Dalam tulisan itu Bahtiar menjelaskan ketidaktahuan sivitas akademika tentang apa yang harus diperbuat terhadap seni. Terpisahnya dua ranah itu, seni dan sains, dalam hal idiom, medium, tata nilai dan aturan, membawanya sampai pada kesimpulan sementara bahwa dua hal itu tak bisa dikawinkan, minimal untuk sementara ini. Nampaknya gagasan utama yang ia ingin lontarkan adalah bahwa jika para mahasiswa calon tukang itu ingin mengawinkan sains-teknologi dengan seni, maka terjun langsung ke dalam upaya penyilangan adalah satu-satunya pilihan.
Pertanyaannya adalah, apakah masalahnya memang serumit itu? Jika sudut pandang ditarik lebih ke atas lagi, apakah sains-teknologi memang bisa dan perlu dikawinkan dengan seni? Upaya menjawab pertanyaan itu mungkin tak sepenuhnya sukses, namun bisa dimulai dari beberapa hal.
Pertama dengan menunjukkan keterkaitan secara inheren antara sains-teknologi dan seni yang sudah terjadi, bahkan tanpa adanya usaha pengawinan yang secara sadar dan eksplisit. Kedua perlu ditunjukkan bahwa sains-teknologi dan seni memiliki simbiosis yang mutualistis; bahwa yang satu bermanfaat bagi lainnya.
Hal yang disebut pertama di atas bisa langsung terjawab dengan mengamini apa yang sudah diamati dan ditulis oleh Douglas Hofstadter berkenaan dengan paralelisme antara sains dan seni. Paralelisme ini ada yang mudah terdeteksi indera manusia, namun ada pula yang cukup tersembunyi. Hofstadter dalam esai berskala raksasa Gödel Escher Bach mengangkat berbagai anasir dalam sains (dalam hal ini logika matematika) dan seni (dalam hal ini seni musik dan lukis) yang menunjukkan fenomena keparalelan.
Sebagai salah satu saja dari banyak contoh dalam esai Hofstadter tersebut adalah konsep siklus logika tanpa ujung, yang ia sebut sebagai strange loop, dalam bentuk “paradoks sang pendusta†– yang untuk memudahkan pemahaman cukup bisa diwakili oleh sepasang kalimat: Pernyataan berikut ini salah. Pernyataan di atas benar. – yang menjadi bagian dari pembuktian Teorema Ketidaklengkapan Gödel.
Siklus logika dalam kedua kalimat tersebut berputar tanpa ujung, saling kait mengkait, saling membenarkan dan saling menyangkal. Hal serupa terjadi di bidang biologi pada alur informasi antara DNA dan enzym yang bergantian melalui proses sintesa protein dan replikasi DNA –menyerupai konsep ayam dan telur, mana yang lebih dulu ada? Nah, konsep mirip strange loop ini, walaupun bukan di ranah logika, ternyata terjadi juga pada “Canon per Tonosâ€, salah satu canon dalam “Musikalisches Opfer†karya J. S. Bach, yang dalam tiap siklusnya mengandung modulasi berkesinambungan sampai pada akhirnya setelah beberapa siklus kembali ke kunci awalnya.
Konsep yang sama juga tergambar dalam anak tangga yang terus berputar naik (atau turun) tiada ujung dalam lukisan M. C. Escher “Ascending and Descending†(secara cukup cerdas digambarkan dalam mimpi tiga dimensi dalam salah satu adegan film “Inception†karya Christopher Nolan) atau mengambil rupa dua tangan yang saling menggambar dalam lukisan Escher lainnya “Drawing Handsâ€.
Satu bentuk keparalelan sains-teknologi dan seni yang paling utama, barangkali, adalah bahwa keduanya berkembang melalui proses kreatif yang hanya bisa terlaksana apabila para penganutnya menerapkan kreativitas melalui eksperimen-eksperimen dengan hal atau konsep baru. Tidak seperti proses produksi, proses kreatif tidak bisa dipaksa, namun bisa dibantu percepatannya dengan menyediakan suasana yang kondusif.
Seumpama sains dan teknologi dikumpulkan dalam satu kontainer besar, yang terhubung lewat pipa ke kontainer lain yang tak kalah besar yang berisi seni, maka akan terdapat keramaian dan hiruk pikuk di dalam pipa penghubung. Arus dua arah dengan debit tinggi terus mengalir menderu, manifestasi dari kuat eratnya interaksi di antara isi kedua kontainer.
Di satu arah, sains dan teknologi telah beberapa lama menjadi sumber inspirasi bagi karya seni. Paul Miller dalam artikel “Technology for Art’s Sake†yang dimuat di IEEE Spectrum edisi Juli 1998 berargumentasi bahwa sejak era Gerakan Seni dan Teknologi di AS pada akhir dasawarsa 1960-an, teknologi telah berperan sebagai subyek, medium artistik, pesan, atau kombinasinya. Sebagai subyek, efek teknologi bagi kehidupan manusia, baik positif ataupun negatif, sering menjadi fokus dari suatu karya seni. Sains juga menjadi sumur inspirasi bagi seniman-seniman seperti M. C. Escher yang lukisannya terilhami oleh konsep-konsep matematis, atau John Cage dan Iannis Xenakis yang menerapkan konsep probabilitas dan stokastik dalam musik aleatorik.
Sedangkan peran teknologi sebagai medium artistik alternatif bermanifestasi di berbagai bentuk seni. Sebagai contoh yang paling menonjol adalah di bidang musik; musik elektronik muncul berkat kemajuan teknologi elektronika, mulai dari penemuan teknik manipulasi pita rekam, synthesizer, sampai komputer. Menurut Thom Holmes dalam bukunya Electronic and Experimental Music, sejumlah kelompok riset yang diperlengkapi dengan fasilitas laboratorium di Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat dipandang sebagai yang terkemuka dalam memelopori medium baru untuk musik.
Perkembangan musik elektronik terus berjalan sampai sekarang seiring penemuan-penemuan baru, memunculkan seniman musik elektronik mulai dari era Edgard Varese dan Karl-Heinz Stockhausen sampai Klaus Schultze dan Wendy Carlos sampai Squarepusher dan Tortoise bahkan sampai ke kelompok drone metal macam Boris dan Sunn O yang praktis seluruh komposisinya memanfaatkan efek drone pada gitar listrik.
Sedangkan di medan musik populer, efek elektronik pun sudah dikenal baik sejak jaman Beatles, Frank Zappa, dan Pink Floyd. Perkembangan awal musik elektronik selalu merupakan upaya kolaborasi antara seniman dan insinyur, sedangkan pada masa sekarang sang seniman biasanya dituntut untuk juga menguasai sedikit ilmu otak-atik elektronika.
Di sisi ekstrim dari peran sebagai penyedia medium artistik ini, teknologi mampu mendorong lahirnya bentuk-bentuk seni baru, termasuk di antaranya seni pertunjukan multimedia – secara apik dicontohkan oleh Teater Koma dan konser musik multimedia Wukir Suryadi dalam Festival Seni Surabaya 2010 beberapa waktu yang lalu. Bentuk baru ini bisa terwujud berkat perkembangan teknologi multimedia: menyangkut representasi hasil amatan indera manusia melalui citra, video, dan audio, yang pada akhirnya juga bisa mendorong penggunaan teknologi animasi dan multimedia secara umum sebagai medium artistik.
Gordon Friedlander melalui artikelnya yang berjudul “Art and Technology: A Merger of Disciplines†dalam IEEE Spectrum edisi Oktober 1969 mengangkat fakta bahwa kebersatuan seni dan teknologi sudah berawal sejak jaman Yunani dan Romawi kuno, khususnya dibuktikan oleh artefak-artefak yang menunjukkan aspek struktur dan estetika yang sama kuat. Di era Renaissance, kebersatuan itu lebih nyata dan mengambil wujud sampai pada skala pribadi. Leonardo da Vinci menjadi contoh sempurna manusia Renaissance yang dicirikan oleh penguasaan seni dan teknologi sama tingginya (seperti kata Bahtiar pula dalam tulisannya).
Di era modern, kebersatuan muncul dalam karya-karya arsitektur dan perencanaan kota. Pemancangan menara pembawa kabel tegangan tinggi maupun menara antena pemancar, baik untuk TV, radio, atau telepon genggam, juga memerlukan polesan estetik agar tidak memberikan kesan kaku dan buruk bagi lingkungan. Di luar yang dicontohkan di atas, seringkali produk teknologi paling mutakhir memerlukan sentuhan estetik dalam bentuk kemasan dan media promosi sebelum dapat ditawarkan kepada calon konsumen. Dalam hal ini diperlukan kompetensi desain produk dan desain komunikasi visual sebagai suatu bagian yang utuh dari keseluruhan proses produksi.
Dari berbagai amatan di atas, sains dan teknologi adalah saudara kandung dari seni. Bersatunya dua kubu itu sudah semestinya terjadi secara alamiah, bukan dengan kawin paksa, seperti yang telah menjadi fakta sejak jaman Romawi. Namun sangatlah benar kata Bahtiar bahwa jika sebuah perguruan tinggi teknik ingin berpartisipasi mengembangkan seni, maka terjun langsung ke dalamnya adalah satu-satunya cara.
Panggung apresiasi seni hanyalah salah satu penopang saja; tetap harus ada, namun bukan faktor utama. Perlu dicatat bahwa perguruan tinggi teknik besar macam MIT (Massachussetes Institute of Technology) sekalipun memiliki program studi seni dan humaniora. Salah satu guru besar musik di MIT adalah Evan Ziporyn yang dikenal dengan karya-karya musik kontemporer/avant-garde yang berbasis gamelan dan mengelola sebuah kelompok orkes gamelan eksperimental, Gamelan Galak Tika, yang menjadi kelompok gamelan residen di MIT.
Kiprah Prof. Ziporyn bersama kelompok gamelannya dalam pengembangan seni gamelan dan musik kontemporer dengan dukungan teknologi – di antaranya mengaduk elemen elektronik ke dalam gamelan seperti dalam komposisi “Tire Fire†– sudah cukup terdengar di kalangan seni dan akademisi internasional. Sangat pantas bila perguruan tinggi teknik di negeri ini yang juga bervisi mengembangkan seni ikut berkiprah di sana, apalagi jika menyangkut pengembangan warisan budaya milik bangsa sendiri seperti gamelan atau batik. Jangan hanya duduk manis jadi penonton dan kecolongan dari bangsa lain.
Gamantyo Hendrantoro
Dosen Teknik Elektro ITS dan ko-penulis buku “2 Kutub†terbitan Dewan Kesenian Jatim.
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)