ITS News

Kamis, 14 November 2024
04 Desember 2010, 09:12

Lampu

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Tulisan ini saya buat pada sebuah kertas hasil meraba-raba di kolong meja. Untung saja tidak sampai meraba hal yang kenyal-kenyal (kecoa kolong meja). Alangkah sulitnya hidup tanpa listrik. Angan saya terlempar jauh. Ditemani lilin yang tinggal secuil, saya bayangkan hidup di zaman dulu. Saat listrik sangat langka, saat obor masih jadi andalan, dan saat pekik merdeka hanya tersiar dari radio milik Pak Kades.

Bersyukurlah saya dan generasi saya, tidak sempat merasakan gulitanya dunia. Apalagi bagi mereka yang tumbuh-besar di kota besar, hidup seakan selalu nikmat. Saya masih dalam renungan. Apa semua kenikmatan dan kemudahan ini datang tiba-tiba? Alangkah berjasanya mereka yang mengubah wajah dunia.

Peristiwa mati lampu ini seakan de javu saat hari dimana Edison wafat. Kala itu, jutaan warga Amerika, penikmat jerih payah Edison, berbelasungkawa dengan memadamkan lampu. Edison dihormati bukan hanya karena ia seorang inventor, tapi juga inovator tersukses sepanjang sejarah. Lewat umurnya yang tergolong singkat, ia mampu mematenkan ribuan barang, dan mengembangkannya sesuai kebutuhan masyarakat saat itu.

Lewat lampu pijar, penemuannya yang paling masyhur, Edison mengubah wajah dunia secara radikal. Saat manusia berlindung dari gelapnya rembulan, Edison datang mengubah hari menjadi seluruhnya siang. Secara sosial, tatanan masyarakat bergeser, produktivitas menanjak, orang tak lagi merasa tertahan saat matahari tak lagi menyinari. Ekonomi berputar hampir tak mengenal waktu. Ini semua hanya karena sebuah lampu bohlam!

Robert Friedel dalam buku Edison’s Electric Light, mengiaskan,”Lampu membentuk ulang dunia tempat orang-orang bekerja, bermain, hidup, dan mati. Ini adalah ciptaan yang membentuk ulang dunia dengan cara orang memandang kemungkinan di dunia,”.

Sesederhana itukah? Dalam jurnal keluaran MIT, sebuah kata-kata manis menghentak saya. “Sesungguhnya, nama-nama yang anda kenal saat ini, bukanlah penemu sejati,”. Ternyata benar. Edison bukanlah penemu sejati lampu bohlam. Alessandro Volta telah merintis usaha ini seabad sebelumnya. Dan, tiga puluh tahun sebelum Edison, ada beberapa orang yang membuat lampu pijar persis seperti buah tangan Edison. Lantas, mengapa Edison masyhur?

Edison punya visi. Ia bukan hanya ingin mencipta bohlam yang efisien, tapi juga berpikir bagaimana bohlam itu bisa dipakai di rumah-rumah tanpa perlu daya tinggi. Bahkan ia bermimpi, sang pemilik rumah hanya perlu menekan tombol untuk menyalakan atau memadamkan. Bukan hanya mendesain lampu, tapi ia juga mendesain bagaimana listrik bisa masuk ke rumah-rumah dengan sebuah pembangkit listrik yang produktif.

Edison mampu menjawab dua permasalahan lampu pijar sebelumnya. Pertama, filamen yang dialiri arus tidak tahan lama dan mudah terbakar. Sedangkan kedua, bagaimana menciptakan ruang hampa agar filamen menyala tahan lama. Ribuan percobaan dilakukan untuk menjawabnya. Ribuan kegagalan ia rasakan. Yang pasti, Edison tidak bekerja sendiri. Edison hanya butuh tiga tahun untuk akhirnya menciptakan dan memasang sistem listrik yang menghasilkan cahaya dengan praktis.

Lewat bendera ”Edison Electric Light Company”, ia membangun pusat tenaga listrik di New York, kemudian memasangi kabel yang tersambung ke rumah-rumah. Awal abad 20, perusahaannya memiliki 1 juta pelanggan. Mereka inilah yang kemudian memperingati wafatnya Edison dengan memadamkan lampu. Sekarang, bola lampu terdiri dari wolfram sebagai filamen dan nitrogen sebagai pelindungnya (bukan hampa udara).

Penemuan ini dianggap terhebat setelah penemuan mesin cetak oleh Gutenberg. Gutenberg pun aslinya bukanlah penemu mesin cetak. Mesin cetak sudah ada sebelumnya, hanya saja Gutenberg merevolusi gerak mekanis dan papan pencetak yang tadinya dari kayu. Visi Gutenberg adalah memotong waktu manusia untuk memperbanyak sebuah buku. Dalam satu hari, seseorang bisa menghasilkan sesuatu yang tadinya membutuhkan waktu satu tahun untuk ditulis. Jangan dikira mesin cetak tak member efek. Gara-gara alat ini, buta huruf diberantas secara alami. Akselerasi ilmu pengetahuan berlangsung amat cepat.

Dalam bidang komunikasi, pasti anda kenal Graham Bell, Guglielmo Marconi, dan Samuel Morse. Apa mereka penemu pertama? Tidak. Morse dianggap sebagai perintis dunia komunikasi jarak jauh. Ia berangkat dari inspirasi John Henry, si penemu gelombang elektromagnet. Henry-lah yang menciptakan sistem pemancar yang menyebabkan sinyal telegraf tepat sasaran. Sayang, ia tidak mengembangkan bahasa komunikasi “titik-garis” yang efesien sebagaimana kinerja Morse.  

Di sisi lain, dunia ilmiah menghormati Alexander Popov sebagai pencipta radio, bukan Marconi. Tapi, Marconi mampu melakukan hal lebih ketimbang Popov. Ia mampu meyakinkan aplikasi radio bagi manusia. Kesan lautan yang menyeramkan, berhasil ditumpas. Kapal yang berlayar di laut tidak lagi merasa sendiri, karena mereka bisa saling kontak bila sedang ada masalah. Dalam sejarah pelayaran, peristiwa Titanic menjadi titik kemenangan Marconi. Bahkan satu abad setelahnya (sebelum masuknya teknologi satelit), radio masih jadi hal yang sangat penting dalam dunia transportasi.

Kemudian dalam dunia transportasi, siapa yang paling berjasa? James Watt? Bukan dia. Watt memang berjasa, tapi di dunia industri. Ternyata Nicolas Carnot-lah yang paling berjasa sebab ia mampu memecah teka-teki teori pembakaran internal. Melalui siklus Carnot yang masyhur itu, mesin uap mulai menggali kuburannya sendiri. Carnot pula yang memberi inspirasi bagi Nikolaus Otto dan Rudolph Diesel untuk membangun mesin kompresi yang efektif. Tapi siapa yang menerima ketenaran?

Yang tenar justru Henry Ford. Otto dan Diesel memang akhirnya mampu merealisasi mesin itu, tapi Ford-lah yang membawa Amerika (dan dunia) ke era transportasi modern. Kereta kuda ditinggalkan. Kini, jalan-jalan besar menghiasi seluruh dunia, dan mobil-mobil menumpuk di dalamnya. Orang melakukan mobilisasi dengan cepatnya, dan secara pasti merubah cara hidup manusia.

Ia berhasil memberi solusi praktis untuk aplikasi mesin Otto. Ford bukan hanya mencipta mobil praktis, tapi juga mampu meletakan filosofi industri otomotif skala besar. Ia berani membayar mahal karyawannya yang potensial. Ia pula berani menaruh investasi besar-besaran untuk inovasi mobilnya dan melebarkan sayap bisnis perusahaannya. Sepertinya, pandangannya jauh lebih awet ketimbang umurnya. Kini, hanya mobil dan motor-lah yang menjadi pemegang pasar terbesar dan terdekat dalam kehidupan masyarakat.

Kalau kita review lagi, mengapa saat ini kita mengenal nama-nama penemu seperti Gutenberg, Edison, Marconi, Ford, dll? Walau sejatinya mereka bukanlah yang pertama, tapi dari tangan-tangan mereka, sesuatu yang tadinya (mungkin) dianggap penemuan tanpa guna, ternyata mampu memberi dampak besar bagi manusia. Mereka memadukan ilmu-ilmu yang kompleks untuk membuat namanya tenar.  

***
Pertanyaan terbesar saya, apa memang bangsa Indonesia dilahirkan terbelakang? Bisa jadi, efek penjajahan begitu kuat mengakar. Di kala Amerika berlari cepat dalam invensi dan inovasi teknologi, bangsa kita masih berpikir, bagaimana mengembalikan harkat kita sebagai manusia. Belum pernah sekalipun saya mendengar sebuah “penemuan fundamental” dari seorang ilmuwan Indonesia.

Dalam buku sejarah Indonesia (dari SMP sampai SMA), tak satupun kisah track record sejarah sains Indonesia. Masa-masa perjuangan kemerdekaan, gejolak sosial lebih diperhatikan. Apalagi setelah Soekarno mendeklarasikan doktrin “politik sebagai panglima”, kaum sains terdidik ikut diseret dalam alam pikiran sosial. Wajar memang, masa-masa perang ideologi dunia berlangsung keras. Tapi seharusnya, seperti Uni Sovyet dan Amerika, Indonesia juga berpacu, berlomba, dan bersaing untuk mengembangkan teknologi, berhubung posisi Indonesia saat perang dingin sangatlah terpandang.

Praktis, sejak merdeka sampai Soekarno runtuh, sains seperti dianak-tirikan. Orde baru dating membawa setumpuk rencana pembangunan lima tahun. Untunglah, sains dan teknologi mulai diperhatikan kembali. Habibie, si brilian yang disekolahkan Soekarno ke Jerman, kemudian dipanggil Soeharto untuk memperbaiki wajah sains dan teknologi Indonesia.

Awal-awal pemerintah memang benar mendukung. Tapi kemudian Habibie sadar. Manusia secerdas dirinya ternyata dibohongi habis-habisan. Ia muak dengan praktek konspirasi, sebab ranah sains tidak begitu suka gaya bermain licik tersebut. Itulah kiranya yang menyebabkan dunia sains dan teknologi selalu kandas pada masa Orde Baru. Karena penghargaan yang seharusnya diterima ilmuwan-ilmuwan cemerlang, malah raib digondol tikus-tikus birokrat dan pengusaha rakus.

Kita berkaca pada Amerika abad 19. Pada saat bersamaan dimulailah Era Victorian, zaman yang membawa 15 juta manusia pencari kebebasan beremigrasi ke Amerika dan Australia. Abraham Lincoln menata kembali Amerika setelah perang saudara. Keran kreativitas dibuka lebar-lebar. Inilah salah satu lembaran penting sejarah kapitalisme. Sistem paten diciptakan Lincoln untuk memancing kemajuan ekonomi. “The patent system added the fuel of interest to the fire of genius,” katanya.

Beberapa pengamat menyimpulkan, iklim demokratis sekaligus apresiatif di Amerika, mempengaruhi perkembangan sains dan teknologi. Dr Lienhard, penulis buku “How Invention Begins”, mengindikasi bahwa invensi dan inovasi besar lahir dari “orang-orang bebas”. Saat itu, mereka tidak merasa diburu target tertentu, atau tidak merasa kalah saat usaha invensinya gagal, bahkan pula mereka berkubang dalam bidang itu tanpa batasan waktu yang pasti. Mereka berangkat dari kemauan sekaligus intuisi independen yang terasa sangat kuat mendorong. “Freedom is the nurturing mother of invention,” tuturnya

Invensi dan Inovasi adalah kekuatan terbesar kemajuan bangsa. Amerika boleh saja merajai invensi. Tapi berikutnya, Jepang-lah yang merajai inovasi. Seiring kemajuan zaman, dua hal ini tidak bisa terpisah. Namun dalam aplikasinya, masih butuh keilmuan lintas disiplin, termasuk bersinggungan dengan etika-etika sosial kemasyarakatan. Bahkan, perlu juga seorang inventor/inovator mendengar permintaan dan kebutuhan pasar. Pada akhirnya, sains dan teknologi harus mengingat-ingat kembali fungsinya: menuntaskan, memudahkan atau minimal menyederhanakan segala permasalahan manusia.

Sekarang, bagaimana caranya kampus ini mampu memanfaatkan laboratorium untuk kepentingan invensi dan inovasi. Tentu tidak sekedar penemuan, pola pikir praksis tetap diperlukan. Yaitu, menjadikan segala invensi dan inovasi mempunyai efek langsung di tengah masyarakat. Kampus punya kewajiban menstimulus sekaligus mendoktrin gaya berpikir inventor atau inovator. Tidak mesti dari hal yang sulit, sederhana saja. Nah, dalam hal ini saya belum cukup ilmu untuk menelurkan solusi.

Tapi saya menduga, sains dan teknologi berjalan merangkak karena “kebebasan” masih teramat mahal di Indonesia. Atau pula, tipikal orang Indonesia yang suka pada zona-zona santai, nyaman, aman, tenteram kertaraharja, dan masih kuatnya teologi “biar lambat asal selamat”.

 

Bahtiar Rifai Septiansyah
Akhirnya lilin pun meleleh habis. Tak ada pilihan lain: merasakan sensasi kegelapan di tengah malam dan sahutan petir. Saya bersiap menjamah ranjang, semenit kemudian listrik menyala. Syukurlah.
“Pak Dahlan Iskan, tolong jangan matikan listrik saat pertandingan Timnas Indonesia di Piala AFF ya…”

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Lampu