ITS News

Kamis, 14 November 2024
30 Desember 2010, 08:12

Belajar dari Sang Juara

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Euforia piala AFF memang tengah memuncak pada (29/12) malam. Tak peduli tua-muda atau dosen-mahasiswa, semua seakan teracuni virus gila bola. Tak lihat bola sama halnya tak punya rasa nasionalisme. Begitu kata banyak orang. Ya, bagi pecinta bola seperti saya, malam langka di tengah krisis prestasi, kemunculan Indonesia di final kejuaraan bergengsi menjadi suguhan manis tersendiri.

Nah, kalau mereka yang tak suka bola? Saya sendiri pun tak tahu. Yang jelas, malam ini semua cerita tanpa bau bola harus rela dinomorduakan, bahkan dinomorsepuluhkan setelah cerita timnas, Arif Suyono, Nasuha, Ridwan, Bustomi, Alfred Riedl, sampai cerita SBY. Malam itu memang milik bola dan timnas. Mau cerita hal lain? Boleh saja, tapi bersiaplah anda tak dihiraukan.

Sekali lagi saya tekankan, malam itu memang milik timnas dan sepak bola. Sebentar saja kita tengok fenomena yang terjadi di ITS. Hampir setiap sudut ITS dihiasi wacana nonton bareng (nobar) final second leg yang dihelat di kandang Indonesia. Nyatanya, bukan satu-dua lagi yang sengaja menikmati duel Indonesia vs Malaysia. Hampir tiap jurusan menggelar acara serupa. Uniknya, ada jurusan yang memberikan iming-iming kaos timnas dan sederetan doorprize lainnya.

Tak peduli bagaimana hasilnya nanti. Yang terpenting adalah kebersamaan mendukung tim merah putih. Urusan lain turut terlupakan. Kalau gerak kaki sang pemain sudah diperhatikan, soal rapat jadi terkesampingkan, kuis esok hari sejenak dilupakan, bahkan urusan makan tak masuk hitungan. Seperti itulah teman-teman termasuk saya.

Say No to “Politik”

Melihat second leg ini, sempat terlintas kembali dalam benak saya hasil pertandingan first leg (26/12) lalu. Segala prediksi dan harapan porak-poranda seketika begitu wasit meniup panjang peluitnya. Ya, skor telak 3-0 untuk kemenangan tim Malaysia menyudahi harapan tinggi terhadap tim asuhan Alfred. Banyak yang mengecam permainan tim Garuda melemah. Benarkah kualitas yang telah terlihat sejak penyisihan itu tipuan belaka?

Tidak, bukan mereka yang menurun kualitasnya. Rapuhnya lini pertahanan Indonesia tampaknya memang tak bisa dipisahkan dari banyaknya pihak yang ingin numpang tenar atas kemenangan-kemenangan sebelumnya. Bisa jadi Okto, Bachdim, dan kawan-kawan gagal menghalau serangan gara-gara ternodai pencitraan politik dan pejabat. Bukannya saya ingin frontal terhadap hal satu ini. Tapi memang itulah yang terlihat.

Ketika sang pemain diharuskan fokus untuk pertandingan final, sempat-sempatnya ketua umum salah satu partai politik mengundang pemain Timnas ke rumahnya. Dengan iming-iming yang luar biasa pula, lahan puluhan hektar. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan undangan semacam itu. Karena memang sudah sepatutnya perjuangan ini diapresiasi. Namun, yang kurang benar hanyalah timing.

Mungkin para politisi kita harus sedikit berkaca dari luar. Ketika timnas Spanyol melaju ke semifinal piala dunia 2010, tidak satu pun politisi negeri tersebut memperlihatkan syahwat pencitraan. Mereka sabar menunggu hingga timnas Spanyol meraih tahta teratas. Memang dunia bola dan lainnya harus bebas dari politik.

Ayo Pantang Menyerah!

Kekalahan di kandang Malaysia memang terasa menyesakkan. Tapi, melihat pertandingan panas (29/12) di Gelora Bung Karno, kekalahan itu menjadi hal yang tak masalah bagi rakyat Indonesia. Sekali lagi bola memang bulat. Harapan masih bisa mencuat meski hasil tak sedahsyat bayangan.

Saya merasa pertandingan second leg memberikan banyak pelajaran. Sebuah perjuangan tanpa henti, hingga batas lelah fisik dan konsentrasi sudah diambang garis finish. Seperti Arif Suyono yang memberikan gebrakan dahsyat sampai cedera menghampirinya ditengah pertandingan. Seperti Nasuha yang tetap gigih  menggiring bola meski dihadang lebih dari dua pemain. Dan seperti Bustomi yang tak kenal lelah menyerang lawan dari menit awal hingga permainan usai.

Itulah mental juara. Timnas Indonesia memang tak mampu menggondol tropi AFF. Tak mampu memberikan kepuasan bagi rakyat negeri. Tak mampu membuat pendukung berteriak heboh akan kemenangan. Tapi satu hal. Mereka mampu menunjukkan bahawa mereka bermental juara.

Bagi saya, tim Garuda tetaplah sang juara. Bukan soal menag atau menangis kagi. Tapi, suatu keyakinan mereka mampu bangkit dari kekalahan, memberikan serangan-serangan tak terduga, dan mampu menghadiahkan keberhasilan di kandang Indonesia ke seluruh supporter dan masyarakat Indonesia.

Memang seperti itulah adanya kita seharusnya. Walau kemungkinan berhasil itu kecil tapi perjuangan keras justru mendatangkan apresiasi lebih. Entah itu dalam hal akademik, organisasi, ataupun usaha. Terkadang sedikit keberhasilan memang membuat lengah. Tak jarang pula rintangan datang tiba-tiba menjadi senam jantung yang tak semestinya. Ya, tetap semangat dan pantang menyerah memang kunci terbaik. Ganbatte!!!

Sekarang Dielukan, Nanti Jangan Dibuang

Kalau sudah menyangkut soal bola, saya teringat pula sebuah lukisan yang pernah saya lihat di pameran pendidikan di Lamongan. Sebuah lukisan miris menggambarkan seorang atlet yang terkapar. Sekali lagi ini tentang bola dan ini juga tentang atlet bolanya.

Masih belum ada jaminan khusus bagi para atlet yang telah mengharumkan nama negeri. Setelah pensiun, mereka dibiarkan begitu saja tanpa ada kepastian dan jaminan. Seolah pekerja yang di-PHK tanpa pesangon. Seperti pribahasa “habis manis sepah dibuang”. Melihat keadaan tersebut, tak salah jika banyak atlet Indonesia membela negara lain dengan iming-iming yang lebih menjanjikan.

Lantas kalau sudah seperti ini, siapa yang akan disalahkan? Saya, Anda, atau kita semua pecinta bola? Bukan, pemerintah memang harus menengok jaminan bagi atletnya. Jika tidak, cukup bersiap saja Indonesia bakal kehilangan atlet terbaik. Dan tak butuh waktu lama untuk menunggu kejadian semacam ini terjadi.

Seorang yang berprestasi memang patut diapresiasi. Sekecil apapun prestasi itu. Tak peduli bidang apapun itu. Mereka tak gila apresiasi. Tak minta dielu-elukan. Cukup butuh support setiap saat. Nah, tak hanya timnas bola Indonesia yang perlu digarisbawahi. Apresiasi dan dukungan memang harus kita berikan ke Timnas bidang olahraga lainnya, seperti bulutangkis yang lagi-lagi krisis prestasi.

Begitu pula dunia pendidikan, saya hanya berharap ITS akan selalu memberikan apresiasi terbaiknya bagi mahasiswa ataupun dosen yang berprestasi. Sebab, dukungan dan apresiasi mampu menyuntik semangat untuk selalu berusaha dan berusaha.

Eka S.
Mahasiswi Teknik Kimia

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Belajar dari Sang Juara