ITS News

Selasa, 03 September 2024
20 September 2010, 10:09

Tinggal Ngeprint

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Entah saya masuk golongan mayor atau minor. Liburan dua bulan lebih, sungguh-sungguh melenakan. Bahkan kata teman saya, sampai-sampai kita pun lupa cara menulis alfabet. Tangan terasa kaku menulis. Otak mogok beranalisis. Jemari tak lagi pandai berhitung praktis.

Ini realita. Tiap kali berada pada awal semester, jiwa terasa masih berada pada zona nyaman. Kita tak lebih seperti mesin diesel. Butuh waktu lama untuk memanaskan, walau nantinya tenaga yang dihasilkan jauh lebih efektif. Tapi ingat, asap yang ditimbulkan membuat kita ngos-ngosan. Jauh beda dengan mesin hybrid yang lurus, halus, dan mulus.

Ini kenyataan. Memulai perkuliahan adalah hal yang paling membosankan. Selama liburan, kita terbiasa bangun telat. Sekarang? Pagi masih menusuk, kita harus pergi menuju kelas. Awal kuliah hanya jadi formalitas “yang penting masuk”. Sekedar menjaga absensi agar tetap di atas 80 persen. Sehingga sewaktu-waktu kita bisa gunakan jatah absensi yang tersedia cuma-cuma.

Ini sungguhan. Kata teman saya –yang kemudian saya amini-,”Susahnya memulai. Tapi kalau sudah ‘klik’, saya akan keranjingan, tak mau berhenti,”. Lanjutnya, ketika berhadapan dengan soal integral rangkap empat yang seperti kue lapis itu, butuh waktu semalaman untuk mengawali penyelesaian.

Biasanya, kita mendahului dengan kata: diketahui, ditanya, dan jawab. Lalu kita pergi entah kemana, karena hanya itu yang bisa kita tulis. Butuh pertapaan tujuh hari tujuh malam untuk mengisi kolom jawaban. Namun setelah “klik”, kita menikmatinya seperti mengunyah cokelat Cadbury.

Pada awal kuliah, dosen saya selalu mengingatkan. “Syarat lulus dari sini, mudah saja,” kata dosen sebuah mata kuliah menakutkan. “Kerjakan setiap tugas yang saya berikan dengan sungguh-sungguh,”. Saya pikir, benar kata dosen itu. Untuk melewati kandang macan ini, kita hanya disuruh sungguh-sungguh.

Sungguh, beratnya kata kesungguhan itulah yang membuat saya tidak bisa sungguh-sungguh.

Dosen saya berbaik hati. Ia tahu kalau saya mahasiswa dengan tingkat kemalasan di atas rata-rata. “Saya kasih solusi, mudah saja,” katanya. Ia meminta kami membuka buku peraturan akademik. Aduh, saya lupa dimana menyimpannya. Atau mungkin sudah terbuang sejak lama. Oh, ternyata itu masalahnya.

“Pahami makna SKS (satuan kredit semester),” pinta dosen yang terlihat selalu ramah, tapi kejam untuk urusan nilai. Satu SKS bermaksud, selama satu minggu kita belajar selama 50 menit di kelas (tatap muka dengan dosen) dan 50 menit belajar di kos sendiri (self study) termasuk di dalamnya mengerjakan tugas dan segala kegiatan yang menunjang akademik.

Kalau kita mengambil 20 SKS, berarti kewajiban kita adalah 1000 menit belajar di kelas dan 1000 menit belajar sendiri. Total ada kewajiban sekitar 33 jam belajar atau satu hari lebih sembilan jam. Ingat, itu selama seminggu. Kalau disebar dalam tujuh hari, kita hanya butuh 3-5 jam belajar per hari. Sisanya, sekitar 19-21 jam, bisa kita gunakan hal lain seperti tidur 12 jam (wah, ngalah-ngalahin bayi), makan 2 jam, mandi 1 jam, dan cangkrukan 5 jam. “Mudah kan?” tanyanya retoris.

Sang dosen melanjutkan. “Kita tidak perlu belajar kebut semalam. Cicil saja,”. Kalau ada tugas, katanya, segera dikerjakan mumpung masih hangat. Tapi bodohnya, saya selalu menjawab (dalam hati),“Nanti sajalah Pak, UAS masih lama,”. Atau kalau rentang pengumpulan tugas masih panjang, saya selalu mengandalkan injury time. Saya mendalami ilmu kepepet yang konon katanya bisa melahirkan ide-ide cemerlang. Saya saat ini masihlah penganut fanatik sistem kebut semalam. Meskipun saya tahu sendiri, itu tidaklah berarti banyak.

Entah siapa yang mulai menularkan. Entah siapa pula yang membuat candaan ini. Entah setan jenis apa yang ada dalam pikiran saya. Kalau saya boleh berfatwa, selain memulai adalah hal tersulit, maka menunda-nunda adalah sumbu picu dari tiap kesulitan itu. Nikmatnya menunda pekerjaan sama seperti hangatnya mie ayam di tengah dinginnya hujan.

“Tinggal Ngeprint,” begitu kata saya tiap kali mengerjakan tugas. Tugas yang harusnya selesai saat itu juga, masih saya tunda. Kata filem anime Jepang,”Jagoan datang belakangan,”. Tapi kata film Amerika tahun 70-an,”Too late the hero” alias pahlawan kesiangan. Padahal ya…tugas itu tinggal ngeprint karena tinggal mbacem. Sudah kemalasan stadium akhir bukan?

Akhirnya, ya memang selamanya kertas itu berada pada lubang printer. Kalau kita tidak memencet Ctrl+P lalu klik “Print”, selamanya mesin itu akan diam. Secanggih-canggihnya, mereka tetap minta dikomando, bukan menyuruh membaca keinginan kita. Kita maunya tugas selesai, namun kemudian malah terbengkalai. Walaupun rampung, pasti hasil dari filosofi “yang penting ngumpulin”.
 
***
Suatu siang saya cangkruk di plasa jurusan. Mahasiswa purnawirawan seperti saya biasanya hanya punya satu topik obrolan: Tugas Akhir (TA). Seperti biasa kami saling melepas guyon-guyonan. Kebetulan besoknya adalah ujian proposal TA. Berhubung saya belum bisa mengambil TA, saya berusaha mencari teman sependeritaan.

”Yoopo TA-mu rek?” tanya saya.
”Dungakno yo, sesok ujian. Mudah-mudahan lulus,”
”Amin ya Allah,” jawabku singkat.
”Wes mari proposale?” saya melanjutkan.
”Gampang…tinggal ngeprint,”
”Mantab…, Ndang diprint kono,”
”Gampang…sesok, pas wayae budal ae,”

Saya menoleh ke samping kiri. Masih dalam rangka mencari teman sependeritaan. Wajah saya berhadapan dengan wajah yang dari tadi tertawa.

”Yoopo TA-mu rek?”
”Aku?! Hmmm…” jawabnya agak meyakinkan, tapi sedikit angkuh.
”Sesok melok ujian?” tanya saya lagi.
”Hehehe…,” ia terkekeh, sedikit meremehkan.
”Iyo rek! Aku gitu lho…” ia melanjutkan.
”Sudah selesai ta?”
“Ah…” jawabnya singkat.
”Kurang opo Cak?” saya makin penasaran.
”Sedikit sih…,” lagi-lagi jawaban singkat.
”Tinggal ngeprint?”
”Nggak,” bosan saya dengan kesingkatan jawabannya.
Saya termenung cukup lama.
Akhirnya ia menuntaskan jawaban,”Gampanglah…tinggal ngetik judul!,”
Saya masih terpaku dengan kebengongan dosis tinggi, kemudian tertawa.
“Lah…tibae yo podo ae!”

Bukankah judul itu hal yang paling sulit dalam mengerjakan Tugas Akhir?  

”Saya juga…,” sapa yang lain. Alhamdulillah, ternyata masih banyak teman-teman saya yang menjadi pasien akut. Jadi nanti kalau ditanya tetangga, ”kapan lulus?”, maka saya akan mudah menjawab. ”Gampang…tinggal ngambil toga,”. Haha…Bersyukur punya kawan. Mereka selalu beri hiburan. Di tengah himpitan tekanan, saya masih bisa tertawa lepas tanpa beban.

Hawa nafsu itu seperti bayi
Bila anda manjakan,
Ia akan tumbuh dan terus bergantung pada susu ibunya
Namun bila anda sapih,
Ia pun akan tumbuh mandiri
Berapa banyak kelezatan hidup yang mematikan,
Lantaran tidak tahu bahwa lemak itu sebenarnya beracun

(sebuah sajak kasidah klasik)

Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan

Jangan tiru saya. Gara-gara prinsip “tinggal ngeprint”, ideologi “ngguampangno”, dan filosofi “engko-engko ae”, saya masih di sini…di kampus ini, dimana sahabat saya yang lain sudah bersiap lari dari Grha awal Oktober nanti. Wisuda.
 

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Tinggal Ngeprint