ITS News

Kamis, 14 November 2024
11 Agustus 2010, 11:08

Yahya Hasyim dan Warisannya

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Meski tidak mengenal atau bahkan melihat muka beliau sekalipun, saya tidak perlu hal tersebut untuk mendalami lebih jauh siapa beliau itu. Cukup dengan sebuah perguruan tinggi berbasis teknologi ini saja, kita sudah mengenalnya secara tidak langsung. Bersama pendiri ITS yang lain seperti dr. Angka Nitisastro, Ir. Sundjasmono, nama beliau diabadikan pada prasasti di gedung dr Angka yang dilewati oleh setiap orang.

Nama Yahya Hasyim pasti sudah terdengar oleh setiap mahasiswa ITS ketika mereka “dilantik” di Graha ITS dan dibagikan sebuah buku yang menceritakan sejarah berdirinya kampus tercinta ini. Meski tidak seterkenal dr. Angka yang merupakan perintis mula-mula, pak Yahya Hasyim lebih terasa “dekat” sebab dialah satu-satunya pendiri yang masih hidup. Di usia senjanya pula ia masih sempat membuat buku sejarah ITS sebagai bentuk pengabdian terakhirnya bagi kampus perjuangan ini.

Sebenarnya, apa jasa terbesar Yahya Hasyim sehingga kita patut memberikan sanjungan tak terkira buat beliau? Untuk menelusurinya, mari kita berangan-angan ke masa 53 tahun yang lalu.

Kita bayangkan kondisi  tahun 1957. Masa itu adalah saat di mana negeri ini masih mencari jati dirinya. Berusaha menemukan bentuk terbaik pemerintahan. Indonesia memilih Demokrasi Liberal. Kita tahu seperti apa sistem itu. Pemerintahan silih berganti tanpa putus dalam tempo singkat.

Persoalan rakyat yang seharusnya lebih utama malah dibiarkan karena para politisi lebih asyik berseteru tentang dasar negara. Di Sumatera sana beberapa panglima militer sibuk menyelundupkan hasil perkebunan demi sesuap nasi para prajuritnya karena pemerintah pusat tidak peduli dengan bekas pejuang itu.

Presiden Soekarno? Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya presiden simbolis seperti lazimnya pada sistem parlementer. Tentu situasi itu politik berimbas pada perekonomian rakyat yang tidak menentu. Rakyat sulit menyekolahkan anaknya apalagi sampai harus ke perguruan tinggi. Kalaupun berminat, perguruan tinggi masih sedikit. Kalau anak mau jadi insinyiur, bisa. Pergilah ke Paris van Java, di sana ada Fakultas Teknik Universitas Indonesia (sekarang ITB).

Negeri seluas ini hanya ada satu perguruan tinggi teknik? Bagaimana bisa? Mungkin itulah yang dipikirkan oleh insiyur-insinyur yang tergabung dalam PII Surabaya. Mereka bertekad mendirikan sebuah perguruan tinggi teknik di Surabaya.

Mengapa ada segelintir orang gila yang berusaha mendirikan kampus padahal kondisi keuangan pemerintah tidak memungkinkan? Segelintir orang itu bukanlah gila. Mereka disatukan dengan semangat sebagaimana arek-arek Surabaya dulu yang juga dikatakan sekawanan orang liar oleh prajurit Inggris.

Salah satu dari mereka itu adalah seorang mantan prajurit PETA tamatan SD yang telah mendarmabaktikan hidupnya bagi tanah airnya. Bagaimana mungkin seorang tamatan SD gagah-gagahan tergabung untuk mendirikan lembaga pendidikan yang mengeluarkan seorang bertitel “insinyur”? Apa yang diketahuinya tentang dunia keteknikan?

Tapi itulah Yahya Hasyim. Seperti halnya pejuang 10 Nopember yang bukan “siapa-siapa” dan berbekal senjata seadanya dan pekik “merdeka!” di mulutnya mereka menghadang tentara Inggris yang bersenjata otomatis, Yahya Hasyim tidak canggung berdiri sejajar dengan orang-orang yang juga nekat seperti dokter, prajurit, insinyur dsb.

.Tak lama kemudian berdirilah sebuah yayasan dengan hanya 2 Jurusan, Teknik Mesin dan Teknik Sipil. Meskipun swasta, tujuan perguruan tinggi itu bukanlah komersil. Para pendiri pasti berjuang dengan segala cara untuk menegrikan perguruan tinggi itu. Benar, tak lama kemudian pemerintah merespon hingga menetapkan Yayasan Perguruan Tinggi Teknik 10 Nopember sebagai Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) hingga sekarang.

Sampai di sini selesaikah tugas seorang Yahya Hasyim dan kawan-kawan? Belum. Tujuan akhir dari pendirian kampus yang dijiwai semangat 10 Nopember itu bukanlah pembangunan fisik yang ditandai dengan deretan gedung kuliah mewah ber-AC, parkir berisi mobil-mobil, jalan-jalan benderang atau bahkan sebuah menara setinggi 10 lantai. Saya ambil di buku yang saya dapatkan ketika masa Orientasi di Graha ITS tahun 2007:

Nama perguruan tinggi tersebut dipilih dengan maksud supaya jiwa dan cita – cita 10 Nopember 1945 dipergunakan sebagai dasar oleh para mahasiswa. Pada jiwa 10 Nopember 1945 tersimpul tekad dan keikhlasan untuk berkorban bagi Negara, serta dengan diiringi rasa persatuan dan semangat gotong royong harus menjadi dasar bagi semangat mahasiswa. Dengan jiwa 10 Nopember diyakini bahwa para mahasiswa akan dapat menyelesaikan studi dengan memuaskan dan diharapkan dapat mencetak generasi muda yang berguna bagi nusa dan bangsa.

Tak perlu otak cemerlang untuk menafsirkan apa maksud pernyataan di atas. Tujuan akhir dari perguruan tinggi yang pak Hasyim ikut dirikan bukanlah tempat kuliah seorang yang kelak bakal bertitel sarjana saja. Yang paling utama adalah lahirnya generasi yang berguna bagi bangsa dan Negara dengan dijiwai oleh semangat para pahlawan 10 Nopember. Tanyalah pada diri kita masing-masing, apakah semangat 10 Nopember itu yang menjiwai kita selama menempuh studi, ataukah hal lain? Saya tidak perlu sebutkan sebab meskipun kedalaman laut dapat diukur dengan sensor yang canggih, apa yang ada dalam hati mahasiswa ITS hanya dirinyalah yang tahu.

Saya – sekali lagi – tak kenal siapa Yahya Hasyim, bagaimana raut wajahnya, di mana tempat tinggalnya, bahkan ketika disemayamkan pun tak bisa hadir karena sedang Kerja Praktek di tempat yang jauh. Namun apakah kondisi “transenden” itu menghalangi saya untuk menulis sebuah ucapan terima kasih? Tidak, sebab kitalah pewaris cita-cita yang beliau telah gariskan.

Terakhir, saya ingat satu pepatah dalam Bahasa Latin, “cineri gloria sera venit” yang maknanya kurang lebih: orang lebih sering mendapat pujian setelah meninggal. Apakah saya hanya menegaskan kebenaran pepatah itu? Saya bilang tidak! Bagi seorang yang telah berjasa besar bagi kampus Sepuluh Nopember tercinta sudah seharusnya beliau kita kenang setiap saat dengan terus menjiwai semangat dan cita-citanya. Itulah warisannya bagi kita. Selamat jalan pak Yahya Hasyim, semoga engkau tenang di alam sana…

*Ditulis oleh salah seorang di antara 17.000 pewaris cita-cita Yahya Hasyim

Oleh: Samdysara Saragih
Mahasiswa Teknik Fisika ITS Angkatan 2007

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Yahya Hasyim dan Warisannya