ITS News

Selasa, 03 September 2024
06 Juli 2010, 21:07

“Soe Hok Gie” Tetap Diperlukan (sebuah tanggapan)

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Meskipun belum pernah menonton film “Gie” yang diangkat dari kisah nyata dan disukai oleh banyak anak muda–apalagi gadis-gadis karena diperankan aktor tampan Nicholas Saputra–setidaknya saya sudah membaca buku hariannya meski hanya sekilas. Bagi saya pribadi sosok yang satu itu memang melintasi zamannya. Bagi masyarakat Indonesia yang terlalu mendewakan sosok pemimpin, ia tampil sebagai seorang pemberontak terhadap kepemimpinan seorang Soekarno secara obyektif. Bukan lantaran perbedaan ideologi, namun semata-mata karena tanggung jawab kepemimpinan yang tidak dimiliki Bung Karno sendiri.

Pemberontakan yang semula hanya di dalam pikiran Soe Hok Gie itu menemukan momennya ketika meletus peristiwa G30S. Sontak, mahasiswa anti komunis yang diboncengi oleh TNI Angkatan Darat turun ke jalan. Demonstrasi yang semula hanya menginginkan PKI dibubarkan lama-kelamaan meningkat agar Bung Karno turun dari kekuasaannya.  Dan salah satu mahasiswa yang turut serta adalah Soe Hok Gie. Hasil dari demonstrasi-demonstrasi itu yang kita baca kemudian adalah lahirnya supersemar yang dijadikan legalitas bagi Soeharto utuk membubarkan PKI. Setelah PKI tumbang maka selanjutnya kekuasaan Bung Karno yang didongkel dan berhasil.

Bagi gerakan mahasiswa di mana saja apalagi ITS, momen pergerakan mahasiswa tahun 1966 itu masih dikenang sebagai tahun emas mahasiswa bersama-sama gerakan tahun 1974 yang dipelopori Hariman Siregar, demonstrasi menjelang SU MPR 1978 oleh Heri Akhmadi, dan reformasi tahun 1998. Saya  masih ingat ketika diadakan Integralistik Workshop (IW) tahun 2007 yang lalu, di mana oleh kakak-kakak pemandu masa-masa emas tersebut dijadikan bukti eksistensi mahasiswa sesuai dengan peran dan fungsi yang dimilikinya.

Memang benar bahwa zaman pergerakan tersebut mencapai keberhasilan, dari sekedar masuk menjadi headline surat kabar bahkan juga menumbangkan rezim yang berkuasa. Tapi, entah karena kurang membaca atau apa, kebanyakan mahasiswa tidak melihat seutuhnya apa yang sebenarnya terjadi. Kita yang tidak hadir di waktu itu namun hanya menjadi pendengar dan pembaca hanya melihat tampilan luar tanpa tahu “permainan” yang ada di belakang turunnya mahasiswa ke jalan-jalan.

Misalnya saja saya ambil contoh apa yang ada di balik layar demonstrasi angkatan 66’. Kita–seperti saya tulis di atas–sudah tahu bahwa gerakan mahasiswa angkatan Soe Hok Gie berhasil menumbangkan Rezim Soekarno yang otoriter. Dengan demikian bagi kita, Gie dan kawan-kawannya bisa disebut pahlawan dan otomatis patut ditiru. Namun ada yang kurang kita semua ketahui. Gerakan mahasiswa itu walaupun dilatarbelakangi idealisme murni, namun hanyalah sekedar alat untuk merongrong penguasa (baca:Bung Karno).

Siapakah yang memperalatnya? Tak lain dan tak bukan adalah Soeharto yang saat itu memimpin TNI Angkatan Darat! Buktinya apa? Para pimpinan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tinggal dan berkonsultasi di markas Kostrad  yang notabene ditugasi oleh Bung Karno untuk membubarkan aksi-aksi mahasiswa. Logikanya, bagaimana mungkin pimpinan demo tinggal dengan santainya di markas pihak yang mengatasi demo? Dan sudah terbukti hingga supersemar keluar, demonstrasi tidak berhasil diredam oleh TNI AD padahal di sisi lain di daerah-daerah TNI AD dan rakyat “berhasil”  membantai orang-orang PKI yang dituduh terlibat G30S.

Soe Hok Gie yang memang anti-PKI itu akhirnya menyadari semua permainan itu. Meski ia sangat membenci PKI, namun ia kecewa dengan pembantaian massa yang jelas-jelas tidak tahu menahu peristiwa G30S yang terjadi di Jakarta itu. Ia yang semula idealis (anti-PKI) menjadi realis dengan sadar bahwa apa yang dilakukan tentara dan rakyat itu salah. Jika ia idealis seperti mahasiswa anti-PKI lainnya, pasti tidak pernah terlontar penyesalan mendalam tersebut. Sebab bagaimanapun Gie menjadi bagian dari sistem yang membubarkan PKI dan menjungkalkan Bung Karno.

Tidak hanya penyesalan pribadi, dia juga mengutuk teman-teman seperjuangannya dahulu yang bersama-sama berdemo namun setelah tujuan tercapai malah menjadi anggota MPRS. Salah satu caranya, dia mengirim gincu dan pupur kepada mereka sebagai simbol supaya bisa “bersikap manis terhadap penguasa”. Terbuktilah memang bahwa pergerakan mahasiswa memang alat yang digunakan Soeharto untuk mendapatkan kekuasaan dan imbalannya bagi mahasiswa adalah kursi empuk.

Dari yang saya sebutkan di atas, apakah yang bisa kita teladani dari sosok Soe Hok Gie? Kita semua sebagai mahasiswa pasti menjadi mahfum bahwa cara yang digunakan Soe Hok Gie dan kawan-kawannya menumbangkan Rezim Soekarno itu tidak bisa diadopsi untuk situasi sekarang( saya setuju dengan saudari Mita). Namun apakah tabiat rekan-rekan seperjuangannya yang pragmatis, oportunis, rakus kekuasaan itu perlu ditiru? Tidak juga dan ini yang lebih penting. Nyatanya kita melihat secara general saja keberhasilan tahun 1966 itu sehingga tidak bisa memilah mana yang harus “masuk tong sampah” dan mana yang perlu diteladani.

Jelas, menilik dari apa yang kita baca, sosok seperti Soe Hok Gie itu masih kita perlukan. Bukan aksi-aksi yang telah dilakukannya, bukan keberhasilan menumbangkan diktator. Yang lebih dari itu karakter untuk menjadi diri sendiri. Setiap orang memiliki karaker tersendiri termasuk kita mahasiswa.  Entah bagaimana mengejawantahkannya, hanya kitalah yang tahu dengan pasti. Jika kita tidak menjadi diri sendiri melainkan hanya “boneka” orang lain seperti mahasiswa opurtunis zaman Gie tentu kita belum menjadi diri sendiri.

Saya ambil pengandaian saudari Mita. Bagi Mahasiswa yang Study Orieted (SO) sudahkah kita tanya apa yang menyebabkan mereka memilih jalan itu? Apa murni menyalurkan minat akan teori kuliah atau ada faktor lain semisal “intimidasi” orang tua? Ironisnya, faktor yang kedua lebih jamak dijumpai. Para mahasiswa yang SO memilih jalan itu bukan karena keinginan mereka sendiri. Orang tua dengan privilage yang mereka miliki sudah mewanti anak mereka agar kuliah dengan baik supaya tidak percuma keluar uang banyak. Dan sang anak dengan dalih budaya tidak berani “memberontak” kehendak orang tuanya. Akibatnya, kuliah hanyalah jembatan untuk menaikkan status ekonomi maupun meningkatkan gengsi keluarga. Supaya tercapai apa yang diharapkan Saudari Mita, bukankah perlu “jiwa pemberontak” sebagaimana Soe Hok Gie contohkan?

Menyoal Intelektual
Dari sini kita kemudian bisa meninjau kembali apa itu “intelektual”. Di salah satu paragraf, saudari Mita menyebutkan, “…Masa-masa itu adalah masanya kaum intelektual berkuasa, bahkan pemerintah pun tunduk di bawah tangan-tangan kaum itu. Ya, kaum itu adalah mahasiswa…” Saudari Mita mungkin terlalu gegabah menyimpulkan bahwa mahasiswa adalah intelektual yang artinya setiap identitas akan seseorang yang menempuh kuliah di Perguruan tinggi (mahasiswa) akan langsung dikelompokkan sebagai intelektual.

Dari kacamata definisi mungkin benar bahwa mahasiswa termasuk kelompok intelektual sebab mereka adalah terdidik atau terpelajar. Namun sesungguhnya ada yang kurang. Saya mengambil pengertian Descartes-ian tentang intelektual yang menurutnya adalah kritikus sosial. Tentu syarat kritikus yang pertama adalah harus terdidik. Dan itu sudah dipenuhi oleh mahasiswa. Yang belum adalah kapan tampil menjadi kritikus.

Sebelumnya, kritikus jangan dipahami sempit sebagai seseorang yang dengan lantang bersuara mengkritik kondisi yang dihadapinya. Kritikus sosial bisa diartikan sebagai orang yang menghendaki perubahan atas kondisi sosial lingkungannya. Jika mengambil dari tulisan saudari Mita, maka lingkungan itu adalah “bangsa”.  

Coba kita perhatikan penyakit sosial bangsa ini: miskin, bodoh, korup, tak tahan dikritik, tidak ikhlas, egois, dsb. Bagaimana cara seorang kritikus sosial mengambil perannya? Di mana peran intelektual? Di sinilah titik temu antara saya dan saudari Mita. Seorang mahasiswa SO yang melihat bangsanya tertinggal dalam Iptek harus mengkritik dengan menjadi peneliti, ikut olimpiade, kontes robot, dsb supaya perubahan bangsa bisa terwujud. Seniman yang merasa budaya Indonesia sudah tergerus punah harus mengkritiknya dengan cara mempopulerkan ke semua orang. Seorang jurnalis yang melihat ketimpangan sosial harus mewartakannya dengan tajam. Begitu pula profesi lainnya.

Mengkritik bukan dengan suara tapi tindakan nyata inilah yang belum dipunyai sebagian besar mahasiswa khususnya mahasiswa kampus Sepuluh Nopember tercinta ini. Yang terjadi lebih kepada “kritikus diri” yaitu bagaimana membuat dirinya memperoleh kenikmatan personal dengan mendapat pekerjaan mapan, naiknya strata sosial, dsb. Tentu kelompok seperti ini tidak pantas dimasukkan dalam gelar terhormat, yakni intelektual. Namun bagaimana lagi, mungkin intelektual itu sudah terlanjur –meminjam istilah Bung Hatta– kaum minoritas berkualitas. Tidak bisa dipaksa seorang mahasiswa menjadi intelektual dalam arti sejati. Contohnya, ketika mahasiswa bercuap-cuap dengan keras, tapi ketika sudah mapan diam tanpa suara.

Yah, kita semua memang harus berkontribusi. Bagi saya, Soe Hok Gie meski sebegitu terkenalnya ia belumlah berkontribusi banyak bagi Ibu Pertiwi. Dia mati muda. Tapi, kita tahu bahwa banyak orang bisa lebih dari Soe Hok Gie. Kontribusi Soe Hok Gie terbesar adalah dia berhasil menjadi inspirasi banyak orang  khususnya mahasiswa yang kelak (seharusnya) membawa lokomotif perubahan bagi bangsa ini. Siapakah mereka itu? Jawabannya adalah mahasiswa yang adalah intelektual, bukan mahasiswa abal-abal. Semoga kita termasuk di dalamnya…

Ditulis oleh seorang yang bukan pengagum Soe Hok Gie, tapi yang percaya bahwa apa yang digumulinya bisa dijadikan inspirasi standar minimal generasi penerus.

Samdysara Saragih
Mahasiswa Teknik Fisika ITS Angkatan 2007

Berita Terkait