ITS News

Selasa, 03 September 2024
11 Oktober 2010, 09:10

Kalashnikov

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Memang tertera jelas nama Rusia berakhiran “V”, tapi siapa gerangan Kalashnikov? Ia bukan pemimpin Rusia seperti Khrushchev, Brezhnev, atau Gorbachev. Ia bukan pula nama masyhur lain seperti Pushkin, Tolstoy, atau bahkan Yuri Gagarin. Justru, Kalashnikov jauh lebih dikenang ketimbang semua nama tadi.

Saat ini ia sedang bersantai di apartemennya. Hidup sederhana dari uang pensiun sebagai tentara. Di ruang tamu, ia menonton dari stasiun BBC, memperhatikan masterpiece-nya jadi “mainan” bocah-bocah di Jalur Gaza dan “teman merokok” kepala suku Indian bertopeng di pegunungan Chiapas.

Pada ulang tahun tersebut, ia menyambut hadirin dengan suara serak terbata-bata. “Bukan salah saya,” sesalnya. Nada itu mirip kekhawatiran Alfred Nobel bersama nitrogliserinnya. Memang sulit memahami kesedihan itu. Tapi seandainya tak ada dia, tidak akan ada pula kata “perjuangan, kemerdekaan, dan kepahlawanan”.

60 tahun lalu, tepatnya 1947, Avtomat Kalashnikova (AK) lahir. Di rumah sakit tempat Kalashnikov dirawat, ia mencipta senjata paling legendaris. Kalashnikov baru saja diterjang peluru Tentara NAZI. Serangan Blitzkrieg Jerman, menikam Uni Sovyet dari belakang. Ketika itu, semua pasukan Uni Sovyet seperti setengah tersadar. Bahkan pasukan Hitler hampir saja menggelar upacara fascist salute di Istana Kremlin. 

Setiap malam ia menggambar dan membayangkan, tentu sambil merintih kesakitan. Ia memang tak bisa lagi terjun ke medan laga, namun bukan berarti tak bisa berbakti pada negara. Pertanyaan utama dalam benaknya,”Mengapa infanteri Jerman saat itu begitu menakutkan?”. Kalau berita tentang kavaleri dan artileri beratnya, sejak Perang Dunia I sudah terkenal. Tapi soal infanteri, ia masih penasaran.    

Walau Sun Tzu bertitah bahwa senjata peperangan adalah strategi, agaknya kata-kata Mao yang berbunyi “senjata adalah bagian terpenting dalam perang”, jauh lebih logis. Pikirnya, kunci kemenangan ada pada persenjataan, bukan sekedar taktik mencekik.

Strategi perang dunia berubah drastis. Bila sebelumnya berlangsung perang parit yang statis, maka Perang Dunia II bergeser jadi perang jarak dekat dengan mobilisasi cepat. Tentu dibutuhkan sepasukan infanteri bersenjata portable tapi mematikan.

Maschinpistole (MP) atau Sturmgweher andalan Jerman tampil sebagai pionir. Perawakannya ringkas, geraknya tangkas, dan rentetannya beringas. MP bisa menenteng banyak peluru, kemudian  memuntahkannya dalam waktu singkat. Perang jarak dekat jadi keahlian MP, melangkahi kombinasi senapan karabin dan pistol mitraliur. Dari sini, spesies baru ditemukan: senapan serbu atau assault rifle.

Tiga tahun bergulat, Kalashnikov berhasil. “Dia yang akan melindungi negara saya,” ujarnya sambil menunjuk “bayi” bernama AK 47. Teknologinya sederhana, biaya produksinya murah, lebih ringan, dan yang paling utama daya tahannya aduhai. AK 47 masih bisa menyalak di balik salju, di atas gurun, bahkan di perairan. Berbeda jauh dengan M 16 –senjata buatan AS, rival utama AK 47- yang mudah macet. Walau secara akurasi M 16 lebih unggul, AK lebih bisa diandalkan untuk pertempuran jarak dekat.

Segera AK jadi favorit. Bersama anak turunannya, ia melintasi berbagai peristiwa sejarah. Memulai karir pada perang dingin, AK dengan baik hati memerdekakan banyak negara di Afrika sekaligus menolong gerakan revolusioner di Amerika Selatan. Selanjutnya, ia membantu milisi Vietnam mempermalukan Rambo. AK pula bersama Pol Pot mengirim jutaan rakyat kamboja kembali ke alam baka.

Era 80-an, giliran Uni Sovyet menjajal cindera matanya di Afghanistan. Walau Sovyet gagal, AK tetap idola, bukan hanya bagi seorang prajurit merah tapi juga relawan mujahidin. Kemudian Ia menyeberang ke selatan membantu Saddam menghadapi Amerika. Selisih beberapa waktu, AK sukses mengacak-acak penduduk semenanjung Balkan.

Sebagai wujud rasa hormat, AK dipasang pada lambang dan bendera nasional di banyak negara Afrika serta Asia. Bahkan di Afrika, nama “Kalash” menjadi nama peruntungan bagi bayi-bayi yang baru lahir. AK kemudian jadi lambang seksi untuk menunjukkan resistensi. “Now, AK is cultural icon,” ujar beberapa pengamat militer barat. Ya, AK sama populernya dengan kaus oblong bergambar Che Guevarra.

Hampir seluruh faksi bersenjata di Palestina memakai AK di benderanya. Banyak Grafiti di jalan-jalan Irlandia Utara, bergambar pria bertopeng menenteng AK. Bila sedang jumpa pers, Osama bin Laden pun selalu minta dipotret bersanding dengan AK. Sampai perampok yang kemarin tembak-tembakan dengan Densus 88 ikut kepincut barang satu ini.

***

Kalashnikov bercerita, suatu hari ia didatangi anak muda. Ia berlari kemudian memeluknya sambil berucap terima kasih. “AK menyelamatkan nyawaku,” katanya. Tanpa harus menjadi tentara terlatih pun, AK bisa melindungi penggunanya.

Lantas mengapa Kalashnikov menyesal? Bukankah Seneca, Filosof era Romawi Kuno, berkata,”A sword is never killer. It is a tool in the killer’s hand,”. AK bukan pembunuh. Ia tidak akan pernah bisa memulai atau mengakhiri sebuah pertempuan. Pol Pot, Milosevic, dan Charles Taylor-lah yang membuat AK berwajah mesin pembunuh massal.

Ia seperti apa yang Nobel bilang tentang dinamit. “Suatu saat nanti,” kata Nobel. Dinamit diprediksi menjadi lambang perdamaian tertinggi di atas berbagai traktat perjanjian damai. Ia pencipta kedamaian seperti perkiraan Bertrand Russel,“Kedamaian mustahil tanpa peperangan,”. Dari peperangan, manusia kemudian paham apa arti kedamaian. Senada dengan wisdom terkenal berbunyi,”tak ada kesuksesan tanpa kegagalan. Dengan gagal, kita tahu nikmatnya sukses,”.

Masyhur? Tentu saja. Akting Nicolas Cage di film Lord of War, bisa bercerita banyak. Film itu berhasil membuka topeng pemimpin yang rakus, rakyat jelata yang terdzolimi, dan orang-orang yang memancing di air keruh. Cage, si pedagang AK 47, meraup untung di tengah konflik. Stok AK 47 yang ia miliki, laku keras bak kacang goreng. Kepada siapa ia menjual? Pada siapa saja yang sanggup membayar. Tak peduli pembunuh ataupun pahlawan. Baginya, dalam perang, baik-buruk adalah samar.

Mengapa Kalash harus bersedih? Dengannya orang merebut kembali hak-haknya. Penjahat? “Mereka tak pantas memegang AK 47,” kata Kalash. Bukankah tiap teknologi yang diciptakan pasti memiliki ekses negatif? Terpenting, niat awal Kalash tulus untuk kemanusiaan.

***

Walau ITS tidak punya jurusan atau bidang yang membahas kemiliteran, persenjataan tetaplah produk engineering. Sudah sejak lama pengaruh teknologi ini mengubah peta dunia, melebihi teknologi informasi yang baru saja mencapai podium tertinggi. Bukankah kewibawaan suatu negara bisa terindikasi dari kekuatan militernya?

Mari kita lihat apa yang dilakukan China, Israel, dan Iran. Setelah lama AS yang dengan congkak mengendalikan dunia, ketiga negara tesebut kini berusaha merebut dominasi itu. China mungkin negara yang paling arogan kurun beberapa waktu terakhir. Di samping kesuksesan ekonominya, militer China jadi yang terkuat ba’da perang dingin.

Keberhasilan bargaining mereka, tak lepas dari kemandirian militernya. Kemajuan pesat teknologi tempurnya membuat dunia lepas tangan atas arogansi yang mereka gelar. Bagaimana Indonesia? Negara besar itu pun tak mampu menandingi tetangganya, Si Mungil Singapura.

Tentu militer Indonesia tidak akan lupa. Hampir 20 tahun, selusin pesawat F 16 pensiun dini. Embargo militer Amerika yang berlaku sejak tragedi Santa Cruz di Timor Timur, berhasil membunuh TNI tanpa peperangan. Sejak saat itu, semua perlengkapan tempur buatan AS dari senjata berat artileri sampai pistol ringan, mogok bekerja.

Terlepas dari itu semua, ada usaha untuk bergerak menuju mandiri. Kita bisa berbangga, PT DI sedang merintis produksi pesawat serang ringan versi Bronco. Ya, lebih baik daripada terus-terusan membanggakan CN-235 buatan Pak Habibie. PT Pindad pula siap mengembangkan rudal anti pesawat dengan sistem Rapier yang tangkas. Lebih baik, karena dari dulu Pindad hanya terkenal lewat senjata tipe SS. Kita juga sedang menunggu PT PAL merealisasi Program Korvet Nasional. “Semua terjadi kalau ekonomi stabil,” kata Panglima TNI menjanjikan.

Apa peran ITS? Dr Subchan, dosen Matematika ITS, sudah memulainya dengan robot militer yang memenangi kejuaraan di Inggris. Beberapa waktu lalu, konsorsium dengan Angkatan Laut digelar. ITS digandeng untuk mengembangkan kapal selam tanpa awak. Ini sebuah preseden baik menuju kemandirian Indonesia.

Siapkah ITS melahirkan Subchan-Subchan selanjutnya? Harus siap kalau kita masih mau dianggap kampus teknologi. Dalam teknologi, semua berawal dari ide. Tak perlu rumit-rumit, karena Kalashnikov meraih popularitas dengan cara berpikir sederhana. “Saya ingin mengabdi pada Negara,” katanya.

Selamat HUT TNI ke-65

Bahtiar Rifai Septiansyah
“Perang akan tetap hidup, sampai manusia bersedekap di liang lahat,” Thomas Hobbes, filosof Inggris.

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Kalashnikov