ITS News

Senin, 02 September 2024
05 Desember 2010, 08:12

Aktivis dan Survival

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Biasanya, dalam Tuesday Meeting itu mereka membicarakan progres kerja mereka dan rencana mereka selama beberapa minggu ke depan. Namun pertemuan mereka yang terakhir itu, terpaksa diganti menjadi Friday Meeting, alias berubah jadwal dari hari Selasa ke hari Jumat. Maunya juga kumpul bareng dosen pembimbing mereka, tapi akhirnya semua rencana bubar dan berakhir di sebuah warung penyet di pinggir jalan Keputih.

Dalam suasana informal begitu, akhirnya riset hanya dibahas selama beberapa menit saja. Selebihnya, makan dan ngobrol santai.

Tiba-tiba salah satu dari mereka nyeletuk kepada Sang Alumni, “Mas, aku sudah tidak kuat lagi di himpunan,” ujarnya. Yang bertanya saat ini sedang menjabat sebagai kepala sebuah departemen di himpunan jurusannya. Berat juga tanggungannya.

Kebetulan mas Alumni ini pernah jadi ketua himpunan. Seperti ada saklar tanda ‘urgent’ yang langsung menyala di kepalanya. “Tidak kuat bagaimana?” tanyanya.

Gambaran umumnya, cerita Si Kadep itu seperti ini. Ia menganggap beberapa teman fungsionaris, termasuk para pimpinan, kurang konsisten dengan peran mereka sebagai penggerak mahasiswa lain di jurusan. Menurutnya, meskipun menduduki posisi penting, mereka tidak menjaga etika sendiri. Seperti suka mengeluarkan kata-kata kotor, meskipun di hadapan orang lain seperti dosen sekalipun. Padahal saat ini mereka dalam posisi sangat dilihat dan dicontoh oleh mahasiswa baru.

Sekretariat himpunan juga beralih fungsi menjadi sebuah tempat pelarian. Kadep bercerita, bahwa himpunan lebih sering digunakan sebagai tempat tidur mahasiswa meskipun ketika ada jadwal kuliah. Juga mereka lebih sering main game daripada menuntaskan tugas-tugas mereka, baik itu tugas kuliah maupun tugas sebagai fungsionaris himpunan.

“Tapi saya itu sampai tidak suka pada kelakuan mereka, juga tidak suka pada orang-orangnya,” lanjut Kadep, masih kesal.

“Lha kalau itu ya kamu yang salah,” balas Alumni. Kadep terperangah.

“Memang bisa saja perasaan seperti itu timbul. Tapi, adanya dia di dunia ini tidak ada hubungannya dengan kamu. Dia itu sama-sama mahluk Tuhan seperti kamu. Kalau kamu membencinya, berarti kamu mengingkari Tuhanmu sendiri juga, duso koen (dosa kamu)!” jelas Alumni.

Ketika Kadep sudah tak kaget lagi dengan pernyatannya tadi, Alumni kembali menjelaskan. “Nah, yang jelas kamu tidak bisa meninggalkan himpunan. Karena nantinya akan semakin rusak,” jelasnya.

“Kenapa tidak Mas? Saya capek berurusan dengan mereka, tidak pernah bisa diberi tahu. Seperti itu mengatakan diri mereka aktivis,” keluh Kadep lagi.

“Kalau kamu pergi nanti, terus anak buahmu bagaimana? Kalau tidak ada kamu lagi, nanti mereka pasti akan mencari pemimpin yang lain, seperti orang-orang yang kamu ceritakan tadi,” kata Alumni.

Menjadi seorang pemimpin, di manapun, setengahnya adalah ibadah, kata Alumni. Dan ibadah itu harus dijalankan dengan konsisten. Dan semuanya pasti ada tantangannya, seperti sumber daya manusia seperti yang diceritakan oleh Kadep. Saat ini, mungkin banyak juga yang seperti mereka. Generasi sekarang umumnya seperti itu, lanjutnya lagi. Tidak mungkin merubah semuanya.

Ibarat ada seseorang yang sedang makan nasi dengan garam. “Kamu bisa mengatakan kepada mereka, rek, nek mangan iku iso sing luwih enak, nganggo iwak karo sayur. Tapi yo, nek ora gelem yo wis, aku mung ngandani wae (Teman, kalian itu bisa makan lebih enak, dengan lauk dan sayur. Tapi ya, bila kalian tidak mau ya sudah,saya hanya memberi tahu saja),” ujarnya beranalogi. Intinya, yang penting kewajiban untuk memberi tahu mereka sudah terpenuhi.

“Tetapi itu bertentangan dengan idealisme saya,” Kadep masih protes.

Alumni masih tak menyerah juga. “Ada yang namanya idealisme, ada pula egoisme. Apa bedanya? Egoisme adalah ketika kamu mengutarakan keyakinanmu itu. Baru bisa disebut sebagai ‘idealisme’ bila dinyatakan oleh pihak lain,” tuturnya serius.

Dan yang lebih penting lagi adalah, “Kamu harus bisa menjadi contoh bagi mereka, sehingga mereka bisa menyatakan bahwa kamu adalah orang yang sesuai perkataan maupun perbuatannya,” lanjut Alumni.

Kadep terdiam. Tapi tetap mengangguk-angguk tanda setuju.

Epilog

Sebenarnya ini memang kisah klasik. Sebuah organisasi atau lembaga, seprofesional apapun, sekeras apapun proses kaderisasinya, tak akan pernah lepas dari masalah. Dan seringnya, justru yang paling berat adalah yang datang dari dalam sendiri. Sayangnya, tak semuanya mudah untuk disadari, atau mudah ditanggulangi. Terkadang, karenanya, sebuah organisasi bisa melenceng jauh dari tujuan awalnya.

Beberapa memilih meninggalkannya, berpendapat bahwa tak ada jalan lagi untuk perubahan. Namun hal tersebut bukan solusi yang tepat. Semua orang yang terlibat dalam organisasi itu memikul tanggung jawab untuk bisa turut menanggulanginya.

Meskipun dalam realita, tak banyak yang mau melakukannya. Inilah tantangan yang sebenarnya. Menjadi seorang ‘aktivis’ bukan hanya mampu menjalankan tugasnya di organisasi tersebut, namun juga bagaimana bisa mempertahankan kelompoknya itu. Bukan sekedar survival of the fittest, tapi juga survival of the most committed.

Dan yang penting lagi untuk diingat adalah, di antara sekian banyak orang yang menentang, pasti ada orang-orang yang akan membantu dan mendukung untuk melakukan perubahan itu.

Di tengah gurun yang tertebak, jadilah salju yang abadi.
Embun pagi tak akan kalahkan dinginmu, angin malam akan menggigil ketika melewatimu, oase akan jengah dan kaktus pun terperangah.
Semua butir pasir akan tahu jika kau pergi, bahkan sekedar bergerak dua inci.
Dan setiap senti gurun akan terinspirasi karena kau berani beku dalam neraka, kau berani putih meski sendiri, karena kau…berbeda.
(Salju Gurun, Dewi Lestari)

Lisana Shidqina
Mahasiswi Arsitektur angkatan 2009.
Seorang pengamat, bukan pelaku dalam cerita ini.
Untuk semua teman-teman ‘aktivis’ organisasi di manapun mereka berada.

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Aktivis dan Survival