ITS News

Kamis, 14 November 2024
02 Agustus 2010, 10:08

Mengapresiasi Prestasi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Jer basuki mawa bea, ungkapan dalam bahasa Jawa itu sudah saya dengar sejak bangku SD dulu. Pemahaman awal yang saya dapati sebagai siswa SD, itu pun karena membaca pepak basa Jawa (buku berisi kumpulan pepatah, basa krama hingga aksara Jawa) cukup sederhana yaitu opo-opo kudu ragad atau dalam bahasa Indonesia artinya segala sesuatu membutuhkan modal. Sekonyong-konyong ditelaah pun arti modal memang tidak selalu identik dengan uang.

Saya jadi teringat opini yang pernah ditulis redaktur senior ITS Online berjudul Melawan Hegemoni ITB, salah satu poin yang dibahasnya terkait apresiasi. Kalau ada yang belum pernah membaca, ini lah dua paragraf yang saya cuplik.

Kurang apresiasi atau memang tak ada yang berprestasi, saya tidak tahu. Saya jadi ingat kawan saya di salah satu organisasi yang sering lomba ke luar negeri. Ia mengeluh, ”Kalau kita sukses saja, baru dibangga-banggakan. Tapi giliran dimintai bantuan (moril atau materil) pada ngilang semua,”. Ya, mahasiswa butuh apresiasi atas tiap ukir prestasi mereka. 

Bukan hanya satu, saya sering dengar banyak mahasiswa ITS baik yang mewakili organisasi ataupun pribadi, ketika lomba pakai kantong sendiri dengan segala keterbatasannya. Tapi ketika pulang bawa piala dianggap usaha bersama satu ITS. Istilah kebahasaannya “Totem Pro Parte”.

Akhir Juli lalu, saya yang juga reporter ITS Online, kebagian meliput Paduan Suara Mahasiswa (PSM) ITS. Ceritanya, mereka berencana mengikuti lomba paduan suara di Busan, Korea Selatan bulan November mendatang. Iseng-iseng saya tanya, "eh tanggal saat tampil kompetisi kok pas dengan momen dies emas ITS, tanggal 10 November,". Jadilah perbincangan menarik seputar rencana keberangkatan mereka.

Kebetulan saya meliput saat mereka sedang latihan. Bagi saya yang buta ilmu dunia olah vokal, lagu demi lagu yang mereka bawakan cukup menghibur. Bisa dibilang ciamik-lah komposisinya. Apalagi giliran lagu daerah, meski sudah akrab di telinga tetap saja memiliki keunikan tersendiri saat dibawakan.

Latihan malam itu hanya bermodalkan sebuah partitur dan iringan keyboard oleh Irwanto Laman, sang asisten pelatih. Lagu Cublak-Cublak Suweng lamat-lamat didendangkan, iramanya rancak. Saya setengah menikmati juga walaupun sibuk memotret sana-sini. Yang saya tangkap tadi hanya sebuah latihan, apa jadinya kalau konser betulan, “Pasti keren banget,” pikir saya. Belum lagi jika ditambah kostum dan koreografi, penonton mana yang tak kan terpukau.

Usut punya usut, saya mulai mengorek informasi seputar niatan mereka untuk go international. Hasilnya, saya memutuskan untuk membagi cerita di balik layar, terkait perjuangan mereka selama ini, salah satunya melalui opini.

Di awal, saya sudah dibuat terkaget-kaget dengan keberangkatan 42 orang dalam tim yang akan mengikuti kompetisi dan festival kaliber internasional tersebut. Sebagai mahasiswa atau pembaca yang pernah menjadi mahasiswa pasti sudah bisa menebak kendala apa yang tengah mereka hadapi. Klasik, masalah dana.

Jadi teringat artikel yang pernah saya baca, masih seputaran PSM ITS juga. Ambil contoh pagelaran drama musikal PSM ITS tahun 2005 lalu. Sebagai penonton, tidak banyak yang tahu memang kalau pertunjukan tersebut menyimpan keistimewaan sendiri. Pasalnya, semua dapat terlaksana berkat kerja keras dan kekompakan tim.

Bayangkan saja, mereka sampai rela merogoh kocek sendiri, sementara perolehan dana dari donatur dan sponsor sangatlah cekak. Maka dengan penuh kerelaan hati, mereka pun iuran untuk mencukupi kebutuhan. Hasilnya cukup istimewa untuk acara hiburan yang tidak memungut biaya.

Harus diakui, saya juga dibuat kagum dengan usaha teman-teman PSM ITS sekarang. Lolosnya mereka mengikuti Busan Choral Festival and Competition di Korea Selatan mengurai kisah menarik perjuangan mereka di balik layar.

Komitmen Bermaterai
Kalau di atas saya menyinggung kendala utamanya masalah dana, maka satu lagi yang perlu dipertanyakan adalah komitmen. Kiranya tak perlu diragukan lagi komitmen macam apa yang diberlakukan grup vokal kepunyaan kampus perjuangan ini. Agak lucu memang apa yang saya dapati di PSM ITS, mereka berkomitmen untuk hadir latihan dengan pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai enam ribu.

“Maksimal tidak hadir latihan adalah tujuh kali, kalau lebih sanksinya bisa sampai dikeluarkan dari tim,” terang Safitri Purwanti Rahayu, Ketua Umum PSM ITS. Pikir saya, absen tujuh kali pasti bukan jumlah sedikit. Eits, tapi tunggu dulu, jika dibandingkan dengan porsi latihan lima hari dalam seminggu sejak Juni lalu, saya jadi berpikiran lain, “Bukan main komitmennya!”

Mati-matian
Banyak jalan menuju Roma, pepatah tepat bagi siapa pun yang mengaku tak kenal putus asa. Hal inilah yang saya tangkap dari teman-teman PSM ITS, berjuang mati-matian mewujudkan mimpi go international-nya. Hanya merasa sayang saja jika kejadian yang dialami teman-teman kampus Trisakti terulang kembali. Yang saya maksudkan bukanlah peristiwa berdarah Trisakti tahun 1998 silam tapi gagalnya mereka berangkat ke luar negeri mengikuti kompetisi karena minim dana.

Sampai saat ini sudah banyak persiapan yang dilakukan tim PSM ITS, salah satunya menggalang dana. Berbagai usaha tengah mereka tempuh, mulai dari iuran sesama anggota, ngamen, sponsorship, hingga menyebar kupon.

Agak sensitif memang membicarakan masalah satu ini. Namun saya telisik juga akhirnya karena merasa penasaran. “Masing-masing anggota tim dibebani iuran empat juta rupiah, itu untuk menutup 50% biaya transportasi,” terang Safitri, mahasiswa Teknik Kelautan angkatan 2008. Safitri juga menegaskan bahwa iuran personal tersebut sudah dicicil sejak Juni lalu. Jika nanti dana yang didapat di luar iuran tersebut mencukupi maka bisa jadi iuran pun dibatalkan.

Karena membutuhkan dana tak sedikit, satu lagi terobosan mereka untuk menggalang dana, ngamen. “Senin sampai Jumat sore kami ngamen di Taman Bungkul, hasil ngamen-nya untuk biaya operasional seperti membuat proposal misalnya,” terang Safitri.

Saya pun menyempatkan diri untuk ikut ngamen malam itu di Taman Bungkul Surabaya. Karena ngamen pada saat malam Minggu, taman milik Pemerintah Kota Surabaya itu cukup ramai pengunjung. Sekitar pukul 20.30 konser sederhana ala PSM pun dimulai. Saya yang tidak bisa menyanyi hanya nguntit di belakang mereka, sesekali ikut-ikutan nyanyi juga kalau ada lagu yang saya bisa, walau sebenarnya lebih sering lip sync.

Hanya bermodalkan gitar dan sebuah kotak untuk mengamen, jadilah kami semua ngamen keliling dari satu tenda ke tenda lainnya. Lagu demi lagu pun didendangkan, ternyata tak hanya mampu menarik perhatian pengunjung yang sedang makan bahkan beberapa pengunjung yang lewat pun berhenti sejenak untuk menengok konser pinggir jalanan tersebut.

“Wee, konser rek!” setidaknya itulah salah satu celetukan yang masuk ke telinga saya. Rupiah demi rupiah pun mengalir ke dalam kotak, ada uang receh sampai ribuan. “Sebenarnya capek, tapi ya gimana lagi dijalani saja dengan senang,” ujar Desy, mahasiswa Teknik Fisika angkatan 2007.

Sibuk Tugas Akhir (TA)
Irwanto Laman, mahasiswa Teknik Informatika yang juga menjadi asisten pelatih PSM untuk persiapan lomba mengaku tengah menempuh tugas akhirnya. “Dua minggu lagi saya sidang,” terang Irwan yang sudah aktif di PSM ITS sejak dirinya masih menjadi mahasiswa baru dulu. Pembaca pasti sepakat dengan saya jika menuntaskan tugas akhir bukan hal yang mudah.

Awalnya, obrolan yang saya buka memang semata-mata mengenai lagu, tapi semakin ke belakang, terusik juga saya untuk bertanya lebih tentang kesibukan mahasiswa angkatan 2006 ini. “Kalau ngerjain TA ya pulang latihan sampai jam empat pagi,” ujarnya enteng saat saya jumpai di sela-sela latihan. Namun saya sadar, usahanya tidak seringan ucapannya barusan.

Mahasiswa yang pernah melatih paduan suara Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unair ini mengaku senang bisa terlibat langsung untuk persiapan kompetisi Busan. Bahkan tak jarang, Irwan sering memberi masukan kepada teman-teman PSM di setiap latihan. “Pasti merasa capek, tapi saya senang kalau melihat teman-teman bisa menyanyi dengan bagus,” pungkasnya. Ternyata tak hanya Irwan yang tetap memilih sibuk menempuh TA sekaligus menyiapkan kompetisi di Busan tersebut, tetapi juga beberapa rekannya yang lain.

Apa yang saya tulis di atas hanya sedikit cerminan usaha teman-teman mahasiswa, bukan hanya PSM ITS. Mengutip ungkapan Pak Probo saat syukuran prestasi melimpah di ITS kemarin, “Sekecil apapun prestasi itu memang harus diapresiasi,” ujarnya.

Jika syukuran prestasi yang digelar menunjukkan bahwa proses yang terjadi di ITS itu baik. Maka tak ada salahnya jika siapa pun yang berjuang meraih prestasi turut mendapat apresiasi di awal. Bukankah akan semakin lengkap nantinya jika ditambah syukuran sebagai apresasi di akhir kalau mendapat prestasi.

Lutfia
Mahasiswa Teknik Kimia 2009

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Mengapresiasi Prestasi