ITS News

Senin, 02 September 2024
14 November 2010, 17:11

Luther, Malcolm, Obama

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Keduanya mati dramatis. Keduanya punya pendukung sama besarnya. Keduanya punya cita sama tingginya, sekaligus sama tidak mungkinnya pada masa itu. Ini tentang perjuangan, pengakuan, pengembalian hak yang telah lama hilang. Bangsa terdampar yang selalu diinjak-injak, kini memimpin negeri yang pernah memasung nenek moyangnya. Itu semua berkat dua orang tadi.

Melalui namanya saja, kita bisa membayangkan sosoknya. Marthin Luther (king), sudah terlanjur masyhur bersama John Calvin atas protes “monopoli surga”. Sementara, Malcolm yang membubuhkan “X” di belakang namanya, sudah berikrar bahwa ia seorang eks-budak, eks-maling, eks-pecandu, eks-pengedar, eks-anak miskin, dan eks, eks, eks lainnya yang menjadi kesan warna kulitnya.

Saat itu, ras manusia yang pernah dituduh penggagas evolusi, Charles Darwin, sebagai “pertalian terdekat dengan kera”, membentak dengan keras. “Kami bukan budak, kami bukan hewan!” seruannya. Ya, mereka hanya dibedakan warna kulit. Sekali lagi, bukan budak! “Lebih baik mati daripada seumur hidup membudak,” aku mereka.

Segala muntahan kata terdengar memekakan telinga. Malcolm dari podium di utara, Luther dari balkon di selatan. Gaya bicara mereka berapi-api penuh ekspresi. Malcolm lebih cadas saat melempar agitasi. “Kalau perlu, kita balas perbuatan kulit putih!”. Luther justru hadir lebih bersahabat. Ia menggambar sebuah impian. Rumah besar Amerika, dengan berbagai ras sebagai anggota keluarganya.

Malcolm membalas rasis dengan rasis. Luther membalas rasis dengan demokratis. Salahkah Malcolm? Tidak sama sekali. Itu ungkapan yang pantas dilontarkan demi mengingat penderitaan nenek moyang mereka sejak empat abad lampau. Itu lontaran kata yang juga akan saya ucapkan apabila Ayah saya disiksa, disayat, dan dibunuh hanya karena kami berasal dari “ras biadab”, istilah Darwin dalam buku The Descent of Man. Omong kosong tentang toleransi. Toh, negara sedemokratis Amerika, menerapkan rasisme lebih parah dari feodalisme di Jawa.

Kalau saya menjadi Malcolm, yang ayahnya mati di tangan Ku Klux Klan (kelompok pro-superioritas kulit putih), yang ibunya depresi berat setelah itu, yang rumahnya dibakar, yang diusir dari sekolah, yang kemudian berpacu dengan hempasan ekonomi, yang masuk penjara di umur belia, yang hampir mati karena perang antar gang, saya juga akan melakukan hal yang sama: merampas kembali hak saya untuk hidup tenang.

Apa Luther salah? Ah, tidak juga. Memang ia lahir dari keluarga mapan nan bahagia, namun ia hidup di selatan Amerika. Ingat kembali perang Union-Konfederasi seabad sebelumnya. Peperangan itu hanya mempermasalahkan penggunaan budak kulit hitam. Dan negara-negara bagian di selatan Amerika yang tergabung dalam konfederasi, menjadi pendukung fanatik perbudakan.

Di mata kepalanya sendiri, seorang kulit hitam harus mempersilahkan “tuannya”, si kulit putih, dalam segala kondisi. Bila sedang mengantri tiket, mereka harus didahulukan. Apabila si hitam tua renta sedang duduk dalam sebuah bus, maka ketika ada si putih sedang berdiri, kewajiban si hitam untuk merelakan tempat duduknya. Dari restoran sampai kedai potong rambut terpisah menurut warna kulit. Semua pintu masuk fasilitas umum dipasangi tanda “White Only”. Luther berang,“Aturan macam apa itu?”.
 
Mereka berdua tidak salah. Luther berjuang lewat rally-rally panjang antrian manusia seperti people’s power Cory Aquino. Sementara, Malcolm yang bersahaja, mengambil statement revolusi yang menampar seperti Ho Chi Minh. Kedua orang ini punya cara sendiri-sendiri untuk memperjuangkan kaumnya. Luther yang seorang pendeta, mengajari arti kasih sayang terhadap sesama manusia, sementara Malcolm yang seorang da’i, memahamkan teologi pembebasan terhadap segala diskriminasi. “Yang berhak membedakan, hanyalah Tuhan!”.

Pertanyaannya, apa Luther dan Malcolm harus menyalahkan nenek moyangnya yang menyumbangkan gen kulit hitam? Tidak! Seharusnya, tunjuklah hidung orang-orang gundul yang selalu berteriak “white power!”. Mereka memakai tudung, dengan obor di tangan kanan, menaiki kuda cokelat, sambil meneriaki dengan sebutan,”Kera!”, lalu membakar harta dan jiwa sampai habis tak bersisa.

Sekarang, bukankah sebelum Van Deventer usulkan politik etis, nasib bangsa kita tak jauh seperti bangsa Luther, Malcolm, dan Obama? Menjadi budak-budak yang sama sekali tak punya hak.

***
Berita diskriminasi ras memang sudah basi. Namun, yang terjadi sekarang justru diskriminasi bangsa. Dalam percaturan dunia, nama Indonesia belumlah “dianggap”. Indonesia masih dikenal sebagai negara kepulauan kecil di dekat pasifik, yang sama tidak berdayanya seperti negara-negara koloni di pasifik.

Walaupun berkali-kali Indonesia mencitrakan diri sebagai pemimpin ASEAN yang bijak, negara paling demokratis di dunia, negara paling cepat pertumbuhan ekonominya, negara paling getol memberantas kemiskinan dan korupsi berkepanjangan. Itu belumlah menjadi bukti otentik bahwa kita memang bangsa yang diperhitungkan.

Bolehlah kita sedikit bangga. Dalam kunjungan Obama ke Asia, pasca tumpahan minyak di Teluk Meksiko dan ribut-ribut politik dengan Republik, Indonesia termasuk dari empat negara yang diagendakan. Sisanya, India, Jepang, dan Korea Selatan.

Tapi jangan mau dibodohi. Kunjungan kurang dari 24 jam Obama hanyalah transit “numpang makan nasi goreng”. Ketika pemerintah memohon agar status Indonesia dinaikkan dari comprehensive partnership menjadi strategic partnership, Obama nampaknya masih enggan. Padahal, India, Korea Selatan, dan Jepang sudah jauh-jauh hari diperhitungkan sebagai partner kerja strategis. Bayangkan, Seoul masih lebih diharapkan Washington ketimbang Jakarta.

Kasus juga terjadi di tempat lain. Proposal Indonesia untuk membuat jejaring bersama Brazil, Rusia, India dan China (BRIC), pun masih menunggu approval. Lucunya, Afrika Selatan, ba’da Piala Dunia kemarin, justru lebih dipertimbangkan. Poros alternatif itu nantinya akan bernama BRICS, dengan tambahan South Africa. Kalau kita akhirnya masuk, mungkin namanya berubah menjadi BRISIC. Brisik! Hehehe. 

Obama juga sedang lobi-lobi di APEC. Pengaruh Amerika masih tertancap kuat di sana. Sementara di organisasi perdagangan bebas (WTO), setelah China manut, tinggal Rusia yang belum mempan dari rayuan itu. Di tempat lain, Amerika memimpin G-20 siap menggeser pengaruh monopoli kelompok delapan yang sudah terkenal mapan sejak lama. Kalau berhasil, Amerika punya kelompok baru, G-28.

Di Asia, China menggandeng ASEAN dan sepertinya kalau sesuai rencana, China bisa jadi raja ASEAN seumur hidup. Timur tengah dan Afrika belum terlalu menggeliat, berhubung kondisi politik yang naik turun. Namun, Uni-Afrika sudah ambil ancang-ancang mengikuti garis kebijakan masyarakat Eropa: membuat aliansi raksasa. Sementara di belahan lain, Amerika Selatan dengan seragam politik “kiri baru” sudah siap berhadap-hadapan dengan dominasi AS.

Sementara kita? Hanya bengong melihat dunia diatur-atur oleh segelintir orang. Kita hanya bisa berharap dari probabilitas yang berubah tak menentu. Tanpa solusi, tanpa aksi, hanya bisa berprediksi. Saat ini, semua bangsa menggelorakan pax universalis. Dunia makin menyatu dengan tujuan hampir seragam walau jalan yang diambil berbeda. Sekarang, tinggal niatan bangsa kita, mau berpartisipasi atau tidak.

Bung, kita bangsa besar. Sudah seharusnya kita sejajar dengan India dan China. Jangan lagi bangga bahwa Indonesia adalah pasar kondusif bagi investor asing. Pertanyaannya, kapan kita ekspansi pasar ke luar?

Jujur saya kaget. Kapan hari saya lihat launching mobil Chery produksi China. Dalam hati saya bilang, akhirnya mobil ini masuk juga setelah lima tahun berusaha menjebol pengaruh Jepang terhadap Indonesia. Saya jadi ingat perkataan Hillary Clinton. “Mulai detik ini, Made in USA siap menebar teror terhadap Made in China dan Made in Japan,”.

Made in Indonesia? TKI
***
Sekarang saya ajak anda merenung. Apakah kita masih menyimpan watak seorang budak? Watak yang hanya mengerti kalimat perintah, yang hanya bisa bilang “iya paduka”, yang rajin meniru cara-cara “bangsa beradab”, yang melupakan keagungan nenek moyangnya, yang hanya berpikir bagaimana kabar hari ini, dan, persetan dengan esok hari. 

Rasanya, kita perlu menyerang balik Darwin. Karena dalam teori-teorinya, kita, ras Asia yang berbadan mungil, berkulit sawo matang, berhidung setengah mancung, bermata hitam, dianggap sebagai "The Missing Link", suatu bangsa primitif peralihan kera dengan manusia. Katanya, pada zaman Homo Erectus, atau manusia berbadan tegak, kita bersama ras Afrika memiliki jalur berbeda dengan ras Kaukasoid.

Kita adalah bangsa dengan volume otak lebih kecil ketimbang bangsa Eropa. Para pendukung Darwin sampai bersusah payah mengumpulkan fosil-fosil di Eropa, untuk membuktikan bahwa bangsa Eropa memang ditakdirkan sebagai bangsa unggul. Kebohongan yang justru dibuktikan oleh ilmuwan mereka sendiri di kemudian hari.

Darwin mengilhami penjajahan dunia. Darwin mengajarkan bangsa Inggris dengan kalimat,”Semua samudra adalah milik kami,”. Darwin menuntun Columbus, Cortez, dan Pizzaro dengan testamen,”Indian, dan semua penduduk asli dimanapun mereka berada, ialah hewan liar ‘setengah beradab’ yang harus dimusnahkan,”.

Baru-baru ini saya tertawa ngakak. Alasannya, ide tentang naturalisasi pemain sepak bola Indonesia. PSSI mengusulkan beberapa pemain turunan Indonesia di Belanda, Jerman, Italia, untuk masuk Tim Nasional. Kata mereka, anak-anak muda blasteran itu punya kecepatan, teknik, dan postur tubuh lebih baik dari orang Indonesia asli.

Ketahuan banget kan kalau pengurus PSSI bukanlah penggila bola, tapi para oportunis. Apa kita tidak pernah melihat Lionel Messi yang tingginya mungkin sebadan saya, tapi mampu menari indah bersama si kulit bundar. Bahkan di lapangan basket, Tyrone Bogues yang tingginya 160 cm, pernah luar biasa heroik ngeblock salah satu bintang terbaik NBA, Patrick Ewing yang tingginya 214 cm. Bagi saya, biarlah Indonesia tidak juara Piala Dunia, itu lebih baik daripada juara tapi melalui kaki orang-orang yang tidak bisa berbahasa Indonesia.

Saran kongkrit saya, hapus saja ajaran Darwin dari buku Biologi kita, supaya kita tidak selalu merasa inferior. Sudahlah, saya juga pernah merasa rendah berhadapan dengan orang barat yang tinggi-tinggi, tapi di sisi lain menghina orang Afrika dengan sebutan Negro. Saat ini saya sedang belajar menegakan kepala di depan orang-orang dari negara maju sekalipun, sekaligus menundukan kepala kalau memang pantas menghormati manusia atas integritas dan dedikasinya.

***
Terakhir, saya ingat pesan kawan saya yang seorang pecinta alam. “Bah, kalau kamu mau tahu betapa beruntungnya kamu terlahir sebagai bangsa Indonesia, sekali-sekali luangkan waktumu untuk menyusuri keindahannya. Luar biasa!”.

Balas saya, “Ya, saya punya rencana menembus batas-batas marjinal tanah air yang amat saya cintai ini. Tunggu tanggal mainnya,”.

Semua manusia diciptakan sederajat. Kalau yang satu melebihi yang lain di satu sisi, maka yang lain berbalik melebihinya di sisi berbeda. Sudah kodratnya kalau manusia tidak sempurna. Saya selalu meyakini, orang yang mampu mandiri-semandiri-mandirinya tanpa bantuan orang lain bagai bayi yang lahir tanpa ayah, tanpa ibu, dan tanpa hubungan badan.

“Change, WE can believe in. Yes, WE can!” Barrack Obama di hadapan 1,4 juta orang saat pelantikannya sebagai Presiden.

Bahtiar Rifai Septiansyah
Seorang manusia berkulit cokelat sawo setengah busuk
“Kita Bangsa Besar, Bung!”

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Luther, Malcolm, Obama