ITS News

Selasa, 03 September 2024
13 Desember 2010, 13:12

Hijrah

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sudirman, jenderal muda yang sebenarnya lebih cocok jadi guru itu, diserahi tanggung jawab berat. Kapal Renville memaksanya berpikir ulang. Penerawangan militernya belum cukup untuk memecahkan persoalan migrasi. Ia memang menang besar di Ambarawa, lalu sukses dalam pertempuran Banyumas tanpa pertumpahan darah. Kali ini, perintah Bung Karno penuh dilema.

Membimbing ribuan orang, bukan seperti mengatur barisan ribuan bebek. Sebagai seorang patriot, kekalahan di Renville harus tetap dipatuhi. Sudirman, di tengah nafas sengal khas radang paru-paru, menembus puluhan malam bersama rakyatnya menjauhi patok-patok Van Mook.

Hijrah, peristiwa tak terlupakan bagi tentara seumur jagung. Hari-hari penuh air mata, tapi kemudian berakhir dramatis seperti kisah di film-film Hollywood. “Jagoan selalu menang belakangan”. Dan, kisah-kisah sedih itu, membawa generasi muda dalam renungan panjang. Dongeng tentang bangsa kita, bangsa yang tak mudah menyerah pada keadaan, walau terdesak sekalipun. Di Cerpen “Sungai”, Nugroho Notosusanto merekamnya dengan apik.

Si tokoh utama, Sersan Kasim, memimpin satu regu dari ratusan prajurit dalam kompi. Kerumunan pria bersenjata itu berjalan Yogya-Priangan sejauh 300 Km. Belanda baru saja melanggar Perjanjian Renville. Sudirman sigap menggelar long march. Pasukan Siliwangi yang berhijrah ke timur, diperintahkan kembali ke pos-pos masing-masing di Jawa Barat. Mereka bergerak melalui lembah, gunung, rawa-rawa, dan suatu ketika berhenti pada sebuah sungai.

Kasim, pengantin muda dengan rasa sedih masih membekas. Istrinya meninggal di Yogya, sehari setelah kelahiran Acep, anak pertama yang diidam-idamkan. Di dalam gendongan Kasim, Acep menjadi yang termuda dalam rombongan long march tersebut. Hingga di sungai itu, sesuatu terjadi. Tentara Belanda datang menyergap. Semua anak buah Kasim merunduk di balik dinginnya air sungai.

Ketinggian air merayap sampai dada. Hujan dan angin tambah mencekam suasana. Acep ikut menggigil karenanya. Acep bergerak gelisah, bangun dari tidurnya, mulai meronta dari gendongan Kasim. Tangis kerasnya memecah segala tiarap pasukan Kasim. Semua jantung berdegup, menahan nafas dalam-dalam, saling menatap dan terpaku. Panser Belanda berhenti tepat di depan mereka. Dalam gelap malam, mereka berharap kebaikan Tuhan.

Jarum jam terasa lama berputar. Kasim tahu, ia bertanggung jawab penuh atas keselamatan ratusan jiwa dalam rombongan tersebut. Tatapan mereka sekarang menuju padanya. Harapan mereka, Kasim segera melakukan sesuatu. Jikalau teriakan Acep terdengar panser itu, habislah mereka.

Setahap demi setahap, tangisan Acep tenggelam di gelap malam. Lalu semenit lagi, tangisan itu benar-benar berhenti. Pantauan kosong tentara masih melahap liar. Ditunggu lima menit kemudian, panser itu pergi menjauh. Semua akhirnya selamat.

Saat Fajar menyingsing, semua anggota rombongan tampil dengan tangan memeluk dada. Pagi itu, jasad Acep bersemayam di kesuburan tepi sungai. Komandan Kompi berkata pada Kasim. “Kau bagai kisah pengorbanan Ibrahim dan Ismail,”. Kasim tetap tegar, walau sebenarnya ia tak kuasa menahan air mata.

Kisah Kasim seperti bentuk katastrop universal dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dari periode itu lahir kalimat “Mari Bung rebut kembali!” dan “Enam Jam di Yogya,”. Atau sajak-sajak indah mengenang betapa kuatnya semangat untuk memperjuangkan harga diri. 

Lihat anak pradjurit gerilja kecil itu!
Kalau tidak ada revolusi, mungkin dia masih memikul
berdjualan djengkol dan pete atau menjabit rumput.
Sabitnja digantikannja dengan bedil.
Ia pun harus hidjrah berpisah dengan keluarga.

***
Hijrah bukan sekedar berpindah tempat dari kota A ke kota B. Kalau hanya itu maksudnya, maka seorang yang bekerja di Surabaya namun bertempat tinggal di Sidoarjo, bisa dikatakan ia telah berhijrah. Berarti sama pula artinya dengan nglaju, migrasi, transmigrasi, ataupun urbanisasi.

Hijrah berdiskusi tentang fundamentalisme kehidupan. Ia juga merupakan tranformasi lintas dimensi yang mengajak kita berbicara tentang nilai-nilai dasar manusia. Bukan hanya sekedar merubah pada hal-hal yang sifatnya empiris, namun pula merubah sifat-sifat yang tak kasat mata.

Hijrah bagi seorang pengguna Narkoba adalah berhenti menggunakannya. Hijrah seorang pencopet ulung adalah mencari pekerjaan yang baik. Hijrah bukan proses dari seorang miskin menuju seorang yang kaya. Sederhananya, hijrah tidak menerima berpindahnya seseorang dari nilai IPK dua koma menjadi tiga koma atau bahkan dari tiga koma mejadi empat koma.

Kecuali, kalau ada nilai-nilai mendasar yang ikut berubah karenanya. Dari seorang fakir yang kikir, menjadi seorang kaya yang demawan. Dari seorang siswa pemalas yang terbodoh di kelas, menjadi seorang peraih nilai tertinggi dengan semangat belajar tinggi nan konsisten.

Praktis, ada tiga tahapan seseorang dalam berhijrah. Pertama, ia harus sadar tentang eksistensi dirinya. Lalu ia sadar akan eksistensi dirinya terhadap eksistensi dunia di sekelilingnya. Terakhir, sebagaimana banyak ilmuwan, mereka merupakan orang-orang dengan kesadaran bahwa alam dengan definisi lebih rinci, memiliki kesinambungan yang amat seimbang. Segala keteraturan seperti halnya rantai makanan, gerak bintang-bintang di alam semesta, dan bentuk menakjubkan dari adaptasi makhluk, merupakan pertanyaan terbesar manusia, siapa yang mampu mengendalikan ini semua?

Mereka yang berhijrah, jelas membutuhkan tekad dan kekuatan yang besar sebagaimana elektron yang mengeluarkan energi besar utuk berhijrah mendekati inti atom. Seorang pengguna Narkoba telah melupakan eksistensi paling dasar: dirinya sendiri. Kemudian mereka menjauhi dunia sekelilingnya dan hanya berkutat pada Narkoba yang selalu membelenggu.

Sehingga, butuh perlakuan luar biasa mendasar. Pertama, ia harus disadarkan akan eksistensinya. Ia harus menikmati rasanya sakau tidak terpenuhi. Kesempatannya berjumpa dengan Narkoba harus dikurangi sampai pada titik nol atau hilang sama sekali. Ini bukan pekerjaan mudah. Rasanya sakau tidak terpenuhi, seperti nyawa di tenggorokan. Ini jalan satu-satunya kalau ia mau tetap hidup.

Pada suatu ketika, saya pernah berkunjung ke pusat rehabilitasi pengguna Narkoba. Saya melihat perlakuan pecandu kelas berat agar terlepas dari jeratan setan itu. Bukan hanya ditempatkan di sel penjara, kaki dan tangannya juga dirantai rapat-rapat. Mirip seperti hewan di kerangkeng kebun binatang. Praktis, ia hanya bisa berteriak mengerang saat ”waktuya” tiba. Kalau ia berontak, tak segan pegawas menghajarnya sampai pingsan. Katanya, lebih ampuh menerapkan aturan punishment, ketimbang reward.

Butuh waktu berbulan-bulan untuk lepas dari jeratan. Setelah dirasa sudah terbebas dari candu, ia pun dilepaskan dari penjara. Kemudian pengalamannya membekas seperti luka jahitan menganga di wajah. Tugas lembaga rehabilitasi kemudian adalah menyadarkan eksistensi mereka pada dunia sekitarnya. Maka, mereka pun beralih menjauhi lingkungan pecandu, menjalani kehidupan yang lebih normal, bahkan ada pula yang mendirikan lembaga untuk menyiarkan bahayanya Narkoba.
   
Ini definisi hijrah menurut saya. ”Perubahan radikal terhadap sifat-sifat buruk yang sudah mengendap lama (atau bahkan sejak lahir), untuk bertransformasi menjadi insan yang lebih bermartabat,”. Jangan dibayangkan susahnya. Karena menurut saya, sama seperti pecandu kelas berat yang ingin lepas dari belenggu halusinogen. Kalau tidak bisa secara radikal, maka cara terbaik adalah mencicilnya sedikit demi sedikit.

Lantas, bisakah kita seperti Kasim atau Sudirman yang mengorbankan diri untuk kepentingan banyak orang? Rasanya sulit bagi zaman ini. Zaman yang dipenuhi pengagungan individual. Sedangkan para pejuang itu, memisahkan kesenangan yang sebenarnya menjadi hak pribadinya, untuk digantikan dengan kesengsaraan yang seharusnya ditanggung orang lain. Kasim dan Sudirman tidak pernah merasakan kemerdekaan seperti kami. Tapi mereka berkorban untuk kami.
 
***
Gara-gara menunggu sang panglima
Sholat Jumat jadilah telat lama
Kalau ada sifat usang masih di dada
Ralat cacat bukanlah suatu hina

Bahtiar Rifai Septiansyah
"Selamat Berhijrah!"

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Hijrah