ITS News

Selasa, 03 September 2024
18 Oktober 2010, 07:10

Karier

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Saya yakin, kalau ada survey berisi “Apa cita-cita anda sewaktu kecil dulu?”, maka data menunjukkan sebuah kenyataan lucu. Lebih 90 % dari kita, melenceng dari apa yang dicita-citakan dulu. Itulah bukti, bagaimanapun jungkir baliknya kita meraih cita-cita itu, kalau memang bukan jalannya, ya tidak akan menjadi nyata. Namun, bukan berarti kita menjadi makhluk tanpa planning hidup. Salah total.

Ketika kecil, saya memiliki impian jadi pesepak bola terkenal layaknya Andriy Shevchenko, penyerang AC Milan yang paling ditakuti pada masanya. Atau sebab kegemaran saya bermusik, sempat membawa saya bermimpi menjadi rockstar seperti Kurt Cobain, vokalis band masyhur Nirvana. Tapi realitanya sekarang? Shevchenko dan Cobain tinggalah kenangan.

Bukan berarti tanpa usaha. Saya sempat masuk sekolah sepak bola, berbarengan dengan –seperti remaja lainnya- mulai coba-coba keluar-masuk studio musik. Tapi apa lacur, jadi pemain bola di Indonesia tidak seperti di Eropa sana.

Tak ada gaji 100.000 pound per pekan, yang ada kulit saya tambah gosong. Hampir tiap pekan kaki saya pincang-pincang. Akhirnya, nama saya dicoret pelatih sebab badan saya kerempeng. Walau begitu, saya masih mencintai sepak bola sebagaimana titah Captain Tsubasa,”Bola adalah teman”.

Soal musik? Ternyata entertainment itu dunia kreatif yang keras persaingannya. Sebagai pekerja seni, bila belum saatnya sukses, kita harus rela hidup jadi gembel. Belum lagi masalah pergaulan di dalamnya. Berat rasanya untuk meneruskan hidup dalam komunitas ini. Walau begitu, saya masih mencintai musik sebagaimana titah John Lennon,”Music is everybody’s possession,”.

Lantas, adakah di antara anda yang ketika kecil bercita-cita sebagai Software Architect? Welding Engineer? Physician Asisstant? Management Consultant? Entrepreneur? Oil and Gas Engineer? Surveyor atau Inspector?. Kalau ada, berarti ketika kecil anda punya kelainan cara berpikir. Sebab kata boneka Susan, cita-cita seorang bocah cilik itu hanya ada empat: dokter, insinyur, presiden, dan konglomerat.

Susan, susan, susan…
Besok gede mau jadi apa
Aku kepingin pinter
Biar jadi dokter

Masih ingat lagu itu? Seiring beranjaknya umur, pengetahuan meluas. Sedikit demi sedikit, orientasi kegemaran, bakat, dan keahlian kita mulai mengerucut, menemukan titik kejelasan. Sampailah kita pada jenjang SMA, sebuah titik penting yang menentukan arah hidup kita ke depan. Bagi yang melanjutkan pendidikan, bisa memilih jurusan sesuai nuraninya. Bagi yang langsung bekerja, juga bisa menentukan dimana ia harus bekerja.

Hayooo…acungkan tangan, siapa di antara kita yang bercita-cita jadi dokter tapi kemudian malah berkuliah di teknik? Salah siapa? Tenang saja, tidak ada yang salah atas realita ini. Masih banyak contoh dimana akhirnya kita harus berkompromi pada realita. Lho, memangnya kita tahu kalau cita-cita kita itu terbaik untuk kita? Siapa mengira, kalau nantinya bidang teknik memang jalan kita.

***
“Cari kerja itu gampang, yang sulit adalah mencari kerja yang cocok dengan jiwa kita,” kata kawan saya di ujung chatting.

Akhir-akhir ini saya bertemu banyak kawan yang baru saja jadi alumni. Ada yang memasang wajah ceria (fresh graduate syndrome), Ada pula yang hadir dengan wajah cemas (jobless syndrome). Sebagai pendengar yang baik, suka menolong, dan rajin menabung, saya memperhatikan segala curhat mereka dengan seksama dalam tempo sesingkat-singkatnya. Saya menangkap beberapa fenomena.

Pertama, gosip-gosip tentang makmurnya hidup sebagai karyawan perusahan Migas atau tambang. Biasanya para pelamar rela mengantri berjam-jam hanya untuk mengambil formulir pendaftaran. Atau rela menunggu lama hanya untuk ditanya,”What are you doing here?” oleh seorang Kepala HRD. Maklum, ConocoPhilips, Exxonmobile, Chevron, Shell, Schlumberger, Halliburton, Freeport, Newmont berserta segala atributnya memang menggiurkan para calon jutawan muda.

Kedua, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau pegawai BUMN tetap menjadi primadona. Selain model kerjanya yang eight to four, kebutuhan hidup tercukupi dan masa depan terjamin (dengan syarat “dua anak cukup, dua istri? Bangkrut!”).

Ketiga, otak berspesifikasi quarto duo, biasanya melanjutkan studi master atau doktoral di luar negeri. Ada banyak maksud. Beberapa seperti untuk membuka peluang mendapat pengakuan internasional, menjadi akademisi yang mumpuni, sampai sekedar jalan-jalan tanpa peduli ilmu yang didapat.

Keempat, sarjana-sarjana teknik yang banting sentir di luar spesialisasinya. Yang paling terkenal, istilah “insinyur kerja di bank”, sedangkan yang lagi nge-tren, menjadi entrepreneur. Mungkin terpengaruh cerita heroik para entrepreneur sukses, salah satu kawan saya rela berjualan sayur di pasar tradisional lengkap dengan topi petaninya. Semoga sukses Bro! (Sumpah, empat tahun di ITS saya nggak pernah diajarkan menjadi tukang sayur yang baik dan benar, hehe).

Kelima, strategi tebar jala. Ibarat seorang nelayan di tengah laut, kalau beruntung maka jala akan menjaring berupa-rupa ikan, mulai paus sampai teri. Tapi kalau lagi apes, ya…nasib. Strategi ini mengharuskan job hunter bertindak beringas seperti pemburu rusa kelaparan. Segala macam perusahaan di-apply dengan harap membuka peluang seluas-luasnya. Kalau sudah mentok, mereka rela dibayar rendah supaya tidak lama menganggur. Toh, ini bagian dari proses. Hidup kan seperti roda.

***
Saya menghormati segala putusan kawan saya. Hanya, alangkah bahagianya saya, bila dalam memutuskan sesuatu, kawan saya ini memiliki dasar yang kuat. Pilihan itu bukan sekedar ikut mode atau membiarkan hidupnya mengalir seperti air. Kita harus punya rencana hidup yang baik. Walaupun nantinya tidak kesampaian, ataupun harus melalui jalan yang berliku, mereka tetap punya capaian dalam hidup.

Tidak ada yang salah dari lima fenomena di atas. Teman saya yang fanatik terhadap perusahaan multinasional beralasan bahwa ilmu pengetahuan saat ini menjadi milik mereka. “Sudah saatnya kita merebut kendali mereka di negeri ini,” ujarnya bernada nasionalis. Dengan modal cum laude, ia berani menolak mentah-mentah perusahaan yang membayarnya di bawah standar. “Ini masalah harga diri,” sekali lagi dengan nada yakin.

Kawan saya yang lain berkata, PNS saat ini punya stigma negatif sebagai kumpulan orang-orang tidak produktif, berdaya saing rendah, dan rawan KKN. “Lalu?” tanya saya. “Saya menjadi PNS untuk merubah itu semua,” jawabnya. Baginya, di sinilah jalur potensial membersihkan institusi negara dari pengaruh negatif yang mengakar. Boleh juga prinsipnya.

Poin ketiga mirip dengan yang pertama. “Bila negara ini ingin maju, maka kita harus belajar dari negara yang sudah maju,” ujar kawan saya. Selama di kampus saya bertemu banyak kawan yang punya tekad kuat Go International.

Jalan paling mudah memang melalui pendidikan, mengingat peraturan imigrasi untuk bekerja sudah mulai diketatkan di dataran Eropa maupun Amerika. So, sanggupkah kita menjadi bangsa Asia setelah China dan India yang berani menginvasi dunia? Semoga saja.  

Next. Pergaulan saya cukup banyak bersinggungan dengan fenomena ke empat. Ada kawan saya yang lebih memilih menjadi guru SD di daerah asalnya. ”Ini pekerjaan mulia,” katanya. Kelak ia ingin membangun sekolah gratis untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu.

Di sisi lain, kawan saya yang ex-aktivis extrakampus akhirnya banting setir jadi politisi. Kawan saya yang sejak mahasiswa dikenal pandai berdagang, juga memenuhi ambisinya menjadi entrepreneur. Teman saya yang kutu buku, memilih membuka lapak buku di desanya. “Supaya anak desa cerdas-cerdas,” tekadnya.

“Apa nggak sayang ilmu tekniknya?” tanya saya pada kawan yang ingin sekali jadi guru SD. “Semuanya tetap berguna kok,” jawabnya bijak. Benar juga, ketika SMP, saya belajar Tata Busana, Tata Boga dan keterampilan lainnya. Apa bisa dikatakan percuma karena ternyata detik ini saya tidak menjadi Rudi Choirudin, Farah Quinn atau Adji Notonegoro? Dalam pembelajaran tak ada yang sia-sia.

Termasuk kiprah insinyur di dunia perbankan. Saya jadi ingat kawan saya di IPB, kampus yang sering diartikan sebagai Institut Perbankan Bogor. Saya mendukung kawan saya yang memilih jadi pegawai bank. Siapa tahu bisa jadi seperti Dirut Bank Mandiri sekarang yang jebolan Teknik Sipil.

Lah, memang nyambung? Lumayan beririsan. Saat ini, banyak proyek pembangunan hancur lebur karena perbankan tidak percaya. Padahal, arus perputaran uang paling cepat berada pada jalur itu. Sumur dana tak terbatas juga ada di sana. Kebanyakan bank saat ini hanya ingin kepastian keuntungan dan menihilkan resiko. Seandainya ada seorang dengan pola pikir insinyur yang baik menjadi policy maker, bukan tak mungkin industrialisasi maju pesat.

Pada poin kelima, saya perlu mengacungkan dua jempol pada mereka yang berusaha keras untuk segera mandiri. Bahkan ada beberapa di antaranya jadi tulang punggung keluarga. Saya hanya bisa mendoakan dari jauh, semoga Tuhan memberikan jalan terbaik pada anda. Apapun pekerjaan anda nantinya.

Kata kawan saya yang sudah bekerja, ilmu S1 saya itu akan jadi sampah! Saat bekerja, dibutuhkan kombinasi keilmuan yang kompleks. “Jangan khawatir,” kata kawan saya. Hidup itu penuh pembelajaran. Tiada detik tanpa belajar. Mau bekerja sebagai apapun, bukanlah suatu kesulitan, karena tiap pekerjaan punya password yaitu belajar. Yang kita butuhkan hanya satu: PROSES.  

Sadar atau tidak, makin hari lapangan pekerjaan itu meluas, bukan menyempit. Jelas berbanding lurus dengan ilmu pengetahuan yang juga semakin berkembang. Contoh paling mudah, pernahkah ITS menutup salah satu jurusannya gara-gara tidak ada peminatnya? Jawabannya tidak ada.

Justru makin hari, ITS melebarkan sayap dengan tumbuhnya bidang-bidang studi baru. Ini contoh riil di depan mata kita bahwa pekerjaan tak akan lari dikejar. Hanya seorang idiot, yang menjadi pengangguran dengan alasan lapangan pekerjaan sempit bahkan habis.

***
Passion: a great enthusiasm for

Sedari tadi saya membicarakan tentang impian pekerjaan kita. Sekarang saya membicarakan tentang tujuan hidup atau capaian hidup kita. Ini yang dinamakan karier. Tidak ada hubungannya dengan uang apalagi jabatan. Kita berbicara tentang bagaimana mencintai hidup yang kita jalani di umur yang tersisa. Kita sedang membayangkan tak ada bos yang membentak-bentak kita ketika berbicara mengenai keuntungan perusahaan atau deadline pekerjaan yang tiap hari mencekik leher kita.

Sekarang, pernahkah seorang penggemar bola lelah bermain bola? Pernahkah seorang pecinta alam lelah mendaki gunung? Pernahkah seorang kutu buku lelah membaca? Pernahkah seorang pecinta musik lelah mendengarkan? Ini hanya masalah bagaimana kita mencintai, bukan yang lain. Passion adalah sesuatu yang kita cintai, menimbulkan antusiasme kuat, terasa nyaman dijalankan walau orang lain melihatnya sangat membosankan.

Celakalah kita yang hanya berpikir bagaimana kita bisa mendapat uang (bekerja) selepas meraih gelar sarjana. Celaka pula kita yang hanya berpikir bagaimana mencapai posisi puncak dalam perusahaan, entah itu CEO, CFO, atau segala atribut “chief” lainnya. Jabatan itu dipegang paling lama hanya 5 tahun. Bukankah kita banyak menemukan orang yang tak bahagia justru setelah dia kaya dan meraih segala macam bintang kepangkatan?

Lantas, Apa impian kita ketika kecil?
Apa hoby kita yang membuat kita benar-benar nyaman di dalamnya?

Saya senang mendengar teman saya berkata,”Saya mengerjakan ini karena memang saya suka,”. Kalimat itu sejalan dengan tren yang terjadi saat ini. Banyak sekali profesional sukses akhirnya meninggalkan puncak karirnya, hanya untuk mencari kebahagiaan hidup.

Seorang Vice President akhirnya memilih mundur, kemudian membangun usaha restoran kecil-kecilan di dekat rumahnya. Alasannya sederhana, sejak dulu ia hobi makan dan tertarik sekali dengan kuliner. Seorang manajer keuangan juga mundur saat ia ingin dipromosikan sebagai direktur. Juga sederhana, dari kecil suka membuat kerajinan tangan. Namun, semenjak menjadi sarjana ekonomi, ia tiba-tiba lupa kegemaran itu. Sekarang, ia ingin membuat komunitas kreatif, harapannya bisa jadi industri kreatif yang menyejahterakan warga sekitar.

Seorang CEO berhenti menghadiri rapat-rapat penting, untuk sekedar keliling negara-negara kecil di Asia Pasifik. Semua itu hanya didorong rasa cintanya pada dunia travelling. Melihat keindahan alam, ia serasa hidup abadi. Seorang aktris terkenal menggeser aktivitasnya pada dunia filantropisme. Mengunjungi daerah-daerah kumuh lalu berpikir bagaimana memperbaiki nasib mereka, justru menjadi kebahagiaan batin yang tidak bisa dibayar milyaran dolar.

Dalam sebuah pelatihan manajemen diri, seorang motivator berkata,”Jangan gantungkan hidup anda pada pekerjaan saat ini,”. Apalagi bila anda merasa tertekan di dalamnya. Di sela-sela waktu luang, bahagiakan hidup anda dengan aktivitas yang anda cintai. Syukur-syukur, apa yang kita cintai bisa menghasilkan uang (walau tidak banyak).

Ada dua maksud dalam perkataan motivator itu. Pertama, kita dianjurkan mewarnai hidup dengan hal-hal indah. Kedua, kita dianjurkan bersiap menghadapi segala kemungkinan dari pekerjaan kita. Jangan merasa nyaman karena kita sudah bekerja pada perusahaan besar. Bukankah General Motors merupakan perusahaan yang disegani ketika 2008 silam mengalami kebangkrutan? Segala kemungkinan bisa terjadi.

Karier bukan sekedar bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, tapi lebih cenderung menjawab pertanyaan bagaimana kita menikmati hidup dengan standar yang kita buat sendiri. Karier berumur lebih panjang dari pekerjaan kita. Ia lebih membahagiakan daripada kursi direktur utama sekalipun. Warnai hidup anda!

Referensi utama: buku karya Rene Suhardono,”Your Job Is Not Your Career!”
Bahtiar Rifai Septiansyah
Untukmu para fresh graduate. Semoga sukses dalam berkarir, God Bless You! 

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Karier