Sesampainya di salah satu kampus teknologi, berputar-putar ia mencari tempat tinggal. Malam itu juga ia kehabisan ongkos. Tak ada makan, tak ada kos, pokoknya tak ada lagi uang. Derap tungkainya berhenti tepat di sebuah musholah kecil. Keesokan hari sebelum fajar, Sanusi, seorang pemuka agama setempat, menemukannya tertidur pulas di sudut luar dekat tempat wudhu.
Berangkat jauh-jauh dari desa bernama Gading, 20 kilometer dari kota Madiun, Mukhlis hanya mengejar satu cita: jadi sarjana modal dengkul!
Sedari lahir ia tak punya keluarga. Harapan satu-satunya, Sang Ibu, malah meninggal saat ia teriak kegirangan karena plasentanya diputus Bu bidan. Jelas itu bukan pilihannya. Kalau disuruh memilih, Mukhlis pinta satu hal: Ayah-Ibunya hidup lagi. Selama ini hidupnya memang seperti burung, hinggap dari satu dahan ke dahan lain alias menumpang.
Buku-buku dalam tasnya itu sebenarnya kitab-kitab kuning koleksinya. Pakaian selembar dua lembar hanya diperuntukan dua tujuan, pergi kuliah dan ke masjid. Ah, cara berpikirnya tak seribet orang kota. Besok bisa hidup pun ia sudah sangat bersyukur. Kuliah gratis di ITS hanyalah sebuah keberuntungan dengan probabilitas satu banding satu juta. Mukhlis bersyukur bisa kuliah tanpa biaya. Namun ia berpikir, kalau kuliah tanpa makan apa jadinya?
Sanusi menawarinya pekerjaan. Gayung bersambut. Pada hari itu juga ia berikrar, jadi modin tetap di musholah itu. Putusannya sudah ditimbang masak-masak. Setiap harinya ia bertugas mengumandangkan adzan, membersihkan musholah, memimpin majelis taklim dan mengajari anak-anak kecil baca tulis Quran. Oh iya, satu lagi: melayani jenazah menuju peristirahatan terakhir.
Pekerjaan ini lebih layak berstatus kerja akhirat atau etisnya disebut kerja sosial. Sanusi hanya “menggajinya†dengan “nasi kucing†ditambah dua lembar lauk kembar: tahu-tempe. Sementara, ada pula orang tua santri yang diajarnya, menyumbangkan “uang seikhlasnyaâ€. Kata mereka, buat biaya kuliah Mukhlis. Ia bersikeras pada prinsip, ia bukan peminta-minta, kalaupun ada rezeki ya Alhamdulillah. Semua itu dijalankan dengan ikhlas.
Jarum jam berlari menyaingi Usain Bolt, sprinter pemegang rekor 100 meter. Sebuah pemikiran selalu mengusik hati. Selama bertahun-tahun kuliah, ia merasa tidak ada ketentraman. Banyak teman kuliah menyindir penampilan ndueso-nya. Banyak dosen meremehkan kemampuan akademiknya yang rata-rata itu. Ia terus berpikir, apa yang salah dari dirinya? Apa gara-gara dirinya terlalu sibuk “mengabdi� Bisa jadi.
Kata-kata Alvin, teman seangkatannya, mungkin yang paling terngiang. â€Mumpung masih muda Klis,â€. Tidak maukah Mukhlis menikmati masa mudanya? “Kapan lagi Klis?†tambah Alvin. Tidak inginkah Mukhlis mendekati kehidupan jet-set yang gemar bersuka-ria? “Ayo Klis, gaul dong,â€. Ketika Alvin berkata,â€Jangan zikiran terus Klis. Lihat dunia luar,â€, Mukhlis sempat naik pitam. Tapi sekarang tidak lagi.
“Benar juga sih,†kata Mukhlis. Alvin adalah contoh trend anak muda zaman sekarang. Gayanya klimis seperti tampilan Kim Bum, aktor Korea yang terkenal lewat film Boys Before Flower. Mulutnya merona merah segemilang bibir Justin Beiber. Pembicaraannya seputar baliho terbaru yang dipasang bioskop 21 atau konser musik teranyar di Jakarta sana. Tempat nongkrongnya pun tak selevel lagi dengan mall, lebih ke arah night club.
Tapi bagaimana caranya, uang saja tidak punya. Mulailah ia berkonsentrasi mencari uang dari mengajar privat sampai ikut berupa-rupa proyek. Mukhlis sadar betul akan teologi manusia modern: “no free lunch!â€. Artinya, tak ada yang gratis di dunia ini. Sedikit demi sedikit, Mukhlis bisa menikmati jerih payahnya. Bahkan sangat menikmati sehingga ia mulai paham makna kata reduplikasi: “berfoya-foyaâ€.
Akhir-akhir ini Sanusi khawatir pada perubahan Mukhlis. Musholanya terbengkalai. Bahkan sebulan terakhir, batang hidung Mukhlis tak kelihatan.
Apakah banyak uang bisa memberi kebahagiaan? Nuraninya berujar. Bukankah sebuah keberuntungan bagi seorang anak muda yang kuat ikatannya pada masjid? Di kala shaf sholat diisi pria berambut putih dengan punggung membungkuk, ia tak ragu menjadi orang yang berambut paling hitam, paling depan pula.
Bukankah sebuah kewajaran kalau masjid terisi penuh oleh orang-orang yang sudah low battery itu? Nyatanya, sebelum kenal Alvin, Mukhlis mampu bertahan. Mungkin pula itu salah satu tujuan Mukhlis, menjadi apa yang didendangkan penyanyi nyentrik David Bowie, “The man who sold the worldâ€. Dulu, ia meyakini bahwa untuk kepentingan dunia, bisa dicapai esok hari. Sedang untuk akhirat, itulah hari terakhirnya.
“Another world is possible,†Mukhlis mengingat-ingat sebuah slogan. Hidup tak melulu berotasi pada alur standar: lahir-bersekolah-bekerja-beranak-mati-dikubur!
Sayang, semua terlambat. Sekarang Mukhlis tidak lagi mau me-ndeso-kan diri. Sarung kotak-kotak hijaunya sudah lama jadi kain pel. Saat ini, celana jeans bolong di dengkul jadi terasa nyaman bagi Mukhlis. Kitab kuning sudah semakin menguning berserak di bawah kasurnya. Bahkan, saking sibuknya, Mukhlis tak sungkan lagi meninggalkan kewajiban lima waktu.
Uang sedikit demi sedikit mengganti posisi Tuhannya. Dan memang benar, telah terganti. Raison d’etre! Apa pula alasan Mukhlis diciptakan di dunia ini? Mukhlis amnesia.
Hari itu juga ia luluh. Mukhlis pergi ke Pak Sanusi, melapor untuk pensiun dari modin. Syahdan, ia biarkan kakinya melayang menerjang kehidupan dunia fana. Masa bodoh dengan santri-santri TPA-nya, toh mereka tak membuat Mukhlis berbahagia secara lahiriah. Mukhlis akhirnya banting setir.
Pesan Sang Kyai
Beruntung Mukhlis kecil diasuh seorang bijak bernama Sanusi. Sanusi -nama yang sama seperti “bapak kosâ€-nya di Surabaya- menjadi orang tua berstatus stuntman setelah bapak-ibunya yang asli dipanggil Tuhan. Tepatnya, Sanusi dengan tangan terbuka hadir sebagai pelipur lara. Tak ragu, Mukhlis pun diajak mengurusi pondok pesantren sederhana yang dibangunnya dari nol. Anggap saja ini konsekuensi Mukhlis menumpang di masjid Kyai Sanusi.
Mukhlis makin besar. Jiwa Sanusi seakan tersalur penuh pada tindak-tanduk Mukhlis. Tiap pagi, ia menjadi yang terdepan dalam sholat berjamaah. Maklum, kamarnya terletak persis di samping mimbar tempat khotib membuang sajak. Semenjak umur 13 tahun, ia menjadi semacam ustad bagi santri Pondok Kyai Sanusi. Kebetulan ia mahir berbahasa Arab. Kerumitan pola Nahwu-Shorof bukan lagi sebuah karang penghalang. Lisan dan jarinya seakan sudah berteman akrab dengan aksara arab.
Selain mengajar, ia membantu keuangan pesantren dengan bertani. Sepetak lahan cabai di belakang masjid digarap bersama beberapa santri. Hasilnya lumayan, sedikit demi sedikit perlengkapan belajar-mengajar terpenuhi. Dulunya santri tak memiliki meja belajar, sekarang tiap santri dapat satu.
Ada yang unik, Mukhlis juga suka dengan pelajaran eksak. Di sekolah formal, ia menjadi yang terbaik dalam bidang matematika dan fisika. Terlepas dari kegemarannya berlama-lama memandangi kitab-kitab kuning, ia juga keranjingan menghitung jemarinya untuk menyelesaikan sebuah persoalan analitik.
Siang, selepas pulang sekolah, ia menjadi guru madrasah. Malamnya ia menjadi penghuni masjid kesepian. Baru pada pukul tiga pagi, masjid kembali ramai dikerubungi para santri. Rutinitas itu berlangsung sepanjang hidupnya. Kadangkala, kegiatan berulang itu membuatnya jenuh dan ingin terlepas darinya.
“Jangan jauh-jauh dari masjid,†begitu pesan Kyai Sanusi sebelum Mukhlis berangkat menuntut ilmu di sebuah jurusan teknik. Mungkin karena terlalu singkat, pesan itu hanya bertahan tidak lebih sebulan. Hingar bingar kehidupan kota tentu segera mengalahkan lengang senggang sebuah pesan dari desa.
Saat itu mungkin Mukhlis tak tahu. Di balik jendela, Sang Kyai memandangi. Tirai itu dibuka sedikit, memperhatikan hentak langkah pemuda lusuh dengan semangat terbasuh. Mukhlis pergi melalui kerikil kecil di tengah petak luas ladang sawah desa Gading. Sedikit demi sedikit, masjid yang selama ini jadi tempat tinggalnya bergerak menjauh.
Kyai Sanusi terharu. Berkali-kali ia mengusap pipinya yang kejatuhan air mata. Dengan ikhlas ia melepas santri kebanggaannya.
Mukhlis berjalan sesekali melompat girang. Mulai detik itu ia memasang bintang di otak kanannya, kelak ia ingin meraih penghidupan lebih baik. Pikirnya, bukankah Tuhan menyuruh kita berusaha merubah nasib jadi lebih baik, bahkan tidak pula melarang hamba-Nya menjadi orang kaya? Tentu!
***
Dua puluh tahun kemudian, warga desa sekitar melihat Mukhlis pulang kampung dengan sedan mewah berlabel BMW. Jas krem, dasi berbunga-bunga, dan sepatu hitam mengkilat makin menampakan kewibawaannya. Langkahnya gagah, kepalanya tegak seperti seorang tentara pulang dari medan laga. Tangan kanannya mengapit jari istrinya yang jelita, dan tangan kirinya dibiarkan melambai-lambai berisyarat pada dua putrinya yang sedang menikmati rumah besar tingkat tiga. Mewah.
Dari jauh ia pandangi tetangganya yang tak berubah kehidupannya. Tetap miskin. Gurat senyumnya meliuk sombong. â€Alangkah bodohnya mereka,†ujarnya dalam hati. Semakin membesar pupilnya, nampak sebuah masjid sederhana. Tapi, tak sedetik pun minatnya mengunjungi masjid yang dulu menjadi pengharapannya menghindari terik matahari dan dingin angin malam. Acuh lagaknya setelah angin pendingin ruangan membelai lembut rambutnya.
Di hari Mukhlis pulang kampung, tersiar kabar. Seseorang telah berpulang ke Rabb-Nya. Selepas Dzuhur, Kyai Sanusi segera disholatkan warga sekitar. Sayang, tembok tebal rumah Mukhlis tak bisa ikut mengabari suara dari sound system masjid yang berbunyi kresek-kresek itu. Mukhlis antipati, tutup telinga rapat-rapat.
***
Semenjak Mirabeu memproklamirkan merkantilisme, manusia dipaksa berubah menjadi homo economicus nan rakus. Semua dilakukan untuk seonggok emas batangan. Adam Smith makin menegaskan setelah buku The Wealth of Nation muncul di akhir abad 18. Doktrin laissez faire atau private individual liberty, benar-benar membiarkan manusia berpikir bebas kelewat batas.
Etika moral kapitalisme telah memperkosa sisi humanisme spiritual seorang manusia. Uang sukses menjadi mikropon sebuah keangkuhan dimana manusia saling membunuh karenanya. Takut pada Tuhan? Ah, kata-kata itu sudah membusuk lama di tong sampah depan rumah.
Adagium muda foya-foya, tua kaya-raya dan mati masuk syurga, bisa jadi yang paling logis di era globalisasi. Hari ini, seorang koruptor pun dengan bangga mengaku telah membeli sepetak lahan di syurga sana. Katanya sih, dengan uang hasil keringatnya sendiri.
***
Aku masjid, aku masjid
Mulailah hari-harimu dariku
Mulailah negaramu dariku
Mulailah pergaulan nilai-nilaimu dariku
Mulailah mendewasakan sejarahmu dariku
Mulailah mematangkan sikap kekhalifahanmu dariku
Mulailah merombak, merombak, merombak, dariku
Dan akhirilah semua itu menuju aku
“Aku Masjid†Emha Ainun Najib
Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan
Modifikasi tulisan Ahmad Tohari dalam buku â€Berhala Kontemporerâ€.
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi