Bila boleh beranalogi, Ramadhan seperti sebuah ujian kenaikan tingkat karate. Kebetulan, saya pernah menekuninya. Meskipun sudah dua tahun terakhir ini tidak aktif lagi, tetapi saya masih ingat betul semua yang dulu saya lakukan. Bagaimana tidak?
Banyak orang bilang karate itu keras. Mungkin ada benarnya juga. Kami dilatih untuk membela diri, tetapi juga menyerang dan bahkan membunuh bila perlu. Tapi di atas itu semua, ada hal yang lebih penting, yaitu: kontrol.
Kontrol hanya bisa dicapai melalui disiplin tinggi. Dan di dalam dojo yang saya ikuti, disiplin itu berlaku untuk semua karate-ka. Tidak peduli anak kecil maupun dewasa, lelaki atau wanita. Disiplin itu yang dilihat oleh sebagian besar orang sebagai ‘keras’. Disiplin itulah yang saya ingat betul hingga sekarang.
Karate terdiri dari beberapa tingkatan (kyu). Putih, merah, biru, kuning, hijau, coklat dan hitam. Untuk masing-masing warna tersebut ada dua tingkatan; junior dan senior. Khusus untuk hitam, ada sepuluh tingkatan. Selama ini, hanya pendiri aliran karate itu yang mencapai tingkat ke-sepuluh. Konon ia begitu kuatnya hingga bisa membunuh seseorang hanya dengan satu jari, dan bisa menang bertarung melawan kerbau.
Setiap naik tingkatan, selalu diawali dengan ujian. Ujian itu diadakan dengan rutin. Siapa saja yang sudah memenuhi syarat boleh mengikuti. Saya masih ingat betul, saya bisa sampai di tempat ujian pukul empat sore dan baru sampai kembali di rumah sekitar pukul sepuluh. Melelahkan.
Umumnya dimulai dengan gerakan-gerakan dasar, setelah mengucapkan salam dan pemanasan. Gerakan-gerakan ini termasuk tendangan dan pukulan yang diulang-ulang. Sampai berapa kali, kami biasanya sampai tak kuat menghitung.
Bila nafas sudah menghentak-hentak di dalam dada, dan sekujur tubuh mulai terasa nyeri, kami tak perlu lagi mendengar suara para instruktur di depan yang terus meneriakkan hitungan, ichi, ni, san, shi, go….! Gerakan sudah otomatis, tanpa disadari lagi. Hanya ada satu suara dalam kepala kami, yaitu, kapan ujian ini selesai?
Ada juga ujian kata, atau kombinasi-kombinasi dari gerakan-gerakan. Mulai yang paling dasar, hingga yang loncat-loncat seperti ninja dan yang berputar-putar pun ada. Biasanya dimulai dengan hitungan, lalu otomatis secara bersama-sama. Semakin tinggi level yang dicapai, semakin banyak kata yang harus dihafal.
Penutupan ujian biasanya dilakukan dengan kumite, bertarung. Setiap anak mendapat pasangan dan harus berkelahi melawannya. Kadang-kadang kami boleh menggunakan guard (pelindung), untuk kepala dan tungkai. Tapi lebih sering tidak.
Bahaya? Kalau tidak ingin terpukul ya harus melawan! Kalau sampai mengeluh, senpai dan sensei kami tak pernah lelah mengingatkan bahwa di sebuah pertarungan sungguhan, kita tidak akan ada waktu untuk memakai pelindung. Ya, itulah yang harus dihadapi oleh murid tingkat tinggi.
Untuk tingkat rendah, masih diberlakukan non-contact, atau tanpa sentuhan. Seperti berkelahi dengan sebuah bayangan. Kedengarannya mungkin lucu, tapi sebetulnya tidak. Justru di sinilah letak salah satu kontrol yang paling dini. Menghadapi lawan yang tak bisa disentuh, kami belajar untuk memulai dan mengakhiri gerakan kami secara tepat. Karena kalau sampai kena, bisa-bisa kami diminta push-up oleh instruktur!
Ah, ya, push-up. Saya hampir lupa menyebutkannya. Ini termasuk salah satu bentuk conditioning, penguatan fisik. Ia bersama dengan saudara-saudaranya seperti sit-up dan squat jump menjadi wajib, baik dalam setiap latihan maupun ujian. Berapa kali? Sekali lagi, sampai kita tak bisa mengitung lagi. Tidak tanggung-tanggung pula.
Push up kami bergaya klasik dilakukan di atas kepalan tangan. Buku-buku jari awalnya sering lecet. Lama-kelamaan, mereka menghitam dan mengeras. Kebal, terbiasa. Kalau ingin mengetahui seberapa tangguhnya seorang karate-ka, lihatlah buku-buku jarinya.
Sit-up dilakukan berpasangan, masing-masing saling ’mengunci’ kaki. Kalau tidak bangkit bersamaan, tidak ada satupun yang bisa bangkit. Sungguh, sebuah pemandangan yang indah, ketika kami berpasangan saling merebahkan badan, lalu bangkit memandang wajah satu sama lain yang mulutnya sama-sama berbentuk huruf ’O’, terengah-engah menghembuskan nafas…. saya bercanda!
Tapi, anehnya, justru pada saat-saat terakhir itu tubuh memanas. Yang tadinya lemah lunglai sehabis dihajar dengan berbagai macam kombinasi, tiba-tiba bisa segar-bugar bertarung. Seluruh adrenalin terpompa. Saking semangatnya, para murid tingkat rendah bisa sampai lupa kalau pertarungan mereka non-contact. Korban pun berjatuhan… yah, disuruh push-up deh…
Sehabis ujian, masih ada beberapa hari lagi sebelum keputusan. Setelah keputusan pun terkadang masih beberapa minggu lagi sebelum sabuk baru dan sertifikat tiba. Meskipun begitu, biasanya ada perasaan bangga…sekali setiap habis menyelesaikan ujian berat itu. Sama bangganya ketika berhasil menuntaskan Ramadhan. Ya, kalau Ramadhan-nya beneran, pasti bangga. Atau jangan-jangan bangganya hanya karena bisa memakai baju baru untuk Idul Fitri? Hmm.
Sekilas, mungkin bisa dilihat persamaan antara Ramadhan dan ujian karate; ya, kontrol. Menahan diri, dicapai dari disiplin yang paling sederhana. Misalnya, mulai dengan puasa beduk sebelum akhirnya bisa puasa sepenuh hari. Untuk tingkat yang lebih, bisa puasa Daud secara teratur.
Tetapi yang lebih penting di atas itu: niat. Kalau sampai tidak niat ujian, maka bisa jadi pulang-pulang hanya membawa capeknya saja. Belum lagi kalau tidak lulus. Padahal ujiannya sudah seberat itu… Sama halnya dengan Ramadhan. Kalau puasa tidak diniati, yang didapat hanya lapar dan dahaganya saja.
Yang kedua, ujian tersebut hanya merupakan permulaan menuju tingkatan yang lebih tinggi. Sabuk baru memang berarti skill meningkat, tapi justru tanggung jawab semakin meningkat. Harus semakin lincah dan semakin giat berlatih. Tidak hanya latihan formal di dojo, tapi juga latihan sendiri di rumah. Termasuk conditioning. Ibarat beribadah; tak cukup melaksanakan yang wajib saja, tapi juga perlu menjalankan yang sunnah. Kalau tidak, skill bisa merosot tajam, fisik bisa melemah. Satu amalan buruk yang diniati bisa menghapus amalan-amalan baik yang lainnya…
Berkaitan dengan keduanya itu, ini merupakan proses seumur hidup. Bagi seorang karate-ka sejati, ia tidak akan berhenti hingga ia bisa mencapai tingkat paling tinggi. Bahkan tingkatan-tingkatan sabuk hitam (dan) yang berjumlah sepuluh buah menuntut persyaratan-persyaratan yang mungkin hanya bisa dicapai setelah bertahun-tahun. Kebanggaannya adalah ketika ia bisa terus-menerus memaksa dirinya untuk melampaui ujian yang semakin berat… bagaimana dengan kita para Muslim?
Tentu saja banyak perbedaan antara karate dan Ramadhan. Salah satunya, tak ada orang seperti instruktur yang setia mengingatkan apa saja yang telah dilakukan dengan benar, dan kesalahan-kesalahan apa saja yang perlu diperbaiki. Artinya? Disiplin Islam itu jauh lebih berat. Sudah kelas dan yang harus mengajari diri sendiri. Hanya kita sendiri yang tahu level mana kita berada- meskipun bisa dirasakan dan dilihat dari karakter pribadi. Apakah selepas Ramadhan ini, kita sudah mengalami perubahan?
Kita memang tidak tahu pasti apakah kita telah berhak menuai sabuk baru selepas Ramadhan. Yang pasti, setiap usaha amal dan ibadah yang dilakukan harus semakin meningkat. Bila dilakukan dengan ikhlas dan tekad yang kuat, bisa jadi kita dapat ’bonus’. Pada ujian kenaikan tingkat saya yang terakhir, saya berhasil naik dua level. Tapi saya yakin, bonus itu belum ada tandingannya dengan mendapatkan malam lailatul qadr…
Lisana Shidqina
Mahasiswi jurusan Arsitektur
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi