ITS News

Kamis, 14 November 2024
20 Desember 2010, 11:12

Wanita, Wani Tidak Ditata

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Lelaki itu seorang yatim yang ayahnya pernah difitnah melakukan pembunuhan. Pemfitnahnya tak lain adalah ayah sang wanita sendiri, seorang konglomerat kaya raya. Dengan halus, ia memaksa wanita itu untuk membersihkan nama ayahnya, alias menuntut ayah itu sendiri. Wanita itu menangis dramatis, minum alkohol, sedih dan depresi, sebelum akhirnya mengiyakan.

Ini adalah sebuah cuplikan drama televisi Korea. Entah apakah kisah tersebut benar-benar terjadi di dunia nyata atau tidak. Faktanya, ini merupakan peristiwa yang bisa terjadi pada siapa saja.

Bukan, bukan fenomena menjadi seorang wanita-muda-cantik-jaksa-penuntut-sukses. Tapi coba renungkan, betapa banyak wanita yang terjebak dalam siklus yang hampir sama. Mencintai seseorang, yang tampaknya begitu baik dan perhatian terhadap mereka. Tetapi setelah itu semua, ada paksaan yang dibebankan sang lelaki terhadapnya, yang membuatnya tertekan, namun tak dapat melakukan apa-apa.

Sayangnya, tak banyak wanita yang mengetahui bahwa ini sebenarnya sebuah bentuk dari abuse, bentuk kekerasan atau perlakuan yang menyakiti. Selama ini, perkara abuse terhadap wanita lebih sering diidentikkan dengan physical abuse atau kekerasan fisik (termasuk seksual). Padahal, masih ada dua bentuk lagi dari mahluk ini yaitu verbal (lisan) dan emotional (emosional).

An abusive relationship: It‘s about power and control, tertulis di situs bukisa.com. Pernyataan itu memang benar. Abuse dalam sebuah hubungan terjadi ketika seseorang mengerahkan kekuatan atau kontrol yang begitu besar terhadap pasangannya, sehingga orang itu menjadi tertekan dan tersakiti. Baik secara fisik maupun secara emosi.

Tekanan itu bisa dalam bermacam-macam bentuk. Rasa takut merupakan salah satu indikasinya. Takut untuk mengungkapkan kata hati, takut untuk bertindak, takut untuk menolak adalah contoh-contohnya.

Indikasi lainnya adalah sifat cemburu dan posesif, sampai pada titik di mana seseorang melarang pasangan atau orang yang dicintainya itu untuk berhubungan dengan orang lain (meskipun secara jauh) di luar sepengetahuannya. Ia akan mengontrol kehidupan pasangannya, termasuk yang paling pribadi sekalipun, seperti akun e-mail, jejaring sosial dan telepon. Bila pasangannya itu menyatakan putusnya hubungan mereka, bisa jadi si abuser mengancam akan bunuh diri atau melakukan hal ekstrim lainnya.

Celakanya, kekerasan emosi memang sering begitu halus sehingga sering tidak langsung terdeteksi. Baik oleh korban, pengamat, maupun pelaku. Tindakan abuse juga acap membuat korban begitu tertekan, sehingga enggan (atau bahkan tidak mampu) membicarakannya dengan orang lain.

Seperti dalam contoh wanita jaksa penuntut di atas. Seorang penonton awam yang kurang jeli mungkin akan melihatnya sebagai bentuk konflik hubungan yang biasa, serta bentuk cinta wanita terhadap seorang lelaki. Namun bila kisah tersebut benar-benar didalami, maka sangat mungkin sekali wanita tersebut baru saja mengalami sebuah bentuk emotional abuse.

Hubungan yang mengandung abuse itu bukan lagi sebuah relationship yang sehat. Bila tidak ditinggalkan, kemungkinan besar akan berlanjut kepada abuse yang lebih berat. Bahkan bisa pula memakan korban jiwa dan akal sehat. Tentu saja, yang lebih baik adalah menghindar dari yang semacamnya.

Mengapa lebih banyak yang melanda wanita? Sudah bukan rahasia lagi, wanita jauh lebih halus perasaannya. Keinginan dan kapasitasnya untuk mencintai (’berkorban’) lebih besar dari lelaki. Selain itu, wanita juga lebih mengedepankan emosi dalam menghadapi berbagi persoalan. Karena itu, terkadang memang keputusan yang diambil bisa jadi tidak rasional, atau sekadar untuk mempertahankan hal maupun orang yang mereka cintai itu.

Berapa sering anda mendengar pernyataan, cinta adalah pengorbanan. Berapa kali arti kalimat itu sering disalahartikan, menyangka bahwa seseorang (terutama wanita) harus menyerahkan semua yang ia miliki, baik itu dalam bentuk fisik maupun energi dan waktu, bagi seseorang yang ia cintai.

Keadaan ini diperparah dengan pencitraan wanita di berbagai media, terutama film dan televisi. Salah satu contoh ’wanita layak menerima abuse’ ini sering terdapat dalam sinetron. Wanita digambarkan begitu lemah dan tidak berdaya, hanya pintar mencintai dan bertindak atas dasar ’cinta’nya tersebut.

Di Indonesia, wanita yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam bentuk ekonomi dan seksual mencapai 54.245 kasus (Komite Nasional Perempuan, 2008). Itu yang terdaftar. Yang tidak terdaftar terjadi di rumah tangga, di ruang publik, di tempat kerja, bisa jadi lebih banyak lagi. Dibandingkan dengan masalah penyetaraan gender, emansipasi, bahkan feminisme, perkara abuse ini sebenarnya sebuah perkara yang lebih fundamental dan harus lebih dibahas.

—-
Ia mungkin belum bisa disebut wanita, masih gadis tepatnya. Bau kencur baru lulus SMA dengan nilai gilang-gemilang. Hari itu, ia lulus tes nasional masuk perguruan tinggi negeri (PTN) A, juga lulus tes khusus untuk PTN B. Dua-duanya di luar kota jauh dari rumahnya. Senang membuncah di hatinya. Namun sebuah kesedihan besar merayapinya.

"Mbak, saya bingung sekali, masuk perguruan tinggi A atau B?“ tanyanya pada seorang kawannya.

Jelas-jelas A yang disebutnya pertama kali lebih bagus akreditasinya, dan yang B lebih mahal SPP-nya, jadi teman bicaranya itu cukup heran juga.

"Kenapa bingung? Bukannya jurusan di PTN A juga pilihan utamamu?“ tanyanya.

Si gadis terdiam. Ia tampak resah sekali. “Ya, mmm, karena pacar saya mbak,” ujarnya akhirnya.

Gadis itu sudah berpacaran selama lima tahun, hampir tidak pernah putus. Dan ternyata, pacarnya tidak lulus tes seleksi masuk universitas manapun. Sebuah hal yang biasa. Yang tidak begitu biasa, bukannya senang atas keberhasilannya, malah diam-diam pacaranya itu melarangnya masuk ke universitas A. Alasannya, ada teman mereka yang menyukai gadis itu di universitas A.

“Lima tahun itu lama sekali, Mbak. Masa saya harus kehilangan dia sekarang?” gadis itu kini tergugu.

Teman si gadis terdiam. Ia bingung mencari kata-kata yang tepat.

“Sebenarnya ini bukan masalah waktu lima tahun itu dik,” ujarnya pelan, sehalus mungkin, “tapi masa depanmu, yang mana mau kamu korbankan? Pacarmu atau masa depanmu?”

Bila si pacar itu memang benar mencintai si gadis, si teman melanjutkan, ia justru akan bahagia melepasnya menuju masa depan yang lebih baik. Juga sebenarnya larangan si pacar itu bisa diartikan sebagai bentuk ketidakpercayaan dia terhadap si gadis.

Beruntung si gadis akhirnya bisa berpikir jernih kembali. Beberapa hari kemudian, ia mendaftarkan dirinya di universitas A sebagai mahasiswa baru tahun itu.

PTN itu adalah Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Lisana Shidqina
Mahasiswi Arsitektur
For her, and everybody just like her.

 

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Wanita, Wani Tidak Ditata