ITS News

Kamis, 14 November 2024
31 Desember 2010, 20:12

Vivere Pericoloso!

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sudah biasa, Soekarno memang begitu. Saat masa-masa pra-kemerdekaan, pidato Soekarno biasanya campur aduk dari berbagai bahasa serta retorika. Padahal, pendengarnya itu, tukang sayur, kusir delman, petani, pedagang asongan, tukang becak. Tapi dengan itu, Soekarno mampu membangkitkan karakter kuat sebuah bangsa. Semua sahabat dan lawan-lawannya wajib sepakat, bahwa Soekarno adalah pembangkit harga diri terbaik yang pernah dunia miliki.

Saya tertarik dengan istilah TAVIP (Tahun Vivere Pericoloso). Bukan karena pidato kenegaraan Soekarno saat 17 Agustus 1964 ini dipolitisir Hollywood dengan judul “The Year of Living Dangerously”. Bukan pula karena Mel Gibson main bagus dalam film itu, kemudian akhirnya menang Piala Oscar. Tapi karena beberapa dekade sebelumnya, Benito “Il Duce” Mussolini juga meneriakan dengan oktaf tinggi. “Vivere Pericoloso! (hidup penuh marabahaya)”. Kemudian disalin Soekarno.

Dalam catatan hariannya, Mussolini menulis,”Untuk membuat suatu bangsa menjadi besar, perlu untuk mengirim mereka ke peperangan,”. Soekarno juga pernah berkata,”Bangsa besar bermain dengan angka besar,”. Ia mengambil jalan yang membuat para ekonom ketar-ketir. Dengan tekad baja, ia mengikrarkan Trisakti: Kedaulatan Politik, Kemandirian Ekonomi, dan Kepribadian Berbudaya. Dari corong depan mulutnya, termuntahkan kata-kata ksatria,”Go to hell with your aid!”.

Pekerjaan beresiko memang harus menelan pil pahit. Ia sedikit salah langkah, kemudian tergelincir. Inflasi mencapai titik kulminasi, rakyat pakai karung goni, serta makan dengan garam dan terasi. Sikap konfrontatifnya menghadirkan banyak musuh, juga banyak sahabat. Walau di dalam negeri pemerintahannya kelimpungan, dunia tetap memberi hormat pada negara ini. Kata pengamat barat, Soekarno adalah orang besar yang berani melawan resiko dan pandai membesarkan hati rakyatnya.

“Kamoe ingin Hindia merdeka? Jakinlah saudara-saudara, bahwa mengedjar Hindia merdeka boekanlah pekerdjaan jang gampang. Pekerdjaan ini meminta kamoe poenja kemaoean, keoeletan, roh, dan djiwa. Kemerdekaan boekanlah barang jang ditawar-tawarkan di pinggir djalan. Kemederkaan boekanlah pelakat yang ditempelkan di podjok djalan,” tulis Bung Karno di majalah politik Fikiran Ra’jat, 15 Juni 1932.  

Bukankah untuk menikmati protein bergizi dalam kuning telur, kita harus memecahkan cangkangnya terlebih dahulu? Bila ada hal nikmat yang didapat cuma-cuma, biasanya kemudian menjadi laknat. Sebab, untuk buang air saja, kita perlu berjuang melepas pakaian. Dan, untuk mengerti cinta yang agung, Romeo rela menenggak racun, Juliet pun bersedia menusuk diri dengan sebuah belati.

Seingat saya, ada teori atom yang berbunyi,”Suatu atom yang berada dalam keadaan stabil mempuyai energi terendah,”. Teori kestabilan atom biasa disebut sebagai keadaan dasar. Sehingga, bila atom berada dalam posisi eksitasi (tidak stabil), energi atom membesar kemudian menampakkan cahaya benderang saat elektron kembali dari keadaan eksitasi menuju keadaan dasar.

Tiba-tiba bayangan saya tertuju pada Ir Soekarno, Nelson Mandela, atau bahkan Aung San Suu Kyi. Mereka kembali dari keadaan penuh marabahaya menuju kemerdekaan sejati. Setelah bertahun-tahun diguncang ketidakstabilan dalam hidupnya, mereka kembali pada keadaan dasar dengan cahaya gilang-gemilang. Cahaya itu mampu mengilhami umat manusia yang membaca lembaran-lembaran kehidupannya, untuk kemudian berkesimpulan bahwa kondisi ketidakstabilan menciptakan energi sangat besar, lalu digunakan sebagai “penerang jalan” masyarakat luas.

Memang siapa itu Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir? Mereka orang-orang yang seluruh hidupnya nyerempet-nyerempet bahaya seperti kisah Jackie Chan dalam setiap filmnya. Hidup mereka melayap dari penjara ke penjara. Mereka berani berteriak merdeka, dimana yang lain masih takut mengartikan kata tersebut. Saya yakin, sampai dunia kiamat, tidak ada lagi Presiden Indonesia yang pernah bergelar narapidana, kecuali para founding fathers. Insya Allah!

Hapus Jago Kandang
Kalau sekarang IPB mengungguli kita dalam bidang Technopreunership. Kalau sekarang ITB unggul dalam bidang inovasi. Kalau sekarang UI unggul dalam lobby-lobby. Kalau sekarang Unhas mulai beraksi, menggugat singgasana kita sebagai sentra ilmu kelautan Indonesia. Mari kita buktikan bersama.

Kirim kader-kader terbaik ITS untuk “berperang” di perlombaan-perlombaan yang digelar kampus-kampus lain. Bukankah, saat Amerika dan Rusia menjadi pemimpin dunia, disebabkan mereka aktif mengirim orang-orang terbaiknya? Membuktikan bahwa mereka memang pantas jadi negeri teladan dan pantas dijadikan tumpuan. Ekspansi institusi kiranya perlu untuk mengembangkan daya saing.

Memang, siapa bilang kemajuan tidak butuh cost yang mahal? Siapa bilang pula kemasyhuran tidak butuh pengorbanan banyak orang? Maka, jangan sungkan-sungkan lagi, kita lebarkan sayap sekuat-kuatnya. Kalau kita punya bangunan megah, hanya keindahan yang bisa diingat. Tapi kalau kita punya prestasi brilian, maka seluruh civitas dalam institusi tersebut dan juga orang-orang di luarnya, selalu mengenang keharuman abadi, melebihi megahnya gedung yang 100 tahun kemudian bisa roboh. Bukankah para juara besar selalu diremehkan terlebih dulu di tempat pendaftaran?
 
Tahun ini, tahun emas periode kedua, mari kita ikrarkan gerakan “keluar kotak”. Kita buktikan, jikalau di tingkat nasional, kita bukan warga kelas dua. Di umur 50, Apa kita ingin berkubang sebagai pribadi-pribadi menopause? Yang tidak lagi mendesah bergairah. Yang dingin-dingin saja walau dirangsang-rangsang. Yang tidak mampu lagi melahirkan ide-ide cemerlang. Yang selalu dirundung rasa takut atas perihnya menahan rahim yang mengerang. Yang juga tinggal menghitung detik-detik kematian.

Bukanlah ombak tinggi yang membuat sebuah kapal tenggelam. Bila mesin tidak lagi mampu berputar, dan kapal berdiam diri di tempatnya, saat itulah kapten kapal sadar bahwa ia akan mati hanya karena riak berarus kecil. Sebab, kapal yang diam terombang-ambing di laut lepas, jauh lebih buruk ketimbang kapal yang bergerak menembus puluhan meter tinggi gelombang.

***
Betapa susahnya hidup berbeda
Ramai orang berteriak di telinga
Kini, berbeda adalah berbahaya
Suara mayoritas jauh berharga
Minoritas? akan menambah masalah

Semua orang anggap dia gila
Kerabat pun tak lagi mau mengenal
Puluhan tahun menyisakan tanda tanya
Ketika dia berhasil mengubah dunia
Para pencercalah yang kehilangan akal

Sudah saatnya kita tidur seranjang dengan tantangan
Jer Basuki Mawa Bea!
Tiap keberhasilan, butuh pengorbanan
No Pain, No Gain!

Bahtiar Rifai Septiansyah
“Selamat Tahun Baru, Bersama Marabahaya!”

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Vivere Pericoloso!