Nak, Bagaimana kabarmu? Sabtu kemarin, aku datang ke acaramu. Mungkin, engkau tidak melihatku. Tapi dari kejauhan aku pandangi senyum bahagiamu. Aku tidak berani masuk, hanya menunggu di luar. Acara di dalam terlalu ramai. Aku sadar diri, tua renta tak pantas lagi masuk ke dalam. Semoga kehadiranku tidak mengganggu kebahagiaanmu bertemu kawan-kawan semasa kuliahmu dulu.
Pada malam cerah itu, aku sungguh kaget. Di hadapanku nampak sangat banyak orang bergumul di gedung…gedung apalah itu, aku tidak tahu namanya, maklum sudah pikun. Omong-omong, pakaianmu modis sekali ya, tampak semakin berwibawa saja. Istri dan anakmu diajak juga toh. Aku melihat mereka keluar dari mobilmu. Nampaknya, hidupmu amat bahagia Nak. Aku turut senang.
Dari luar aku dengar gelak tawamu. Acara dipenuhi hiburan menyenangkan. Dari jauh aku tersenyum. Prinsipnya, engkau bahagia, aku pun bahagia. Acara itu juga dipenuhi kisah-kisah napak-tilas, bingkai nostalgiamu. Berulang kali namaku dan kawan-kawanku engkau sebutkan dengan bangga. “Wah, kalau tidak ada bapak itu (aku), mungkin kita tidak bisa seperti ini,†katamu pada kawanmu. Lalu aku terharu. Untunglah, engkau masih mengingatku, walau jarang menjengukku.
Selepas acara itu, aku masih menunggu di depan pekarangan gedung. Mobil-mobil mewah tadi sudah pulang semua. Suasana juga sudah sepi, gelap gulita. Di tanah yang aku injak, yang dulu seingatku hanyalah rawa-rawa tak terurus, berdiri bangunan-bangunan luar biasa megah. Aku masih berhitung, bangunan itu habis berapa biayanya ya? Pasti mahal. Sekejap saja, kemudian ingatanku terlempar pada masa-masa setengah abad lalu. Saat badanku masih bugar, dan engkau masih bujang tanggung.
Apa kamu masih ingat Nak? Kadang aku tidak tega melihat proses kuliahmu begitu memprihatinkan. Tak ada fasilitas selengkap saat ini. Dulu, bisa dapat ruangan untuk kuliah saja sudah beruntung. Tak perlulah pendingin ruangan, karena angin sepoi-sepoi dari jendela berdebu itu, sudah cukup mewah.
Tentang laboratorium? Ah, semuanya juga serba minim. Aku sering melihatmu duduk-duduk mengantri di depan lab, saking terbatasnya alat. Sepertinya kalau saat ini, kondisi itu bisa menjadi bahan tertawaan. Tak apalah, itulah bentuk pendidikan karakter dari kami. Beda jaman, beda tempaan.
Tapi, akhirnya engkau lulus juga toh. Benar kan yang kubilang dulu, itu semua hanyalah proses. Tergantung bagaimana engkau menghadapinya. Walaupun kuliahmu pontang-panting nggak karuan, aku yakin, aku tidak pernah salah pilih orang. Aku ingin jiwamu seperti Pak Tjokroaminoto yang pandai mendidik rakyat, Pak WR Supratman yang pandai membangkitkan kecintaan pada bangsa, Pak Gubernur Suryo yang tegar, Bung Tomo yang bersemangat, dll. Aku ingin kamu jadi pahlawan bagi bangsamu Nak.
Ananda, aku ingat sekali. Dulu, kamu itu, kalau lulus dari ITS, namamu dipampang di koran-koran se-Jawa Timur. Kamu mendadak terkenal. Kamu lho sering tertawa-tawa sendiri kalau melihat kliping koran itu. “Sekarang aku insinyur Pak…,†katamu padaku dulu. Bangga? Tentu saja. Jaman dulu, ITS hanya menggelar wisuda tidak lebih dari sepuluh orang per tahun. Itu pun acaranya sangat sederhana, namun sangat khidmat. Sekarang? Tiap tahun, aku lihat ribuan insinyur muda keluar dari Grha ITS.
Aku merenung terharu, Nak. Aku tidak menyangka. Usahaku bersama teman-temanku dulu, seperti dr Angka, Jahja Hasyim, Asnoen Arsyad, dan yang lain, berbuah hasil gilang-gemilang. Aku tidak pernah terpikir, dari sekedar yayasan perguruan tinggi dengan dua jurusan, lalu menjadi institut teknik yang disegani dengan jurusan beranak-pinak.
Aku ingat sekali, awal-awal sekolah ini berdiri, kami dulu patungan untuk membiayai kesehariannya. Maklum, waktu itu swasta. Meskipun kemudian jadi negeri, uang dari pemerintah juga tidak mencukupi. Terpaksa kami berhutang lagi, untuk apa yang kami yakini. Suka-duka-manis-pahit, semua sudah kulewati. Bahkan sampai ancaman kampus ini dibubarkan pun, aku sudah kebal menghadapinya. Asal niat kami tulus, Tuhan pasti beri jalan.
Dulu, aku masih ikut rapat-rapat dengan Pak Angka di rumah Pak Asnoen. Jelas kamu tidak tahu. Kamu itu tahunya, tiba-tiba sekolah ini berdiri, masuk, kuliah, lulus, kerja, dan sukses. Kamu tidak tahu suka-duka kami untuk mendirikan almamatermu ini. Memang Angka siapa? Dia itu lho dokter. Memang aku siapa? Sekolah Rakyat saja tidak lulus (perang terlanjur pecah). Kami cuma modal niat, tekad, dan nekat.
Sanubari kami tulus. Setelah negara ini lahir jadi bayi mungil nan imut-imut, kehidupan berjalan abnormal. Bangsa kita kekurangan “orang pinterâ€. Pembangunan kita mandek. Rakyat kita masih pakai karung goni di badannya, dan makan nasi kering bersama garam. Inilah efek penjajahan turun-temurun. Bangsa kita dibiarkan bodoh-sebodoh-bodohnya dan melarat-semelarat-melaratnya.
Berhubung aku lihat-lihat ternyata kunci pembangunan negara maju itu terletak dari sumber daya manusianya yang terampil, lalu aku usulkan agar mendirikan sekolah teknik di Surabaya. Awalnya banyak yang tidak setuju, katanya terlalu imajinatif. Tapi kami yakin itu proses yang memang harus dilalui. Bayangkan, negara seluas ini hanya diatasi lima ribuan insinyur.
Ya sudahlah, kami lanjutkan saja, sambil berharap ada perbaikan di lain waktu. Dan kemudian, aku sangat terkejut Nak. Doa kami begitu cepat didengar Tuhan. Tiga tahun kemudian, setelah perjuangan dan rapat-rapat panjang, Bung Karno, presiden yang aku hormati sekali, datang untuk meresmikan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Rasa bahagiaku tidak terbendung. Hari yang dipilih, hari yang juga kami yakini sebagai semangat kami: 10 Nopember 1945. Dulu aku sempat berjuang bersama Bung Tomo di front depan, dekat Tugu Pahlawan sekarang.
Nah, itulah sebabnya, walau aku tidak pernah kuliah teknik, aku ingin bangsaku tidak bodoh terus seperti aku. Aku pernah merasa, betapa mindernya aku menyaksikan anak-anakku bergelar insinyur. Sedang aku? Kakek tua yang bodoh di sepanjang zaman.
Akhirnya aku senang. ITS, umurmu tak muda lagi. Janganlah semakin renta sepertiku. Tapi justru semakin jaya seiring bertambahnya usiamu.
Pesanku sederhana. Ingat adik-adikmu Nak. Aku ngerasa, kok semakin hari mereka semakin kehilangan arah ya? Aku tidak tahu mengapa. Pokoknya, sesukses apapun dirimu, jangan lupa menunduk ke bawah, menginjak pada tanah yang basah. Banyak yang harus kamu pikirkan selain memperhatikan dirimu sendiri.
Sudah ya, jari tanganku sedang rhematik. Maklum, sekarang peganganku blackberry, jadi sering BBM-an. Padahal, dulu itu, punya Remington saja sudah luar biasa. Hahaha. Walau badanku ringkih, jiwaku masih bugar Nak. Jangan kalah dengan semangatku!
Besok, aku harus medical check up. Badanku sudah sangat rapuh, entah sampai kapan aku bisa bersurat denganmu. Aku rasa masa baktiku sudah usai, tinggal dirimu yang berkewajiban melanjutkannya.
Salam Rindu
Dari Ayahandamu,
Pendiri ITS
kurir surat: Bahtiar Rifai Septiansyah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)