ITS News

Kamis, 14 November 2024
17 Agustus 2010, 16:08

Digulist

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Rentang 1927-1928, sebuah kapal merapat di pulau besar berpenghuni minim. Sekitar seribuan orang turun ke daratan 10.000 hektar. Bukan sebuah padang savana hijau, luas, nan menyejukkan, melainkan hutan belantara berhukum rimba. Kapten Becking ditunjuk sebagai “presiden” di daerah yang menyebut dirinya kamp konsentrasi itu. Jauh hari berdiri sebelum Auschwitz meraih kepopuleran sebagai yang terganas.

Boven-Digoel, begitu masyhurnya dikenal. Penghuni di dalamnya menyebut diri “Digulist”. Mereka kumpulan orang-orang berwatak propagandis, ahli menghasut rakyat. Bukan hanya kaum radikal totalitarian, tapi juga seorang libertarian macam Hatta dan Syahrir pun pernah bergelar “Digulist”. Pikir kompeni, bila mereka dibiarkan terus, Indonesia bisa lebih cepat merdeka.

Pemilihan Digul sangatlah tepat. Kamp perkampungan interniran dikelilingi hutan dengan hewan buas nan liar yang siap menyantap. Sungainya dipenuhi perkampungan buaya lapar. Kalau tetap mau nekat keluar via aliran sungai, mereka harus sabar menempuh jarak 450 Km, sama saja Jakarta-Semarang atau jarak Amsterdam-Paris.

 Suasana horor itu menjadi lebih dramatis karena masih ada suku asli di hutan itu yang menganut pola head hunter alias kanibal penggal kepala. Berani kabur, pilihannya dua: tersesat atau tertangkap. Keduanya punya benang merah sama: kematian.

Digulist berjuang dari apa yang disebut “proses mencekik leher sendiri pelan-pelan”. Dalam sebuah catatan, seorang Digulist bercerita. “Musuh utama kita adalah malaria. Kalau kena yang namanya malaria hitam, maka air seni bisa kental seperti kopi pekat. Tinggalah menunggu kematian. Kalaupun bertemu kina dan sembuh, bisa dipastikan ia mandul,”.

“Selain itu,” lanjutnya. Digulis terancam penyakit syaraf. Itu istilah halusnya. Lebih jelasnya disebut gila. Kenangnya, ada seorang adik dari tokoh pergerakan terkenal yang syarafnya terganggu. Kalau bertemu orang, ia akan menciumnya tak peduli pria atau wanita. Ada pula seorang pemimpin pergerakan daerah yang menyibukkan diri dengan berpidato keras-keras di depan sebuah pohon. Isolasi itu membuat Digulist merasa tak punya harapan hidup.

Takashi Shiraishi dalam buku Hantu Digul, membenarkan. Ia berpendapat bahwa Digul sengaja dirancang sebagai kamp isolasi. Interaksi mereka sangat dibatasi dan pada akhirnya intelegensi mereka tereduksi alami. Hatta mengeluh,”Lawan utama Digulist adalah kesepian,”. Bila tak mampu mengatasi, maka berhitunglah detik per detik kematian.

Cara Belanda menormalkan Hindia Belanda terbilang sukses. Semua pemimpin bangsa Indonesia dibuat meloncat-loncat dari satu penjara ke penjara lain. Sampai periode akhir 1942, ketika Belanda kelimpungan menghadapi fasisme, tiga serangkai Soekarno-Hatta-Syahrir baru bisa hidup “lebih bebas”. Singkat cerita, nostalgia ketiga pemimpin ini mengantar Indonesia menuju kemerdekaan.

Sekarang, bangsa ini mana lagi peduli dengan Boven-Digoel. Ia hanya dibiarkan bergumul pada buku-buku sejarah yang kertasnya mulai menguning itu. Kami tak tahu bagaimana rasanya digigit nyamuk hutan bernama Malaria Tropika. Kami pula tak tahu bagaimana menjadi gila karena kesepian. Hal itu membuat kami berpikir, betapa sulitnya meyakini sebuah kebenaran (baca: kemerdekaan).

Pendidikan di Pengasingan

Di tengah kegilaan tadi, ternyata masih ada orang waras di Digul. Mereka tidak lupa kalau pendidikan awal dari perubahan. Beberapa “pemberontak” yang memiliki ilmu dan kepedulian, membuka sekolah swadaya. Bocah-bocah kecil yang sebagian besar terlahir di Digul, diajari baca, tulis, dan berhitung. Walaupun disebut sebagai wilde schoolen (sekolah liar), para pengajar tetap berusaha memberikan anak mereka pemahaman tentang pentingnya ilmu.

Saya tertarik dengan esai tentang Syahrir yang ditulis seorang sosiolog, Ignas Kleden. Ia menulis bagaimana cintanya Hatta dan Syahrir pada pendidikan. Di Banda Neira, pengasingan mereka setelah Digul, mereka bersahabat bukan antar sesama pemimpin pergerakan saja. Bahkan interaksinya jauh lebih banyak pada anak-anak.

Rumah Syahrir selalu jadi tempat nyaman bocah-bocah kecil itu bermain. Ia pun tak segan menjahitkan baju-baju mereka agar lebih layak. Bersama mereka, Syahrir tanpa malu terjun berenang menikmati gemericik air di ujung pantai. Di tengah asyik memilin lembutnya pasir putih, Syahrir berdiri di depan mereka, mengajarkan lagu Indonesia Raya yang menggetarkan itu. Anak-anak menyambut riang.

Selain baca-tulis-hitung, Syahrir mengajarkan mereka bertanya. Baginya, hanya itulah cara membuka gerbang ilmu. Hatta melakukan hal sama dengan mencurahkan kasih sayangnya pada anak-anak. Kelak membekas sebagai sebuah bayangan nyata. Negeri ini tidak akan punah suatu hari nanti karena Syahrir dan Hatta sudah mendidik anak-cucu mereka dengan budi nan luhur.

Pengasingan adalah kelas diskusi dengan nurani. Begitu penangkapan Kleden membaca alur pikiran para pemimpin besar itu. Syahrir dan Hatta bukanlah manusia text-book walau dalam setiap pengasingan ia selalu membawa puluhan peti berisi buku tebal, sama halnya seperti Soekarno. Ketiga orang ini akhirnya merinci cita-cita “Indonesia Merdeka” di pengasingan. Semua itu buah perenungan dan pertemuan dengan nuraninya.

Mata calon pendiri bangsa itu terbelalak. Rakyat yang dibelanya bernasib tidak jauh seperti sapi dikebiri. Maklum, selama ini mereka hanya bereferensi dari buku-buku dialek Belanda yang menyesatkan. Saat di pengasingan, mereka membaur dengan realitas masyarakat. Yang mereka lakukan hanyalah, merenung-merenung-merenung. Kemudian meluapkan emosi atas kekejaman kolonialisme pada tajamnya pena.

Saya meyakini, seorang berjiwa besar harus melalui bentuk pengasingan. Entah secara fisik, mental, ataupun pemikiran. Itulah bentuk training melawan ketakutan diri sendiri. Sebabnya, keterasingan adalah hasil ciptaan imajinasi alam bawah sadar. Penjara dan hutan belantara tak membuat seorang berjiwa besar tererosi intelektualitasnya. Justru di tengah keramaianlah, papan arah penunjuk jalan itu terasa rabun dilihat.

Seandainya Soekarno-Hatta tidak diasingkan, saya yakin detik ini saya masih menjadi warga negara Hindia Belanda. Tentu di bawah silau oranje tudung akik Ratu Beatrix. Siapakah di antara anda yang ingin memerdekakan diri? Mari kita mengasingkan diri.

Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan

 

“Bukankah justru penderitaan itu merupakan ikatan kita yang semesra-mesra dan sekuat-kuatnya?” tulis Sutan Syahrir dalam catatan harian pada hari-hari terakhir di penjara Cipinang sebelum “berlibur” ke Digul.

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Digulist