ITS News

Senin, 02 September 2024
02 November 2010, 14:11

Merapi Tak Pernah Ingkar Janji

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Kata-kata itu tidak terlepas dari sejarah panjang proses letusan Gunung Merapi. Tercatat proses itu terjadi dalam periode siklus pendek yang terjadi setiap antara 2–5 tahun. Sedangkan siklus menengah setiap 5–7 tahun. Siklus terpanjang pernah tercatat setelah mengalami istirahat selama lebih 30 tahun, terutama pada masa awal keberadaannya sebagai gunung api.

Memasuki abad 16, catatan kegiatan Merapi mulai kontinyu dan terlihat bahwa, siklus terpanjang pernah dicapai selama 71 tahun ketika jeda antara tahun 1587 sampai 1658. Tahun dan aktivitas Gunung Merapi yang banyak memakan korban diantaranya letusan  tahun 1672 dengan kroban meninggal 3000 orang, letusan tahun 1872 dengan korban 200 orang, letusan 1930 korban meninggal 1369 orang, letusan 1994 meninggal 66 orang dan letusan 2006 korban meninggal 1 orang. Sedangkan, letusan terakhir, Selasa 26 Oktober 2010 memakan korban meninggal 26 orang termasuk Mbah Marijan.

Setiap gunung berapi di dunia mempunyai karakter masing-masing. Merapi sendiri masuk dalam ”Tipe Merapi”. Tipe ini dicirikan munculnya awan panas atau aliran piroklastik atau istilah lokalnya wedhus gembel. Terbentuknya awan panas tersebut dibedakan atas 2 macam, masing-masing awan panas letusan dan awan panas guguran.

Kejadiannya adalah kubah lava yang tumbuh di puncak dalam suatu waktu karena posisinya tidak stabil atau terdesak oleh magma dari dalam dan runtuh yang diikuti oleh guguran lava pijar. Dalam volume besar akan berubah menjadi awan panas guguran (rock avalance), berupa campuran material berukuran debu hingga blok bersuhu tinggi (>700oC) dalam terjangan turbulensi meluncur dengan kecepatan tinggi (100 km/jam) ke dalam lembah.

Puncak letusan umumnya berupa penghancuran kubah yang didahului dengan letusan eksplosif disertai awan panas guguran akibat hancurnya kubah. Secara bertahap dalam waktu tertentu sesuai siklusnya akan terbentuk kubah lava yang baru dan letak kubah lava berpindah-pindah.

Sejak tahun 1984 teknologi pengamatan gunung api berkembang pesat dan sinyal data dapat dikirim melalui pemancar radio (radio telemetry) maka sejak saat itu gejala awal letusan lebih akurat karena semua sensor dapat ditempatkan sedekat mungkin dengan pusat kegiatan tergantung kekuatan pemancar yang dipergunakan, secara normal dapat menjangkau hingga jarak antara 25–40 km.

Hampir setiap letusan Gunung Merapi, terutama sejak diamati dengan seksama yang dimulai tahun 80-an, selalu diawali dengan gejala yang jelas. Secara umum peningkatan kegiatan lazimnya diawali dengan terekamnya gempa bumi vulkanik-dalam (tipe A) disusul kemudian munculnya gempa vulkanik-dangkal (tipe B) sebagai realisasi migrasinya fluida ke arah permukaan.

Ketika kubah mulai terbentuk, gempa fase banyak (MP) mulai terekam diikuti dengan makin besarnya jumlah gempa guguran akibat meningkatnya guguran lava. Dalam kondisi demikian, tubuh Merapi mulai terdesak dan mengembang yang dimonitor dengan pengamatan deformasi (PVMBG).

Kemajuan teknologi informasi dan media sejak tahun 2000 ikut meramaikan suasana hiruk pikuknya aktivitas letusan Merapi. kalau dulu sebelum tahun 2000 kita hampir tidak pernah disuguhi tentang letusan Merapi, kita hanya disuguhi ”matangnya saja” (sudah diedit/disensor), keberadaan media saat ini betul-betul menginformasikan secara detail kondisi letusan, korban dan kepanikan serta memunculkan sosok Mbah Marijan.

Sebetulnya Mbah Marijan merupakan tokoh masyarakat biasa yang ditugasi Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjaga Merapi dan karena ketekunannya, keteguhannya dalam menjalankan tugas beliau dipercaya masyarakat di sekitar Merapi. Mbah Marijan  belajar secara autodidak terhadap Merapi dengan menggunakan seluruh panca indera dan hatinya sehingga ada hubungan ”chemistry” antara keduanya.

Mbah Marijan tahu perilaku Merapi apakah mau meletus atau tidak. Hubungan ”chemistry” ini hanya sebatas umur Mbah Marijan saja tidak lebih dari 82 tahun, padahal Merapi sudah ada ribuan tahaun lalu dengan kata lain ada beberapa perilaku Merapi yang tidak diketahui Mbah Marijan.

Media mengekplorasi secara besar-besaran terhadap ”kesaktian” Mbah Marijan  sehingga saat terjadi letusan tahun 2006 dan penduduk sebagian besar sudah diungsikan, Mbah Marijan tetap tidak mau mengungsi. Ternyata, letusan tahun 2006 tidak mengenai Mbah Marijan sehingga waktu itu muncul prediksi bahwa yang dilakukan PVMBG kurang tepat. Tahun 2010 terjadi lagi, namun kali ini Desa Kinah Rejo dilewati wedhus gembel dan menyebabkan korban meninggal lebih dari 10 orang termasuk Mbah Marijan.

Mbah Marijan telah memberi inspirasi beberapa ahli ITS untuk mempelajari ”apa yang dikeluarkan Merapi yang bisa ditangkap Mbah Marijan dan sensor apa yang ada dalam tubuh Mbah Marijan yang bisa menangkap gejala G.Merapi”. Mungkin dari hal ini akan ditemukan alat deteksi baru yang berguna bagi masyarakat.

Ir Amien Widodo MSi
Peneliti Manajemen Bencana
Dosen Teknik Sipil 

Berita Terkait