ITS News

Kamis, 14 November 2024
25 Desember 2010, 16:12

Emas

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Hammurabi, kakek tua yang bijak, sudah memulai ide ini lewat codex-nya, jauh-jauh hari sebelum Yesus lahir. Begitupula Mahabrata, turut bercerita panjang tentang interaksi sehat antar manusia. Dilanjutkan titah pencerah tata susila dari Cina, Kong-Fu-Tse, yang juga diamini seorang pangeran berhati mulia, Sidharta Gautama. Bahwa, “Apa yang kamu tidak suka orang lain berbuat terhadap dirimu, jangan lakukan,”.

Atau kisah lain dari tanah Arab, saat Muhammad didatangi seorang pemuda. Sang pemuda lantas dengan nada tinggi membuat sebuah pernyataan. ”Saya ingin memperkosa seorang wanita,”. Muhammad lantas tersenyum simpul, lalu menanyakan balik pada pemuda itu,”Bagaimana perasaanmu bila saudara perempuanmu, atau bahkan ibumu diperkosa oleh orang lain?”.

Sedangkan Aquinas hanyalah menggali kembali ajaran Yesus, dengan menambah sedikit bumbu rasa Aristoteles. “Do good, avoid evil!” pesannya. Bagi Aquinas, manusia diberi free choices, menentukan hidupnya dalam format seperti yang mereka inginkan. Ia mengajarkan kepatuhan pada suara hati, karunia terbesar yang diberikan Tuhan. Menurutnya, suara hati atau nurani, paling bisa berkata jujur, walau seandainya sedunia bersekongkol untuk berbohong. Pada dasarnya, manusia mengerti betul mana yang baik dan mana yang buruk.

Jauh sebelum itu, dalam terang gemintang, Yesus lahir di tengah kebobrokan sosial. Warga Yudea selalu mengolok-olok semua nabi yang diturunkan Tuhan. Termasuk pula mempermainkan ayat-ayat Perjanjian Lama. Kuil Sulaiman yang suci, justru menjadi tempat paling busuk saat itu. Berbagai siasat jahat disusun di sana, termasuk menuduh Yesus subversif terhadap penjajah Romawi.

Ketika mengajari umatnya dengan cinta damai, Yesus lantas diusir semena-mena. Lalu kaum yang ia kasihi, malah ramai-ramai meneriaki,”Bunuh dia! Bunuh dia!”. Padahal, ia sudah mengerahkan seluruh jiwa-raga dalam pelayanannya. Dari mengobati orang sakit, sampai memberi mereka makanan penuh berkah.

Kisahnya jadi mirip Sócrates saat diludahi orang-orang se-Athena, rakyat yang ia cintai. Yang kemudian, mereka menyesal karena telah mengusirnya. Hari-hari berikutnya jadi hari paling menyesakkan. Para pemimpin Yunani lahir dari perut Singa yang sedang mengejar mangsanya. Mereka alergi dengan titah-titah bijak Socrates. Tidak lain, tidak bukan, mangsa itu ya rakyat Yunani sendiri.

Atau darah Muhammad, yang menjadi saksi lemparan batu orang-orang sekampung Thaif, juga kaum yang ia sayangi. Tapi kelak orang Thaif jadi pengikut yang paling mencintai, sebab Muhammad tak sampai hati menabrakkan gunung pada desa mereka. “Ya Tuhanku,  sesungguhnya mereka belum mengerti. Ampunilah mereka.” Muhammad memohon.

Seperti biasa, orang baik selalu terasing.

Yesus tumbuh jadi pejuang pro-proletariat (rakyat miskin), sebagaimana pemikir sosialisme, Hegel, mengelu-elukannya. Ia hidup di tengah-tengah kaum yang papa. Pancaran wajahnya –sebagaimana tampak teduh dalam lukisan Rembrandt- mengajarkan jiwa perasa serta solidaritas pada seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Ini pula yang menjadi inspirasi bagi Santo Fransiskus, Richard berhati singa, Bunda Teresa dan jutaan pemuka kristiani yang turun di tengah masyarakatnya.

Suatu peristiwa dicatat dalam Alkitab. Saat Yesus tak kuasa menahan air mata, melihat seorang Janda menangis sendu di dekat kota Nain. Di bawah awan kelabu, di depan makam anak kesayangannya. Lalu tergeraklah hatinya. Dengan izin Tuhan, ia membangunkan anak itu dari tidurnya di dalam kubur. Alangkah suka citanya sang Ibu, saat Yesus menyerahkan putranya seperti sedia kala.

Tapi, ketenteraman itu lekas hilang. Segerombolan bandit kaya di Bethlehem, memanas-manasi penguasa untuk segera melenyapkannya. Yesus diadili di hadapan rakyat. Sekejap Al Masih menatap tiang salib. Romawi perintahkan pasukannya, memajang Yesus di puncak Golgota.

Apa yang ia lakukan? Ia hadapkan wajahnya pada langit. Kata proteskah yang ingin dilontarkannya? Tidak. Direkam jelas dalam Lukas, dengan nada lirih seperti Muhammad, ia berkata,”Tuhan, ampunilah mereka. Sebab sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,”.

Pernah di hadapan sahabatnya ia berkata,”Jangan balas kejahatan dengan kejahatan,”. Atau di kesempatan lain jua bertitah,”Sayangilah musuh-musuhmu,”. Semua sahabat mengikuti seksama. Arahan Mel Gibson di film ”The Passion” -yang agak kontroversial- menggambarkannya gamblang. Detik-detik akhir, ketika ia dan seluruh sahabatnya dikejar-kejar dan disiksa. Dicambuki gerigi sekujur tubuh, tanpa ada yang berani mencegah. Yesus tetap melempar senyumnya. Di pundaknya, dosa-dosa manusia ditebus.

Kalau dilihat-lihat, amatlah sulit mematuhi aturan emas. Bisa jadi, ini pekerjaan yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang suci. Kita perlu berpikir dua kali untuk menyerahkan dengan mudah pipi kiri kita. Jua tak mungkin membangunkan orang dari kematian, guna menyenangkan sanak saudara yang ditinggalkan. Namun, dari kumandang kidung pada tiap sakramen yang dikunyah, kita diajarkan untuk selalu menjadi pribadi-pribadi simpatik, yang selalu pandai menenteramkan dan pula mudah memaafkan.
 
***
Three magic word: Sorry, Thanks, Please. Saya masih ingat betul ketika penyambutan Maba, seorang dosen mengajarkan saya tentang tiga kata ajaib ini. Mereka, kumpulan kata yang enggan keluar, hanya karena gengsi lebih besar.

Pernahkah kita memincingkan mata pada orang-orang yang levelnya di bawah kita? Pernahkah kita menutup kuping bila tukang sapu ndeso memberi kita wejangan? Padahal, di saat hampir bersamaan, orang-orang berbadan tambun, necis, dengan mobil mewah di pekarangan rumahnya, yang biasanya pergi ke rumah bordil atau mengisi brankas lewat cara ilegal, dengan senang hati kita dengar nasehatnya. Ternyata, kita lebih tunduk pada dasi, ketimbang sarung!
 
Sudah jadi hak pemimpin menyuruh bawahannya. Tapi sulitkah berbicara,”Pak, minta tolong, mohon…,”. Rasanya pula lidah terasa berat mengucap “terima kasih” pada Ibu Pecel langganan kita setiap pagi. Kita berpikir, kan…kita membayar, buat apa terima kasih, kecuali dia ngasih gratis. Lantas, sejak kapan logika “elu-elu-gua-gua” menjangkit di tanah Surabaya, yang terkenal budaya “mangan ora mangan sing penting njagong”.

Mengapa pula YB Mangunwijaya susah-susah membuat rumah ideal untuk orang miskin. Yang segalanya berprinsip, dari orang miskin, untuk orang miskin, oleh orang miskin. Yang bahan bakunya dicari dari batu kerikil murah meriah. Yang dibangun dari keringat-keringat bernada gotong royong. Yang luasnya disengaja sederhana, agar menjaga hati mereka tetap legawa, tak muluk-muluk dan tak banyak meresah keluh kesah. Yang paling penting, kalau tertiup angin, pondasinya tidak ikut “meniduri” si penghuni. Biar irit, tetap harus sekokoh rumah mewah di jalan-jalan protokol itu.

Sebab, romo yang juga arsitek kawakan ini, punya rasa. ”Bagaimana kalau saya hidup dengan nasib seperti mereka yang miskin?”. Apa layak, berlindung di kardus yang disusun menumpuk jadi pegupon, dengan latar gunungan sampah. Bukankah itu yang sering digambarkan film-film kita tentang paguyuban manusia yang bernama “masyarakat miskin kota”? 

Jangankan rumah layak, tidur di trotoar depan ruko yang sedang tutup saja dilarang. Tak ada gunanya ikrar empat kebebasan Roosevelt. Atau sebaiknya, sebuah ayat yang berbunyi,”Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara,”, kita acuhkan dalam loker. Biarlah rayap yang membacakan di tiap perayaan tujuh belasan.

Sebagai seorang teknokrat (nantinya), agaknya kita perlu seimbangkan. Termasuk perhatian seksama kita pada niat kampus mencetak mentalitas technopreneur. Atau pidato SBY yang berkali-kali menyebut kata “kemajuan ekonomi”. Adalah proyek prestisius, membawa manusia Indonesia bekejar-kejaran menuju kejayaan.

Segalanya omong kosong, kalau sifat saling perasa, saling menghormati, saling memikul, dan tenggang rasa, sudah hilang di tengah-tengah kita. Sikut kita lebih sering menghantam dagu kawan. Atau juga menghantam orang-orang yang kita beri label sebagai lawan.

Yang ada, kemajuan ekonomi hanya dinikmati oleh ”dia lagi-dia lagi”. Mereka yang menutup kuping dari lolongan pembawa kecrekan di kolong jembatan. Mereka yang hobi menimbun harta dengan menebar saham di perusahaan profit-bonafit. Kalaupun ada sebongkah nurani, itu tak lebih sekedar blush on perias wajah agar anggun terlihat.

Kemungkinan, tol tengah kota termasuk usaha menyusui para komprador. Mengajak manusia untuk menghamba pada industri otomotif. Menyesakkan dada akibat lapisan ozon yang tak lagi sensitif. Kita tidak tahu persis siapa yang dirugikan dan diuntungkan dalam hal ini. Yang pasti, tiap bentuk revolusi selalu menyantap anak-anaknya. Bayangan yang memang tampak surgawi, tiba-tiba berbalik ke bui, andai kita tak pahami betul apa maunya masa nanti.

Entahlah. Bisa jadi, ini sebuah tulisan usang. Saya hanyalah manusia sok moralis dengan banyak cela di muka. Sepertinya, orang-orang bijak akan sulit hidup di dunia macam ini. Bahkan, bisa jadi, Golden Rule sudah mati di tanah kelahirannya sendiri, sehingga kita seperti kehilangan pemandu. Yang pasti, kaca mata kita perlu minus tambahan. Karena semakin jauh menatap, kebenaran akan semakin samar.

Tak selalu yang kuning-kuning itu berarti emas.

Bahtiar Rifai Septiansyah
  

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Emas