Sebuah percakapan sederhana dari dua orang agung: Mohandas Karamchand Gandhi dan Muhammad Ali Jinnah. Sebenarnya mereka berkeras pada posisi senada. Mereka sama-sama ingin India bersatu nan merdeka. Keduanya sama-sama yakin kalau kemerdekaan dari Inggris hanya bisa didapat lewat persatuan muslim dan hindu. Bahkan akhirnya keduanya dijuluki,â€Ambassador of Hindu Muslim Unity,â€.
Sejak Inggris memberi janji kemerdekaan di awal tahun 30-an, mereka berjalan bersama memperjuangkannya di bawah bendera Kongres Nasional India. Maklum, keduanya ini pengacara dengan keahlian diplomasi luar biasa. Ketika mereka ditawari jabatan tinggi di India yang terbagi menurut agama, keduanya teriak keras-keras,â€Tidak!â€.
Sayang, kemudian friksi terjadi. Di dalam tubuh Kongres Nasional India muncul orang-orang fanatik yang hanya peduli golongannya sendiri. Kaum Hindu fanatik yang menguasai kongres berusaha mengeliminasi keberadaan kaum muslim India. Sementara para penguasa daerah mayoritas muslim, memanas-manasi Jinnah untuk keluar dari kongres dan membesarkan Liga Muslimin, cikal bakal negara Pakistan.
Jinnah dan Gandhi akhirnya keluar dari kongres. Jinnah karena ingin mendirikan Negara Islam sesuai cita-cita filosof masyhur Muhammad Iqbal. Berikutnya, Gandhi keluar juga namun bukan untuk mendirikan negara Hindu. Ia keluar karena Nehru, pemuka kongres saat itu, menyetujui pembagian negara berdasar agama.
Pakistan berdiri. Selang beberapa jam setelah India merdeka. Tak sampai menunggu lama, pecah perang sipil India-Pakistan. Jutaan manusia tak berdosa meregang nyawa.
Tidak hanya Gandhi yang kena batunya setelah mendatangi sahabatnya Jinnah paska kemerdekaan Pakistan. Jinnah pun kena getahnya. Dua hari setelah mengumumkan kemerdekaan Pakistan, ia dilempari granat. Keduanya sedih.
Jinnah dan Gandhi menderita oleh rakyat yang sangat mereka cintai. Gandhi ditembak oleh penganut Hindu fanatik yang tidak suka karena Gandhi terlalu membela muslim. Jinnah digranat oleh penganut muslim fanatik yang tidak suka karena Jinnah terlalu membela Hindu.
“Leiden is Lijdenâ€
Kata mutiara yang berarti memimpin adalah menderita. Kalau memimpin itu senikmat madu, maka penjara bukanlah surga bagi Mandela. Kalau memimpin itu ambisi pribadi, maka Guevarra lebih memilih jadi dokter pribadi bergaji tinggi. Kalau memimpin menghadirkan kehormatan, maka Aquino tidak akan pernah mau naik pesawat gratis kelas eksekutif dimana ketika turun ia disambut peluru.
Pemimpin seharusnya lebih hina dari pelayan. Bukan bos dengan congkak menyuruh bawahan. Ia dibayar untuk menuruti kemauan orang banyak. Bukan membayar orang agar mengikuti kemauannya. Karena pemimpin sejati berangkat dari kesederhanaan, tanpa uang.
Bukankah Gandhi selalu berbalut kain sederhana? Ia orang kaya lulusan barat, sekolah hukum dengan predikat memuaskan. Ia tak ingin jauh dari rakyatnya yang miskin-miskin dan bodoh-bodoh itu. Bahkan Gandhi yang kemana-mana naik kereta api ekonomi ini pernah ditanya,â€Sebagai pemimpin besar, mengapa anda mau menaiki kereta jelek ini?â€. Gandhi menjawab santai,â€Karena tidak ada kereta yang lebih jelek dari ini,â€
***
Kemudian hari, Time menurunkan edisi khusus tentang Ali Jinnah. Sang wartawan bertanya,â€Apa yang paling anda sesali selama hidup anda?â€. Sambil tersedu Jinnah menjawab,â€Memerdekakan Pakistan,â€.
Air mata Jinnah terlambat jatuh. Gandhi sudah menangis sejak Jinnah bersikukuh mendirikan Pakistan. Di penghujung hidupnya, Gandhi menggelar mogok makan dengan harap Hindu-Islam bisa hidup dalam damai. “All men are brothers,†kata Gandhi.
Dalam hirupan terakhir nafasnya, tiba-tiba Jinnah menangis deras. Ia ingat sahabatnya yang setia pada kata hatinya. Yang selalu memikirkan rakyatnya tapi lupa pada dirinya. Yang selalu ingin bajunya dijahit sendiri dan melupakan gelang emas yang dipunyainya sejak kecil. Yang tak peduli kursi jabatan walau sudah jadi hak miliknya. Yang selalu diam tak membalas tamparan orang. Yang selalu menunduk melebihi hewan melata sekalipun. Yang selalu ingin mati agar yang lain hidup.
Gandhi, namamu tak cukup diganti dengan penghargaan nobel. Berikan saja penghargaan itu pada orang-orang yang pandai menyusun sematan penghargaan di dadanya yang membusung. Biarlah Gandhi tetap berjiwa besar seperti namanya, Mahatma.
***
Di sini, kami menunggu Gandhi. Kami hanya ingin kampus ini bisa lebih baik. Dipimpin seorang bijak yang tak ambisius mengejar jabatan. “Wille Zur Macht (hasrat menuju kuasa),†kata Nietzche. Ia bukan pula -seperti kata Machiavelli- seorang pendendam yang berkuasa seperti singa lapar atau musang licik.
Di sini, kami menunggu Gandhi. Seorang yang tak betah berlama-lama dalam nyamannya kursi empuk dan sejuknya AC. Bukan seorang yang tak terlihat senyumnya karena kaca gelap mobil mewah berplat merah. Bukan, bukan dia. Saya hanya butuh kewibawaan, bukan kesombongan.
Di sini, kami menunggu Gandhi. Seorang lurus dan mandiri. Bukan sekedar cari simpati kemudian lupa berterima-kasih. Seorang yang tak banyak menebar janji, tapi nyata beraksi. Kami hanya butuh realisasi, bukan basa-basi apalagi sekedar halusinasi.
Ini bukan sindiran pada seorang personal. Saya menunjuk semua nama. Mereka semua yang memasang spanduk di pertigaan elektro dan BAAK. Wajarlah, para calon itu sedang menggaet simpati. Ini proses politik, jangan dijadikan buruk sangka. Namun, jangan pula kampus ini dipenuhi politisi. Biarlah ITS tetap asrama edukasi.
Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan
“Siapapun rektornya, minumnya tetap teh botol tambah nasi kotak,â€
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi