ITS News

Senin, 02 September 2024
29 November 2010, 18:11

Aktivis Study Oriented

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Rahman melangkah bangga. Badannya yang tegap, sedang dilingkupi jaket dengan emblem menyilaukan bertulis Himpunan Mahasiswa. Emblem itu kiranya sudah cukup membuat orang-orang sekitar berpikir,”Keren yah,”. Maklum, Rahman punya potongan lumayan flamboyan. Tiap perjalanan, ia menemukan orang yang dikenal. Dengan ramah ia sapa, bukti kalau ia memang cukup sociable.

Sementara itu, Habibi duduk menyepi. Seakan hidup pada dunia yang ia buat, senyumnya mengembang sendiri di depan buku tebal beraksara Inggris. “Aha, akhirnya saya menemukan misteri itu,”. Ia gerakan kacamatanya sekali lagi, memfokuskan sekaligus meyakinkan diri. Kawan di sampingnya bertanya. Dengan sigap, ia jelaskan persoalan rumit itu bak dosen yang baru pulang tugas belajar. Lancar sekali.

Pada sebuah momen, mereka berpapasan. Rahman memandangi Habibi yang sedang asyik dengan soal-soal perkuliahan. ”Ah, dasar…study oriented, apatis-egois!”. Mendengar desisan, mata empat Habibi menengadah, berhadapan langsung dengan emblem itu. Wajahnya yang innocent menatap gaya Rahman berjalan. “Hmmm…bisa apa mereka itu? Demo anarkis? Kuliahnya saja belum tentu beres,”.

Hadirkah mereka di tengah kehidupan mahasiswa? Kesan itu mungkin mulai terkikis. Walaupun indikasi masih fasih berbunyi.

Literatur sejarah membuktikan, aktivis senang berbaris panjang di tanah lapang. Lalu mereka meneriaki bejatnya dunia bersama Plato, Voltaire, Locke, dan segerombolan pasukan Jerman macam Kant Si tukang kritik, Nietzche yang bengal, dan Karl Marx Sang penyihir. Karena memang tuntutan peran, gaya mereka harus agitatif, eksploratif, dan kadang superlatif. Soal rekayasa sosial, mereka jagonya. Bagi sebagian orang, mereka itu angkuh, tapi begitulah adatnya.  

Sementara seorang Study Oriented merubah peta dunia dengan bersenandung di rindangnya pohon, sambil menunggu kapan apel merah jatuh mengenai kepala Newton. Atau memilih berendam pada sebuah ember bersama Archimedes untuk kemudian berteriak girang,”Eureka!”. Dari sebuah kursi malas, tanpa harus terjun langsung, mereka pun yakin bisa merubah dunia. Kegiatan membosankan bagi sebagian orang, tapi itulah surga mereka.

Sepertinya, jembatan keledai lebih pandai bercerita. Terminologi kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang), kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat) atau 3K (kuliah-kantin-kos), manakah yang lebih nyaring terdengar? Keduanya setimbang. Kata seorang kawan, klasifikasi pertama punya tiga pekerjaan utama: berkonsepsi, berkonsolidasi, dan beraksi. Sementara yang kedua punya dua kegiatan: meminjam buku dan mengembalikan buku, sampai-sampai petugas perpustakaan hafal wajahnya.

Sebenarnya keduanya adalah minoritas. Si penguasa utama justru, para mahasiswa yang berpikir tengah (dan menyesatkan) seperti saya. Kurang peka sosial, tidak pula terlalu minat belajar. Yang penting kuliah standar-standar, kemudian hura-hura! Orang-orang dengan tampang macam saya seharusnya dilenyapkan dari muka bumi. Kami biasanya hanya jadi follower, sama sekali bukan leader. Kami lebih seperti dadu yang dikocok dalam kotak, kemudian berharap keluar angka baik. Bukannya sigap merampas dadu dari tukang kocok, untuk kita tentukan sendiri, angka baik apa yang akan keluar.

***
Minggu kemarin saya antusias menyaksikan acara “Semalam Bersama Slamet Rahardjo” di TVRI, stasiun televisi kebanggaan nenek saya. Tidak lain, tidak bukan, menyaksikan saudari Tyas Nastiti, mahasiswa Depsro, tampil. Sebelumnya, kalau saya dapat kabar ada civitas yang masuk tipi, saya sempatkan menonton. Terakhir, sahabat saya Achmad Ferdiansyah memukau saya di Economic Challenges Metro TV. Saya perlu berterima kasih pada mereka yang menjadi duta bagi ITS.

Pertemuan itu dihadiri Dirjen Dikti, beberapa dosen, dan mahasiswa berprestasi dari berbagai kampus. Mereka adalah orang-orang terbaik dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Di awal acara, Bung Slamet beri tajuk unik. Sebuah gambaran aktivitas mahasiswa, yang disinggungkan dengan kebenaran epistemologis “anarkisme”. “Apa masih realistis aksi mahasiswa tersebut?” tanyanya.

Saya terenyuh. Ada tiga mahasiswa berbicara dari tiga almamater berbeda. Luar biasanya, mereka tidak berbeda satu oretan kata pun. Ketika ditanya tentang kegiatan ekstraparlementer yang biasa dilakukan aktivis mahasiswa, mereka menjawab,”Itu kewajiban kita sebagai mahasiswa,”.

Tadinya saya berpikir, para pemenang PKM ini akan menyalahkan habis-habisan kelompok mahasiswa yang hobi turun ke jalan. Kemudian membenarkan diri karena telah melakukan aksi kongkrit di tengah masyarakat. Ternyata sebaliknya, nafas idealisme dan soliditas itu masih ada. Terima kasih banyak.

Beruntunglah mereka yang menikmati masa-masa bangkitnya PKM. Dulu, saat saya awal-awal kuliah, even-even ini hanya dimonopoli kelompok elite mahasiswa tertentu. Dulu masih lebih dikenal nama Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM), kemudian berganti jadi KKTM dan kemudian PKM. Walau sebenarnya PKM sudah ada sejak lama, tapi yang lebih dikenal LKTM.

Dulu, mana ada yang peduli karya ilmiah. Walaupun ada, kadang mahasiswa kesulitan mencari dosen yang juga peduli pada hal ini. Mirip itik kehilangan induknya. Orang-orang seperti saya, yang menulis judul ilmiah saja sulitnya minta ampun, akhirnya mundur pelan-pelan. Beruntung bagi mereka, yang selama SMA sudah dikenalkan bagaimana membuat karya tulis ilmiah, mempresentasikan, dan mempraktekan.

Kini, PKM seperti trendsetter. Hampir semua mahasiswa membicarakan hal ini. Tidak peduli aktivis, tidak peduli study oriented, tidak peduli mahasiswa bakat dagang, bahkan sampai mahasiswa yang hobi hura-hura. Apalagi pihak kampus akhirnya mendukung dengan sepenuh hati. Ini bisa jadi pekerjaan rumah besar bagi kita, untuk makin menyeimbangkan kehidupan kampus.

***
Saya masih ingat perdebatan kawan-kawan Legislatif Mahasiswa saat berusaha menggolkan UU Pemira. Alotnya penetapan aturan presiden BEM ber-IPK 2,75 dan batasan SKS tempuh tertentu, pun salah satu usaha mendorong aktivis ideal. Bahkan di beberapa organisasi, mulai menerapkan aturan standar IPK untuk masuk ke dalamnya. Kalau menurut saya, ini fair. Asal jangan syarat IPK-nya 3,5 saja, bisa-bisa KM ITS bubar barisan.

Tahun kemarin, sempat geger di sebuah kampus bergengsi, sebab presiden BEM terpilih ternyata IPK-nya satu koma. Walaupun saya sebelas-dua belas dengannya, tapi saya lebih sadar diri, kalau memimpin bukan hanya bermodal kemampuan berkoar di balik megaphone, tapi perlu otak cemerlang juga. Konon, kini sudah menjadi aib, aktivis dengan cermin akademik yang terseok-seok.

Sementara, kehadiran PKM dan anak-cucunya, harus mampu mendorong para penganut Study Oriented-isme untuk keluar dari kandang dan menunjukkan taringnya. Masa-masa menjadi hantu laboratorium harus disudahi. Mulai sekarang, kita harus menghapus pemahaman “yang penting kuliah saya aman, persetan dengan yang lain!”.   

Kalau kita ambil secara harfiah, kita butuh keduanya. Orientasi belajar harus ada, tapi tidak mesti menyapa dosen di kelas, atau bermesraan dengan buku di Perpustakaan. Keindahan bagi manusia, yang menjadikan seluruh hidupnya adalah proses pembelajaran. Lah, memang di organisasi, kita tidak belajar? Di jalan berdebu pun kita bisa belajar sesuatu.

Sementara aktivis, orang yang aktif, adalah bukti bahwa kita makhluk hidup. Bagi anda yang lulus SD, pasti ingat kalau ciri makhluk hidup salah satunya, bernafas dan bergerak (aktif). Kalau hanya berdiam di dunianya sendiri, itu tak lebih layaknya mumi Firaun di balik piramida.

Bagi saya, semua akhirnya sama saja. Kalau semua aktivis dan penganut study oriented-isme berpikir “Saya begitu agar CV saya tambah banyak, saya kelihatan lebih gaul, lebih keren, lebih dipandang dan lebih-lebih lainnya,”. Pokoknya, kalau hal itu diniatkan hanya untuk diri sendiri, tidak jauh beda dengan tong sampah. Walaupun dari luar kelihatan bersih, dalamnya tetap sampah!

Mending seperti saya, happy beginning, happy ending! Hip-hip hura!

Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa serba nanggung. Aktivis bukan, study oriented apalagi. Tapi setia mendukung perkembangan kedua madzhab tersebut (bila diniatkan untuk kebaikan banyak orang).

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Aktivis Study Oriented