapun, adanya fenomena ini membawa dimensi baru bagi kehidupan bangsa Jerman itu sendiri untuk lebih mau melihat bahwa time has changed!
Bagi saya, kesebelasan Jerman sendiri telah mewakili sebagian besar dari bangsa di dunia, sehingga kemenangan kesebelasannya adalah keterwakilan dari kemenangan bangsa dunia, termasuk para imigran dari dunia ketiga yang selama ini hanya dipandang sebagai sumber beban dan masalah, terutama ketika negara mereka sedang bermasalah secara ekonomi; seperti krisis ekonomi yang sedang mengguncang Eropa saat ini.
Padahal yang menjadi tulang punggung pembangunan infrastruktur negara mereka selama berpuluh bahkan beratus tahun adalah para pendatang itulah, yang rela membanting tulang bekerja kasar untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sangat berat di negara asalnya. Sehigga keberadaan para pendatang dalam tim utama suatu negara, apalagi sekelas kesebelasan Jerman, merupakan bentuk pengakuan terhadap eksistensi mereka. Saya bahkan melihat bagaimana Özil dielu-elukan oleh para pendukung Jerman dalam suatu acara nonton bareng Piala Dunia 2010 di lapangan terbuka di Berlin.
Saya jadi ikut bangga bahwa keperkasaan kesebelasan Jerman secara tidak langsung telah memberi pelajaran pada warga negaranya bahwa para pendatang–kaum yang selama ini dipinggirkan– adalah juga bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kebesaran bangsa Jerman itu sendiri. Rasanya hal itu telah menggoreskan arti tersendiri bagi saya yang berasal dari suatu bangsa yang juga tengah berjuang untuk mendapat pengakuan dunia internasional, walaupun mungkin bukan dari sepakbola.
Penulis:
Joni Hermana
Saat ini Dekan FTSP-ITS
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi