ITS News

Kamis, 14 November 2024
25 Agustus 2010, 08:08

Maba

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Dimanakah malam pertama itu? Selayaknya dua sejoli yang baru saja mengikat diri, satu momen ditunggu-tunggu. Ya, itu malam pertama. Itu kata orang yang sudah menikah, saya hanya meneruskan saja sambil merasa sok tahu. Saya gunakan ini sebagai bentuk tanggung jawab karena analogi mahasiswa baru dan pengantin baru.

Malam pertama itu terjadi ketika pengumuman hasil seleksi masuk perguruan tinggi idaman. Kalau hal ini, saya pernah merasakan. Dan di malam saat nama saya disebut-sebut karyawan biro kemahasiswaan sebagai salah satu calon mahasiswa di PTN idaman saya, saya tidak bisa tidur. Semalaman saya senyum-senyum sendiri sambil sesekali menyibak air mata yang tidak berhenti mengalir.

Raut wajah terlihat puas. Perjuangan berbulan-bulan menyeka keringat, berhadapan dengan soal memuakkan, dan rutinitas menggenggam aspirin selepas belajar, tak mungkin mudah dilupakan. Detak jantung yang berdebar seharian di hari-H pengumuman seperti sedang menggenggam tangan penghulu sebelum berucap ijab-kabul. Semuanya terbalaskan.

Nikmatnya luar biasa, seperti malam pertama, kata orang-orang yang sudah menikah. Sekali lagi, saya belum tahu rasanya malam pertama. Tapi alangkah indahnya deskripsi seorang siswa SMA yang melepas “masa lajangnya” sebagai seorang siswa untuk meraih kehidupan berwarna sebagai mahasiswa. Mau bukti? Sekarang lihat wajah mereka yang sedari kemarin riwa-riwi di kampus ITS dengan baju khas putih-hitam. Saya belum menemukan wajah cemberut, kecuali mereka yang belum makan seharian.

Sampai sekarang saya ingat betul kata-kata Pak Nuh, rektor yang menyambut saya ketika menjadi Maba. “Alangkah beruntungnya anda. Bisa kuliah dimana jutaan anak muda di belahan Indonesia lain, tak bisa menikmati bangku kuliah. Alangkah beruntungnya anda. Bisa kuliah di perguruan tinggi negeri, dimana hanya sedikit yang mampu menembus persaingan untuk memperebutkan kursi ini. Alangkah beruntungnya anda. Menjadi bagian di salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia (ITS),”.

Keplok…keplok…keplok, tepuk tangan meriah, semua tangan Maba memerah. Wajah para orang tua pun bangga sumringah. Waktu itu saya ikut keplok-keplok kegirangan. Hidung saya menghirup dalam-dalam angin AC di Grha, menusuk masuk menggelitik bulu-bulu lembut untuk menari riang, lega rasanya. Maklum, pengantin baru. Kata-kata Pak Nuh seperti wejangan seorang pemuka agama setelah kami berucap janji. Ya, para Maba dan ITS mengikat klausul untuk seia-sekata.

Setelah malam pertama, bulan madu datang. Pilih yang eksklusif atau sederhana tapi tetap romantis? Terserahlah. Yang penting, hari-hari pertama waktunya gagah-gagahan di depan para tetangga. Maba jadi keranjingan beli merchandise berlogo ITS. Dari gantungan kunci sampai kalung giwang, dari baju polo shirt sampai kaos kutang.

Itu bukti eksistensi kalau ia benar-benar mahasiswa ITS, kampus yang terkenal karena selalu menang kontes robot dan baru-baru ini menang kejuaraan mobil irit plus juara II PIMNAS. Jelas, para tetangga silau melihat keanggunan tugu pahlawan di lambang ITS walaupun untuk menyebutkan kepanjangan ITS mereka berdebat panjang di kantor kepala desa.

“Institut Teknologi Surabaya?”

“Sepertinya begitu…,” jawab Pak Kades bijak.

Selepas acara penyambutan Maba, saya menuliskan berlembar-lembar cita-cita. Inti utamanya berada pada tekad untuk menjadi insnyur yang rajin, baik hati, tidak sombong, rajin menabung, dan berbakti pada orang tua, bangsa, dan negara. Saya yakin, semua Maba melakukan hal sama.

Namanya cita-cita (mimpi), yang nggak masuk akal juga boleh jadi tujuan. Misalnya,”Saya bercita-cita jadi BJ Habibie,”. Ini jelas nggak masuk akal. Wong, sejak lahir namanya Paijo, masak mau jadi Habibie. Kalau mengurus surat balik nama ke Pak Kades (yang tadi), mungkin baru bisa. Sama halnya seperti dua sejoli sedang mabuk kasmaran. Mimpinya macam-macam. Dari punya rumah mewah sampai punya anak berlimpah. Namanya juga impian, sah-sah saja toh.

Jadi mahasiswa jelas lebih gagah. Buktinya? Berapa banyak presiden yang berhasil dilengserkan mahasiswa. Kalau bukan karena gagah, lantas karena apa? Di sanalah bukti bahwa gaya rambut kita yang gondrong kriwul-kriwul bisa lebih “dianggap” ketimbang bocah ingusan berpakaian putih abu-abu. Banyak pendapat berkata kalau siswa SMA adalah masa-masa remaja, maka mahasiswa adalah masa-masa dewasa. Poin kemandirian menjadi parameter kedewasaan seseorang, bukan karena lebatnya brewok yang berkibar ditiup angin kering.

Sebagian besar mahasiswa adalah anak kos. Pendatang baru di dunia perkos-kosan pasti mengalami masa-masa sulit beradaptasi. Kalau dulu ketika di rumah, makanan hadir karena “adakadabra”, sekarang harus bersusah payah dulu keluar mencari makan. Sudah mencari jauh-jauh, belum tentu dapat makanan yang pas di lidah. Tapi patut disyukuri, ketimbang mahasiswa yang memasak sendiri karena keterbatasan dana. Biasanya terjadi di kontrakan-kontrakan mahasiswa.   

Dalam kemandirian, mahasiswa belajar seni kehidupan. Sekarang, sanak saudara tak ada. Kalau ada masalah, misal sakit parah, haruskah kita menelpon sanak saudara di luar pulau sana? Mulailah Maba belajar tentang kehidupan sosial-bermasyarakat. Pernyataan besar terjawab. “Kalaulah anda ingin dihargai orang lain, maka hargailah mereka terlebih dahulu,”. Sekejam-kejamnya mulut tetangga, toh kalau rumah kita kebakaran, mereka dulu yang dimintai bantuan.

Dalam detik-detik ini, bulan madu sudah berubah jadi bulan mengkudu. Rasanya pahit, tapi khasiatnya selevel dengan madu. Kehidupan bergeser dari idealis ke arah realistis. Kuliah tidak lagi mudah dilewati seperti ketika SMA dulu. Metode self study yang berlaku di kampus, benar-benar membuat Maba seperti itik kehilangan induknya. Mau tidak mau, siap tidak siap, semua harus dijalani kalau mau terus berstatus mahasiswa. Mengeluh? Pada siapa anda mau mengeluh? Begitulah adatnya, terima saja.

Hook, Jab, dan upper cut di awal masa kuliah, mungkin membuat kita kehilangan akal. Mungkin saya adalah satu dari sekian ribu mahasiswa yang pernah merasa salah jurusan. Akhirnya saya kembali ke analogi awal tadi. Misal saya punya pasangan hidup, kemudian saya merasa tidak cocok, apakah berarti saya salah memilih pasangan hidup? Bodohnya kalau berpikir begitu. Bisa-bisa Pengadilan Agama jadi tempat terfavorit setelah Pantai Kuta.

Keluhan salah jurusan adalah bentuk pembelaan diri seperti seekor tupai yang pura-pura mati di hadapan predatornya. Bukannya saya tidak pernah mengeluh tentang itu, selalu ketika IP saya jelek (dan memang selalu jelek), itulah umpatan yang keluar.

Dulu sempat berpikir, kalau lulus dari perkapalan masak jadi nelayan. Ternyata pengetahuan saya terlalu dangkal. Bahkan kalau mau berusaha, saya bisa jadi Presiden Zimbabwe. Jangan minder berada di jurusan tak seterkenal Mesin, Elektro, Informatika, atau Sipil. Bahkan tiga tahun terakhir, gelar bergengsi “mahasiswa berprestasi” tidak berasal dari jurusan-jurusan itu. Tenang saja, namanya rezeki, jodoh, dan mati, sudah jadi urusan Yang di atas.

”Toh, cinta tak mesti datang dari pandangan pertama,”

Mahasiswa Batu

Pesan saya untuk diri saya sendiri dan adik-adik Maba. Pasanglah bintang impian kita di tempat tinggi. Kalau bercita-cita hanya sekedar lulus dari ITS, itu seperti keluar dari mulut buaya terus gantung diri. Lebih membanggakan, kalau kita terampil memilih mulut singa yang cocok dengan kepribadian kita kemudian bergulatlah kami di sebuah kandang. Walaupun akhirnya kita mati diterkam singa, minimal sudah berusaha hidup lebih terhormat.

Jangan jadi batu. Keras, stagnan, tak tahu apa-apa, angkuh, bahkan kadang dikutuk seperti malin kundang. Wajar, batu makhluk mati. Sedangkan kita? Anugerah sebuah jaringan rumit syaraf motorik dari Tuhan harus dimanfaatkan. “Apa artinya kaki bila kau tak berjalan? apa guna mata bila tak menatap masa depan?” kata sebuah lirik hip-hop.

Kalau anda bercita-cita menjadi pengganti Ir BJ Habibie, mulailah dari sekarang melahap buku-buku di Perpustakaan Pusat dari lantai satu sampai lantai lima. Kalau mau menjadi Ir Akbar Tanjung, jangan ragu-ragu kalau turun ke jalan. Politik itu tidak memandang anda lulusan mana, yang penting punya prinsip dan berjuang pada prinsip itu. Kalau mau jadi Ir Arifin Panigoro, ya mulai sekarang belajar berdagang. Kalau perlu semua barang milik Ibu Kos diperdagangkan diam-diam. Guyon.

“Lah…orang ITS-nya mana Mas?”

“Nah, Makdarit (Maka Dari Itu)…,”

Berhubung belum ada orang ITS yang seterkenal mereka, secara alamilah kita bertugas membuat ITS lebih terkenal dari sebelumnya. Mumpung Maba masih muda, jalan hidup masih panjang. Sedang saya, sudah jadi mahasiswa berstatus (semi) diakui, kadang harus berpikir ultra realistis ketimbang idealis.
 

Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan 
 

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Maba