ITS News

Jumat, 04 Oktober 2024
21 Agustus 2010, 08:08

Dosen ITS Ciptakan Hidung Elektronik

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Ide pembuatan “hidung elektronik” ini hinggap di kepala Rivai setelah melihat iklan sebuah merek rokok yang menayangkan bagaimana seseorang bisa mengenali kualitas tembakau hanya dengan menciumnya.

Bila ada alat yang bisa dipakai untuk mencermati beragam bau-bauan secara presisi, pikir Rivai, tentu akan banyak pekerjaan polisi, dokter, dan kalangan lain yang terbantu. Maka, dosen Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) tergerak menciptakan alat dengan daya endus prima.

“Hidung elektronik” buatan Rivai memang bukan hidung sungguhan manusia, melainkan beberapa sensor yang terhubung pada rangkaian elektronik. Sensor ini dibuat dari sejenis rangkaian isolator yang dilapisi cairan kimia sehingga mampu mengisap uap benda yang akhirnya didefinisikan aromanya oleh rangkaian elektronik.

Sebenarnya ada alat yang memiliki fungsi serupa seperti alat sensor aroma chromatography buatan Amerika Serikat (AS). Namun, harga alat sensor ini selangit, mencapai Rp 1 miliar per unit. Padahal, alat yang dikembangkan Rivai membutuhkan biaya pembuatan tak lebih dari Rp 10 juta.

Alat yang terdiri dari beberapa sensor kolom partisi dan software tersebut saat ini sudah “dilatih” untuk mengenali 16 jenis aroma seperti aroma apel, melati, peppermint, bahkan bau gas elpiji. Alat ini bisa dikembangkan untuk mengidentifikasi lebih dari 30 aroma dengan tingkat presisi yang tinggi, termasuk benda-benda yang berbahaya, mudah terbakar dan dicari polisi.

”Bisa juga diarahkan untuk mendeteksi black powder, TNT, amunisi, bahkan narkoba. Tetapi masih perlu pengembangan lebih lanjut, karena biasanya bahan-bahan tersebut ditutup rapat,” ujarnya.

Si “hidung elektronik” ini memang belum dikembangkan untuk mendeteksi benda-benda berbahaya tersebut karena sulit mendapatkan sample-­­nya.

Kini, Rivai bersama mahasiswa bimbingannya di Program Pasca Sarjana Teknik Elektro ITS mengembangkan temuannya ke arah kesehatan. Dia berharap alat temuannya mampu mengenali aroma urine atau air seni untuk mendeteksi adanya ginjal tak sehat atau bakteri yang ada di saluran kencing.

Selain itu, dirinya juga mengarahkan temuannya untuk mendeteksi penyakit paru-paru seperti TBC dari hembusan nafas seseorang. Dia menambahkan, dengan sensor ini infeksi yang ada dalam saluran pernapasan seseorang bisa diketahui lewat aroma nafas orang tersebut.

“Saat ini saya sedang kerja sama dengan RSUD dr Soetomo untuk pengembangan alat ini di bidang kesehatan,” ujarnya.

Hingga saat ini, kata Rivai, belum ada alat sensor aroma yang dikomersialkan. Kebanyakan penggunaannya masih sebatas di laboratorium. Karena itu, Rivai berniat mematenkan teknologi sensor buatannya dan mengembangkannya hingga menjadi sebuah produk tuntas. Selain punya potensi komersial yang cukup besar, sensor aroma buatan Rivai juga dapat digunakan di banyak bidang.

Hasil riset sejak tahun 2003 ini dikembangkan bersama Tokyo Institute of Technology yang sekaligus memberikan banyak masukan untuk temuannya itu.

Kesulitan awal dalam risetnya adalah menentukan ketebalan lapisan cairan kimia yang dilapiskan kepada sensornya. Jika terlalu tebal, sensifitasnya kurang peka. Jika terlalu tipis, akurasinya diragukan. Padahal sensor yang dilapisi cairan kimia tersebut tidak lebih besar dari ujung earphone.

“Saya belajar dari Jepang, kebetulan dapat dana hibah dari JICA sebesar 200 juta untuk pengembangan lebih lanjut,” katanya.

Asal tahu saja, temuannya ini sudah mulai diaplikasikan beberapa perusahaan rokok untuk memilih jenis tembakau yang terbaik. Mengingat beberapa ahli pencium tembakau kini jumlahnya makin berkurang, temuan Rivai bisa menjadi andalan. Ini juga bisa digunakan oleh PDAM dalam mendeteksi kualitas air minum.

“Ke depan temuan ini akan dijadikan menjadi lebih ringkas sehingga bisa lebih mobile dan kian mudah digunakan,” harap Rivai.

“Hidung elektronik” ini menggunakan sensor aroma yang mampu mendeteksi, menganalisis, dan mengidentifikasi berbagai macam bau melalui pola algoritma neural network.

Bila “hidung elektronik” ini bisa tersedia luas di pasaran, deteksi bau tak lagi sepenuhnya dominasi binatang, khususnya anjing.

Jika mengandalkan hewan, hasil penciuman memang bisa lebih akurat, tetapi hewan memiliki mood dalam bertugas yang mungkin mempengaruhi hasil penciuman. “Belum lagi bila benda yang membutuhkan penciuman itu selama ini tidak pernah dilatihkan kepada hewan, misalnya air seni manusia, tembakau, atau bau gas elpiji, tentu akan lebih sulit,” lanjut peraih hibah riset Indonesia Toray Science Foundation

Berita Terkait