ITS News

Senin, 02 September 2024
15 November 2010, 09:11

Mengapresiasi Nuh

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Mencerahkan yang saya maksud bukan dalam pengertian berapa bangunan sekolah yang telah dibangun atau setinggi apa kenaikan tunjangan gaji guru dan dosen. Kedua hal tersebut saya kira sudah sewajarnya dilakukan Mendiknas sebagai pengemban amanat pembukaan UUD 1945 yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Atau bahkan seberapa banyak 20 % dana APBN  sebagai amanat pasal 31 UUD 45 yang dialokasikan. Hal yang demikian saya rasa memang kewajiban tugas setiap orang yang menduduki jabatan Mendiknas.

Namun, untuk mendiknas yang satu ini patut diberikan pujian atas pendidikan yang diberikannnya yang tidak bisa diukur secara kuantitas. Mohammad Nuh, sang menteri itu bagi saya telah mencerahkan generasi sekarang dengan pendidikan demokrasi yang telah dituangkannya lewat kewenangannya dalam membuat peraturan menteri.

Mungkin tidak semua tahu bahwa dalam tahapan pemilihan rektor ITS yang sedang berlangsung, Mendiknas telah mengeluarkan peraturan terbaru terkait pemilihan rektor perguruan tinggi negeri (PTN) yang bukan berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Jika proses pemilihan rektor dalam peraturan lama senat menyodorkan tiga nama untuk diserahkan pada Mendiknas dan dialah yang memilih salah satu, maka yang terbaru berbeda. Menteri tidak lagi memiliki hak prerogatif alias 100% suara dalam memilih rektor PTN non-BHMN.

Merujuk pada peraturan baru, proses pemilihan rektor hampir mirip dengan yang berlaku pada PTN BHMN. Pada PTN BHMN, pemilihan rektor dilakukan oleh lembaga yang bernama Majelis Wali Amanat (MWA) yang beranggotakan mendiknas, wakil orang tua, masyarakat, dosen, dan sebagainya. Menteri hanya memiliki bobot suara sebesar 35 %. Sisanya sebesar 65 % dimiliki oleh anggota MWA lainnya.

Perbedaannya, PTN non-BHMN tidak memiliki lembaga yang bernama MWA tersebut. Maka peran MWA dalam PTN non-BHMN seperti ITS diambil oleh senat. Tak heran jika hasil dalam pemilihan lalu 3 peraih suara terbanyak oleh senat bakal dihitung sebagai perwakilan 65 % suara senat. Mendiknas tinggal menggunakan hak suara 35 %-nya untuk menentukan siapa yang bakal menduduki kursi ITS-1 periode 2011-2015 mendatang.

Pendidikan Demokrasi

Bagi mahasiswa di mana pun khususnya di Indonesia tercinta ini, demokrasi merupakan hal paling dasar yang perlu diperjuangkan. Zaman pergerakan kemerdekaan dahulu kaum terpelajar (baca: mahasiswa) memperjuangkan demokrasi dalam rangka memerdekakan negeri ini dari penjajahan asing. Meskipun kata-kata yang digunakan mereka adalah “merdeka”, maknanya bisa kita baca sebagi upaya melahirkan demokrasi itu sendiri. Penjajahan adalah tirani atas bangsa lain. Tidak ada kebebasan dalam tirani itu. Penjajah mencuri kekayaan bangsa ini dan memeras keringat rakyat. Penindasan tersebut tentu adalah kediktatoran jika kita bawa dalam konteks demokrasi. Jika penjajahan berakhir, maka berakhir pula kediktatoran itu.

Generasi Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir berhasil memerdekakan negeri ini. Tapi dalam perjalanannya format demokrasi itu belum terpikirkan secara mendalam. Akibatnya bangsa ini pernah mencoba-coba format terbaik. Pada periode 1950-1959 bangsa kita mengadopsi demokrasi liberal yang bersifat parlementer. Sistem tersebut ternyata sulit diterapkan karena kepentingan partai lebih dominan ketimbang kepentingan rakyat. Akibatnya, terjadi jatuh bangun kabinet dalam tempo singkat.

Hingga akhirnya, Bung Karno mengeluarkan Dekrit 5 Juli tahun 1959. Dia menyatakan sistem demokrasi liberal tidak cocok untuk bangsa ini. Bagi Bung Karno demokrasi terpimpin lah yang haru diterapkan. Demokrasi ala Bung Karno itu rupanya hanya kata-kata yang manis di podium. Ternyata, demokrasi terpimpin hanyalah kedok yang digunakan proklamator kita itu untuk melanggengkan kekuasaan otoriternya. Tak heran apabila rekan seperjuangannya, Bung Hatta mengkritik sahabatnya itu dalam  risalah Demokrasi Kita tahun 1960. Bung Hatta mengatakan bahwa demokrasi adalah sebuah keinsafan.  Walaupun berbagai upaya dilakukan untuk memasung demokrasi, pada akhirnya demokrasi itu akan kembali dengan sendirinya.

Apa yang diramalkan Bung Hatta terbukti hanya dalam tempo 6 tahun. Peristiwa G30S ditambah krisis ekonomi membuat segenap elemen masyarakat khususnya mahasiswa turun ke jalan menuntut turunnya Bung Karno. Terlepas dari tunggangan politik waktu itu, tuntutan pada Bung Karno tidak bisa dilepaskan karena “dosa” yang dibuatnya sendiri. Dia menjadi diktator. Memenjarakan para pengkritiknya yang sebenarnya wajar dilakukan dalam sebuah negara demokrasi. Tak heran bila mahasiswa mengambil perannya untuk demokratisasi bangsa ini.

Tapi, apa yang dicita-citakan itu berakhir pada sebuah kepalsuan. Bukan demokrasi yang didapat, melainkan kedikatatoran yang mengambil rupa sama berbeda baju. Seorang jenderal menjadi presiden dan mencekeram kehidupan sampai tingkat paling bawah. Nyaris tidak ada kebebasan. Tujuan pembangunan hanyalah fisik, pertumbuhan ekonomi dan gedung-gedung mewah di Jakarta sana. Hanya ada pemilu dengan partai yang dibatasi 3. Selebihnya tak ada.

Pada akhirnya, demokrasi juga yang menang. Lagi-lagi, karena krisis ekonomi bangsa ini tersadar tidak memiliki apa yang paling mendasar itu. Kemakmuran harus disertai kebebasan. Tapi hal itu tidak diberikan rezim Soeharto. Mahasiswa dan komponen lainnya turun ke jalan menuntut mundur sang penguasa.

Sejak 12 tahun yang lalu bangsa kita tenggelam dalam euforia demokrasi itu. Partai seolah tak terbatas jumlahnya, pemilihan presiden langsung, pers seakan tidak punya “rem”, demonstrasi hal yang biasa, dan bentuk euforia lainnya.  Pokoknya, apa yang tidak didapat dalam pemerintahan terdahulu coba diterapkan sebisa mungkin.

Dalam konteks inilah kita berterima kasih atas upaya Mendiknas Mohammad Nuh. Pada zaman otoriter dahulu pemilihan rektor itu mutlak wewenang pemerintah. Bahkan pemerintah boleh mencopot rektor yang tidak bisa mengikuti selera penguasa seperti yang terjadi pada Iskandar Alisjahbana, Rektor ITB yang membiarkan mahasiwanya menuntut presiden agar tidak dipilih kembali.

Upaya yang telah dilakukan untuk memberi wewenang pemilihan rektor dimulai semenjak pendirian PTN BHMN. Dalam lembaga MWA, hak pilih pemerintah diperkecil – meski tetap besar – sedangkan total suara anggota yang lain lebih besar. Hal ini tentu membuat akomodasi para anggota MWA diperhitungkan mengingat mereka sangat erat kaitannya dengan kahidupan kampus.

Selama masa itu PTN yang bukan BHMN masih mewarisi tradisi lama. Rektor ditentukan mutlak oleh presiden yang diwakilkan pada mendiknas. Peran senat hanya sampai memilih beberapa calon yang nanti diserahkan kepada mendiknas untuk memilih mana yang sesuai dengan “selera” Mendiknas. Dengan metode ini tentu subjektifitas menteri sangat besar. Apalagi jika menterinya tidak mengenal seluk beluk kampus itu akibat geografis yang memisahkan. Katakanlah jika PTN itu berada di Aceh, Papua, ataupun Sulawesi yang letaknya sangat jauh dari Jakarta.

PTN dimiliki oleh negara. Dengan begitu “pemegang saham” terbesar secara otomatis adalah pemerintah pula – sebagai fungsi eksekutif negara. Hal tersebutlah yang menjadi landasan hak prerogatif menteri sebagai wakil pemerintah dalam penentuan rektor. Tapi, mendiknas dalam kebijakan terbarunya seakan mendobrak paradigma itu dengan memperkecil suaranya sebagaimana yang berlaku pada PTN BHMN. Walaupun “saham”-nya 100 %, mendiknas tidak lagi punya wewenang 100% dalam urusan kampus.

Itulah pendidikan demokrasi yang diberikan Mohammad Nuh. Hakikat demokrasi itu adalah suara rakyat atau suara sivitas. Dalam lingkungan kampus, yang paling merasakan langsung kebijakan seorang rektor tentu sivitas itu sendiri. Sudah sewajarnya “kontrak sosial” terjadi antara sivitas dengan pemimpinnya, bukan mendiknas – yang walaupun pemilik PTN itu namun tidak merasakan langsung dinamika yang terjadi di dalam.

Saya suka dengan perkataan seorang filsuf sekaligus enlightener (pencerah) Perancis perihal prinsip dasar demokrasi: “ Saya boleh berbeda pendapat dengan Anda. Tapi keinginan Anda mengungkapkan pendapat akan saya bela,” kata bijak filsuf itu. Tanpa bermaksud apa-apa, saya membayangkan mendiknas kira-kira mau mengatakan begini: “ Saya boleh pemilik kampus (sebagai wakil pemerintah) ini. Tapi keinginan sivitas menentukan pilihannya akan saya berikan.”

Sekali lagi kita harus mengapresiasi kebijakan mendiknas terbaru itu. Apalagi sebagai anak kandung Ibu yang luhur ITS, beliau bisa memberi contoh bahwa demokrasi – meminjam kata Bung Hatta – memang sebuah keinsafan (kesadaran). Namun hanya lewat orang-orang yang tepat saja kehadirannya bisa diwujudkan. Semoga…

Samdysara Saragih
Mahasiswa Teknik Fisika ‘07

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Mengapresiasi Nuh