ITS News

Kamis, 14 November 2024
20 Desember 2010, 10:12

Del Piero, Federer, Rossi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Del Piero saya kenal sejak berduet dengan Filippo Inzaghi, 12 tahun lalu. Kalau Rossi, saya kenal sejak ia menjungkalkan jagoan trek basah, Kenny Robert Jr, tepat 10 tahun lalu. Sedang Federer, saya kenal sejak pertama kali meraih Grand Slam, 6 tahun lalu. Kini, ketiganya menghadapi masa akhir dalam karir. Tapi, mereka bukanlah pecundang. Justru mereka itu nama besar era modern.

Boleh saja tahun ini jadi milik “Juru Selamat” Lionel Messi, “Raja Tanah Liat” Rafael Nadal, dan “Master Overtake” Jorge Lorenzo. Boleh saja orang berpikir bahwa umur sudah menggerogoti Alex, Roger, dan Valentino. Tapi apakah ketiga anak muda itu sudah layak duduk sejajar dengan mereka para legenda tua?

Siapapun anda, agaknya mesti bersepakat bahwa satu dekade terakhir menjadi milik nama-nama dalam judul. Dengan karakter khas, mereka tidak hanya menorehkan prestasi berlimpah, tapi juga menanamkan kembali filosofi sebuah permainan olahraga setelah ribuan tahun dikenal manusia.

Mereka mampu melintasi tembok batas yang membelenggu manusia. Dengan determinasi tinggi, mereka merubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Tampilan mereka di dalam dan luar lapangan, membawa kita berpikir -bisa jadi- olahraga menawarkan semangat baru di kala resesi kehidupan tak kunjung menampakkan awan cerah.

John McEnroe, legenda tenis AS, pernah mengatakan, ada empat jenis petenis elit dunia. Pertama, yang merajai tanah liat. Kedua, yang cekatan di lapangan rumput. Ketiga, spesialis lapangan keras. Dan keempat, Roger Federer!

Pernyataan brilian karena Federer adalah king of all court! Tahun kemarin, Federer berhasil memaksa Nadal turun dari singgasananya di Perancis Terbuka, lapangan tanah liat paling bergengsi sepanjang sejarah. Lima tahun terakhir, Nadal merajai seluruh lapangan tanah liat.

Federer, pria Swis yang rendah hati ini selalu hadir penuh optimisme. Tahun ini memang ia dihajar habis-habisan oleh anak-anak muda macam Nadal, Djokovic atau bahkan Andy Murray. Walau begitu, laga Federer versus Nadal tetap menjadi pamungkas pada tiap kompetisi. Kata pengamat tenis,”Saat ini, masa-masa paling membosankan dimana gelar juara hampir pasti milik dua orang itu,”.

Federer selalu menangis ketika Nadal berhasil menghantamnya di kelas Grandslam. Tahun lalu, Nadal bukan hanya mengkudeta Federer sebagai maharaja lapangan rumput Wimbledon, tapi juga mempermalukannya di lapangan keras Melbourne. Nyatanya, tangisan itu hanya sementara, untuk kemudian ia bangkit melawan. “Saya akan kembali tahun depan, untuk menjadi juara!” tekadnya. Baru-baru ini, ia sukses menumpas dominasi Nadal di ATP Tour London.

Ia memang tidak cepat puas. Walau rekor legenda AS, Pete Sampras, sudah terlampaui, Ia juga masih optimis untuk mengulang prestasi Andre Agassi, menjadi: jawara Grand Slam di umur yang tidak muda lagi. Dan tiap tekad optimisme-nya selalu menjadi nyata di kemudian hari. Federer belum mati. 16 gelar Grand Slam belum cukup berarti. Ia yakin mampu melampaui nama besar Bjorn Borg, Rod Laver, atau Fred Perry.   

Di sisi lain, Del Piero merupakan perlambang kesetiaan. Jiwa yang tidak bersemayam dalam diri Raul Gonzales, putra kesayangan Santiago Bernabeu yang akhirnya kalah dalam seleksi alam. Nilai ketulusan yang tidak pernah dimiliki si flamboyan, David Beckham. Atau sebagaimana suara lantang yang malu-malu kucing diungkapkan Gerard, anak ajaib dari Anfield, dan pangeran Roma, Totti, dengan mengancam untuk hengkang dari rumah yang membesarkannya.

Haram bagi Del Piero mengucap kata “Hengkang!”. Loyalitasnya tak terbatas pada prestasi. Saat dirundung bencana pun ia hadir layaknya pemimpin kharismatik. Tiap manis pahit suporter Juventus (Juventini) selama dua dekade terakhir, turut ia rasakan. Sejak mengangkat Piala Intercontinental sampai pahitnya bermain di kasta rendah Liga Italia. Itulah benang merah ia dengan legenda lainnya. Pele, Baresi, ataupun Beckenbauer, legenda yang hidupnya serasa manis tanpa pahit.

Del Piero kini menjelma bak dewa layaknya Guiseppe Meazza dalam hati rakyat Italia. Ia beraksi sebagaimana kata-kata filosof Perancis, Jean Paul Sartre,”Man made his own history,”. Del Piero memang bukan mesin gol yang baik, karena memang ia juga tak bernafsu meraih gelar top scorer. Tapi seperti Messi, ia menjadi inspirasi dalam tiap kemenangan. Pangkatnya sebagai jenderal lapangan tengah, komandan pengatur permainan, dan motivator handal, memberinya peran sentral dalam tiap aliran bola.

Ketika sepak bola menjadi ladang empuk bagi para kapitalis, Del Piero menyajikan bukti bahwa sepak bola bukan sekedar mata pencaharian, tapi lebih pada jalan hidup. Saat Real Madrid, Chelsea, Bayern Muenchen, klub dengan segala kemewahan, beramai-ramai menawarkan proposal bernilai fantastis, Juventus bersama Barcelona dan Manchester United justru tetap pada keyakinan bahwa pemain sepak bola bukan didapat karena jatuh dari langit, tapi dari proses pembinaan yang panjang.

Kini, sudah 17 tahun Del Piero membela Juventus atau sama saja setengah umurnya! Tanpa pernah berpaling ke lain hati. Baru-baru ini, di umur yang tua -34 tahun- untuk seorang pesepak bola, kontraknya dengan Juventus diperpanjang. Apa Juventus membayarnya dengan harga mahal? Jujur, seumur saya mengenalnya, saya tidak pernah dengar namanya mencolok di jajaran pesepak bola terkaya dunia.    

Lalu, Rossi sendiri hadir sebagai kaisar tunggal kelas 500 CC. Periode sebelumnya jadi milik Michael Doohan sampai akhirnya kecelakaan membuatnya pensiun. Kemampuan Rossi menghadapi berbagai jenis lintasan juga tak perlu diragukan. Dari trek basah sampai trek kasar. Dari sirkuit Catalunya dengan trek lurus terpanjang, sampai sirkuit Assen yang sempit nan berkelok-kelok, sudah dijinakkan.

Tentang motor apa yang ia tunggangi, atau  tentang tim apa yang ia bela, tidak begitu banyak pengaruh. Bahkan kata kawan saya yang penggemar Moto GP, Rossi diberi sepeda onthel pun bisa jadi juara. Tentang posisi berapa saat start, ia tidak ambil peduli. Semua orang dibuat kagum, ketika ia menjadi juara saat start dari posisi buncit. Semua orang juga tercengang ketika ia berkali-kali merebut podium saat tikungan terakhir.

Musuh terdekatnya tidak akan mampu bertahan lama. Nama-nama seperti Max Biaggi, Loris Capirossi, Sete Gibernau, Nicky Hayden, Casey Stoner, hanya diberi nafas semusim untuk bersaing dengannya. Setelah itu, nama mereka tenggelam, digantikan nama baru. “Ia mengejar seperti setan,” kata Stoner. Sementara Gibernau berkomentar,“Gaya bermainnya ngotot, sulit dikalahkan,”.

Saya masih ingat ketika Rossi memperdaya Gibernau di sirkuit Australia enam tahun lalu. Padahal sepanjang lomba, Rossi dengan setia membayanginya di belakang. Pada tikungan terakhir, ia menyalip dari lipatan dalam, kemudian menarik keras tuas rem yang membuat Gibernau kaget. Jarak melebar, Rossi pun juara.

Pada kesempatan lain, sebenarnya Hayden menjadi juara dunia sambil ngos-ngosan. Karena sampai detik akhir, Rossi tidak selangkah pun menyerah. Saya juga ingat bagaimana Ducati Stoner yang merajai trek-trek lurus, mampu diimbangi dengan gaya menikungnya yang tenang. Sepertinya Lorenzo akan bernasib sama. Lihat saja nanti, Rossi akan kembali merebut mahkota itu, bersama motor barunya, Ducati Desmodici.

Ia selalu punya solusi saat kekurangan ada pada dirinya. The Doctor tidak pernah merasa minder karena motor Honda RC jauh lebih cepat dari tunggangannya, Yamaha YZR. Atau mesin Ducati yang hobi gas pol rem pol saat trek lurus. Ia juga tidak pernah merasa kalah ketika Lorenzo jelas-jelas dibela pabrikannya, Yamaha. Walau berada dalam satu tim, kualitas motor Lorenzo jauh di atas Rossi. Ia tak ambil pusing dan tetap berusaha keras bersama potensi yang dimiliki. Walau akhirnya hanya juara tiga, sikap determinasi tinggi perlu kita teladani.

Saya menunggu janjinya untuk melampaui legenda sepanjang masa, Giacomo Agostini.

***
Menjadi legenda berarti berbicara mengenai prestasi. Jangan artikan prestasi hanya berukur pada banyaknya piala di rumah seseorang. Tapi lebih pada bagaimana seorang legenda mampu menyadarkan orang lain atas eksistensi kehidupan. Segala sikap, tindak-tanduk, dan ucapannya, bak bulatan kecil mutiara di lautan pasir hitam. Legenda juga meyakinkan bagaimana seseorang berdiri tegak pada sebuah prinsip, sampai pada suatu masa ia tidak mampu berdiri lagi: MATI.

Dan catat baik-baik, bahwa mereka semua adalah para pemegang rekor. Sesuatu yang tak mampu disamai oleh siapapun. Rossi dan Federer memang nyata menjadi yang terbaik di lapangan dan lintasannya. Sedang Del Piero? Prestasi secara tim memang belum fenomenal, namun secara pribadi, namanya sudah menancap di hati seluruh rakyat Italia. Semua kagum dengan bendera yang terus dikibarkannya: Loyalitas Tanpa Batas!

Mereka menjunjung nilai-nilai positif, di kala nilai itu hilang dari dalam jiwa manusia. Kesetiaan Del Piero, optimisme sekaligus rendah hati Federer, determinasi serta konsistensi Rossi, melawan segala setan jahat bernama kemunafikan, kesombongan, dan pesimisme dalam diri seorang manusia. Menjadi jawara memang wajib, tapi menjalani hidup secara terhormat itu lebih penting.

Irfan Bachdim? Ah, bagi saya, dia bukan –dan tidak akan- menjadi legenda. Walaupun Timnas Indonesia seperti kedatangan juru selamat, kemudian jutaan orang yang tiba-tiba mengaku pecinta bola mengelu-elukannya, dan sekumpulan grupis memuja ketampanannya, saya tetap tidak tertarik dengan naturalisasi.

Dulu, kita menghujat Singapura yang menjadi raksasa baru Asia Tenggara karena naturalisasi. Sekarang, logika kita mau taruh dimana, Filipina menjadi raksasa baru gara-gara naturalisasi 8 pemain asing. Apa kita mau mengikuti jejak para pecundang itu?

Memang sih, gaya mainnya menawan. Maklum, jebolan akademi Ajax yang sudah terkenal lama. Sekolah yang juga rumah bagi legenda macam Johan Cruyff, Van Basten, dan De Boer bersaudara. Andaikan Bachdim jebolan sekolah Asysyabab yang legendaris di Surabaya itu, apa PSSI masih mau melirik? Andik Firmansyah, pemain mungil asal Persebaya yang larinya seperti zebra itu. Ah, pasti dinilai kurang fotogenik ketimbang Bachdim.

Kok kesannya saya ini rasis ya? Bukan, saya bukan rasis. Sebagaimana halnya Albert Camus (peraih nobel sastra), Claude Levi-Strauss (bapak antropologi modern) serta Antonio Gramsci (filosof besar Italia), saya mencintai sepak bola dengan segala filosofinya. “All i know most surely about morality and obligations, i owe to football,” kata Camus. Seperti jutaan bocah Brazil, saya dan mungkin anda, pernah tertawa riang saat mengolah kulit bundar di gang-gang sempit wilayah suburban. Mengesankan!  

Mengapa saya menolak? Argumen saya malah berdasar kebijakan Uni Eropa. Mereka ketat sekali untuk masalah naturalisasi pemain olahraga. Bahkan di tingkat kompetisi lokal, negara-negara industri sepak bola seperti Italia, Jerman, Inggris dan Spanyol, menerapkan aturan ultra-konservatif, seperti misalnya pembatasan pemain asing dalam skuad tim, seleksi ketat pemain asing yang ingin berkarir, dan beberapa kebijakan diskriminatif bagi pemain asing.

Jelas itu bertolak belakang dengan kultur mereka yang moderat-liberal. Bagi penggemar sepak bola Italia pasti tahu. Di balik kejayaan Inter Milan pada era Jose Mourinho, secara mayoritas, rakyat Italia tidaklah bangga. Sebab, tidak satu pun pemain asli Italia berada di lapangan saat Inter juara Liga Eropa. Itu pula kemudian mendorong protes keras agar komposisi tiap klub harus menyertakan banyak anak-anak muda Italia yang potesial.

Tentu kita juga tidak lupa, kegagalan Inggris di Piala Dunia 2010 kemarin. Itu pula menjadi penyulut kebijakan baru: mewajibkan tiap klub mendidik dan memberi kesempatan lebih pada talenta muda Inggris.

Bachdim memang berjasa. Itu patut diapresiasi. Saya hanya mengasihani pemain-pemain Indonesia tulen yang merintis lama dari under sixteen, merangkak jatuh bangun sampai skuad senior, tapi dengan begitu mudahnya digeser oleh seorang Bachdim. Dengar-dengar, orang-orang pragmatis macam Alesandro Trabuco (Italia) dan Kim Jeffrey (Jerman), akan segera direkrut. Mereka punya syarat menggelikan. Berambisi main di Timnas, tanpa mencabut kewarganegaraan Uni Eropa-nya.

Wah, kalau begini ceritanya, bisa-bisa tim nasional berubah nama jadi “Indonesia”. Indonesia dengan tanda kutip. Saya pula tidak ingin membayangkan, suatu saat nanti, ada “musim transfer” pemain untuk membela suatu negara. Kalau dunia olahraga hanya memahami kata “menang”, maka uang selalu jadi pemenang.

Bagi saya, olahraga bukan sekedar berbicara tentang kemenangan. Tapi ini lahan pendidikan karakter suatu bangsa. Nah, sudah jelas terlihat, mana karakter yang suka ambil jalan pintas, lalu mana karakter yang menjunjung tinggi suportivitas dan persaingan sehat. Kalau kita mencari legenda, kita harus mencari dalam waktu lama, berliku, terencana, dan konsisten. Bukan pelarian sekedar cari peruntungan.

Saya jadi ingat 8 tahun lalu. Suasana euforianya jauh lebih menggelegar ketimbang sekarang. Saat saya berdiri di tribun atas Gelora Bung Karno pada even yang sama. Gemuruh suporter di belakang gawang -tifosi Italia menyebutnya ”curva”- berhenti kala Indonesia tertinggal 2-0 oleh Thailand di babak pertama. Teriak bangga Indonesia Raya berganti ”pisuhan” dari ribuan suporter yang berduyun-duyun meninggalkan stadion saat wasit belum meniup peluit bubar. Pada saat itu, saya baru sadar, siapa yang benar-benar mencintai Indonesia.

Saya masih berdiam diri, tak beranjak pergi saat stadion semakin sepi, dan di hadapan saya, Kiatisuk Senamuang mengangkat piala tinggi-tinggi. Saya menangis bersama Bambang Pamungkas, Gendut Doni, dan Imran Nahumarury. Secara dramatis, Indonesia berhasil menyamakan kedudukan, namun gagal saat adu penalti.

Bahtiar Rifai Septiansyah
bukan Juventini, bukan pecinta tulen olahraga tenis, dan bukan pengagum berat angka “46”   

”Saya ingin jadi penghujat di kala orang lain beramai-ramai memuja. Dan, saya ingin jadi pembela yang paling nyaring, kala orang lain menganggap Timnas sudah garing”

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Del Piero, Federer, Rossi