ITS News

Selasa, 03 September 2024
16 Januari 2011, 18:01

Todai

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Seorang pemuda 24 tahun menulis surat. Tapi, tak satu pun kata puja apalagi kiasan semesta sebagaimana gelora asmara jiwa muda. Isinya serius, penuh penyesalan, permohonan maaf, dan terakhir, ia minta izin pamit. Surat itu ia kirim pada sebuah universitas. Apatah gerangan?

“Selama masa penantian, aku kerahkan seluruh tenaga. Pekerjaanku hanya dua: belajar dan tidur. Saat aku tahu bahwa aku tidak diterima, tiba saat itulah aku terserang penyakit saraf. Sungguh, hasil tes itu jauh lebih menyakitkan dari sakit yang kurasa sekarang.

Kemudian aku masuk Kyoto Daigaku. Namun bagiku, hal itu tidaklah menyembuhkan lukaku yang begitu dalam. Aku tidak bangga menjadi murid di sini. Jangan tanya mengapa aku melakukan hal ini.”

Besoknya, Si Pemuda mati gantung diri di depan kosnya. Surat tadi, anggap saja “pidato” penutup keputus-asaannya. Pada akhir suratnya tertulis, ”Aku yakin. Aku akan terlahir kembali menjadi manusia luar biasa. Kemudian, aku akan masuk Tokyo, bahkan Harvard atau Sorbonne”.

Jangan anggap kisah itu rekaan saya. Pada tahun 1975, kantor pewarta resmi Jepang, NHK, melaporkan bahwa tiap 100.000 peserta ujian masuk universitas, 100 di antaranya mati bunuh diri. Apalagi kalau bukan karena gagal masuk universitas paling bergengsi itu. Lalu, bagaimana mungkin, 28.000 kursi Todai diperebutkan lebih dari sejuta anak-anak muda Jepang. Segila itukah?

Pemuda tadi adalah segelintir contoh. Dua kali mencoba tes masuk Todai, dua kali pula ia gagal. Orang Jepang sebut ini “Ronin”. Sebuah istilah dari zaman samurai yang berarti “ksatria tanpa gelar kehormatan”. Sebagian besar pemimpi Todai menyebut ujian masuk itu dengan kata “Shiken Jigoku”. Ringkasnya, ujian tersebut tak lebih baik dari neraka. Tapi toh, sudah tahu itu neraka, masih banyak yang berambisi ke sana.

Mamoru Iga, penulis “Suicide and Economic Succes in Japan” yang juga alumni Kyodai, sempat dibuat terheran-heran. Ia menemukan banyak kasus seperti itu di Kyodai. Padahal, penghargaan nobel untuk orang Jepang, mayoritas diraih alumni Kyodai. Dan, Kyodai pun sejak dulu kala sudah bersaing ketat dengan Todai, bahkan sampai detik ini. Mungkin, buku “Who Rules Japan?” bisa menjawab kesakralan Todai.

Pasca Perang Dunia II, Jepang meng-install ulang kehidupannya. Salah satunya perbaikan mutu pendidikan. Semua Ibu di Tokyo, sudah memecut anaknya sejak umur enam tahun. Bahkan, sedari umur tiga tahun sudah diperkenalkan apa itu Todai.

Semenjak itulah mereka dipaksa memahami kata-kata “yon tou, go raku” (empat lulus, lima gagal). Empat dan lima bermakna jumlah jam tidur mereka per hari. Tidak mengherankan kiranya bila seorang ibu muda di Jepang berkata, “Jalan menuju Todai dimulai sejak taman kanak-kanak,”. Konsisten masuk sekolah unggulan sejak dini adalah solusi paling brilian menuju impian itu.

Lantas, seberapa seksi-kah Todai itu? Kalau cerdik melihat, maka Todai terlukis seperti singgasana para dewa. Sebelum universitas tingkat prefecture bertebaran, semua institusi dimonopoli alumni Todai. Termasuk syarat menjadi perdana menteri, juga menjadi anggota kabinet. Ekspansi bisnis di awal periode kebangkitan ekonomi pun tak lepas dari kiprah intelektualnya. Juga, bangunan politik Jepang yang tangguh itu, hadir berkat usaha mereka.

Wajar jika suatu hari rakyat bertanya-tanya, “Mengapa menteri keuangannya bukan si A yang lulusan Todai? Mengapa pula menteri hukum dan politik dijabat si B yang bukan alumni Todai?”. Sekali lagi, Todai saat itu, menguasai dari pucuk tertinggi sampai akar rumput terendah. Bahkan, hampir seluruh wanita Jepang mengimpikan satu hal yang sama: “Menjadi istri seorang alumni Todai.”

***
Saya jadi ingat saat kelas 3 SMA, semester dua. Kebetulan salah seorang kawan saya yang berpikiran maju, baru saja diterima di National University of Singapore. Saya saat itu, sama seperti kebanyakan siswa SMA lainnya. Ya, kalau tidak UI, ITB, atau UGM (dulu, saya belum mendapat hidayah untuk masuk ke ITS).

Ia memberitahu saya, di Singapura ada dua universitas kelas dunia. Dalam hati saya, mana mungkin negara yang kira-kira sebesar Jakarta itu bisa menampung universitas kelas dunia. Ada dua pula. Kemudian ceritanya semakin glambyar. Tiba-tiba ia mengungkap sesal. ”Coba kalau aku menang olimpiade. Mungkin sudah terbang ke MIT,”.

Tambah penasaranlah saya ketika itu. Massachussets Institute of Technology (MIT), katanya, hanya bersedia menyeleksi siswa yang minimal pernah juara olimpiade sains tingkat nasional. Itu pun peluangnya masih kecil, karena harus bersaing dengan pemuda-pemudi lain dari seluruh dunia. Sedangkan saya? Nilai di bidang sains tidak ada satu pun yang membanggakan.

Jadi, jauh sebelum Kang Abik berbicara tentang Al-Azhar atau Andrea Hirata bercerita tentang Sorbonne, saya sudah sering bertanya-tanya “ada apa sih di sana?”. Akhirnya, dibimbing rasa ingin tahu, saya bertemu kata Oxford dan Cambridge (biasa disingkat Oxbridge), Harvard, Cornell, Stanford, Yale, Princeton, Caltech, Columbia dll.

Saya jadi tahu kisah tentang pelarian sarjana-sarjana Oxford ke suatu daerah, lalu mendirikan Cambridge sebagai simbol kebebasan. Saya juga akhirnya tahu kalau ternyata Sorbonne ikut pula mengkudeta paham “l’etat c’est moi!” dengan paham baru yang berbunyi “Liberte, Egalite, Fraternite”. Kemudian ramai-ramai ilmuwan eksodus.

Atau kisah kampus-kampus beken di Amerika yang sebenarnya empat abad lampau merupakan sekolah agama. Termasuk ketika John Harvard menyumbangkan perpustakaannya, yang kemudian disokong oleh orang-orang Puritan, pelarian dari konflik sektarian melawan Ratu Elizabeth. Sementara Benyamin Franklin, seorang presiden yang multitalenta, turun langsung merintis kurikulum pendidikan tinggi di Amerika.

Suatu ketika, saya berkorespondensi dengan seorang alumni MIT. Ia menyebutkan betapa seksinya MIT. Katanya, hampir seluruh mahasiswa MIT berstatus “fully-funded”. Bahkan MIT juga tak ragu menggaji para mahasiswanya. Dan yang perlu diperhatikan, biaya-biaya penelitian di sana tidak terbatas. Selain itu, jaringan lulusannya yang memang terkenal brilian.

Ia melanjutkan, MIT sangat gencar mencari “The Best of The Best” untuk direkrut menjadi siswanya. Mereka mengeluarkan banyak biaya untuk “investasi” ini. Tidak sembarang orang bisa mendaftar di sana. Kebijakan ini juga berlaku di universitas selevel, seperti Harvard, Yale, Columbia dll.

“Kelihatannya,” kata dia. Orang Indonesia lebih senang mendaftar di universitas-universitas kelas dua. Mungkin simple-nya bisa dibilang, ”Yang penting sekolah di Amrik,”. Lalu ia menyebutkan komposisi tiga besar mahasiswa asing di sana. Untuk undergraduate, China memimpin dengan 25 mahasiswa, disusul Kanada (24) dan Korea Selatan (22). Sementara Indonesia hanya empat ekor.

Untuk Graduate, China tetap memimpin dengan 301 mahasiswa, disusul Korea Selatan (237) dan India (210). Sementara Indonesia hanya 12 butir. Sedangkan dalam komposisi pengajar asing, India-lah yang memimpin perolehan terbanyak jumlah pengajar di MIT. Waw!

Kalau kita pikir ini sebuah kewajaran karena India dan China punya jumlah penduduk 5 kali lipat dari kita, bagaimana dengan Korea Selatan? Konon, spekulasi yang beredar adalah, pelajaran kalkulus kita selevel lebih rendah dari mereka. Hmm, apa mungkin kita harus mengenalkan bab “diferensial” sejak bangku sekolah dasar? Saya tidak tahu pasti. Tapi yang harus diingat, komposisi ini bukan hanya berlaku di MIT. Juga di kampus elit lain seperti Imperial College, Oxford, Cambridge dll. China dan India selalu bersaing menjadi yang pertama.

 ***
Jepang membayar mahal untuk setiap kemajuannya. Mereka lahir dari bangsa beretika dan beretos kerja. Seabad lalu, pertama kalinya dalam sejarah, sebuah bangsa berparas Asia mampu mempermalukan bangsa Rusia yang gagah-gagah. Kini, mereka berdiri dipijakkan para martir yang gugur atas nama kehormatan. Termasuk mereka yang ber-harakiri saat menginterupsi restorasi Meiji, yang meronta di tindihan gempa dahsyat Kanto, yang mati di pelabuhan Pearl Harbour, yang dipaksa menelan kotoran pesawat bomber B-29 di Hiroshima-Nagasaki, dan yang hidup dengan tenang di bawah angan-angan Si Todai.

Sebuah nada seirama juga sedang didendangkan di negeri lama. Sebuah negeri yang pernah dibesarkan Raja Asoka, dan satu lagi, yang pernah dicintai Kaisar Shih Huang Thi. Kini mereka meniti proses kelahiran sebuah bangsa besar. Tak lama lagi, dengan semangat hidupnya dan dengan pelajaran atas perihnya penindasan, mereka akan bangkit dari malam-malam panjang 3000 tahun lamanya.

Ingat, bukankah bangsa kita lebih dulu merdeka ketimbang mereka? Bagaimana pula cara kita mengelak, toh pekarangan rumah tetangga kita yang dulu kita sebut anak bawang itu, jauh lebih baik ketimbang kita. Tak usah Todai, Harvard atau Oxbridge. Di negeri seberang, ada kampus bernama En Ti Yu dan En Yu Es. Mereka (resmi) lahir di tahun yang tak jauh beda dengan kita. Tapi sekarang, ketika mereka sudah dewasa, kita malah seperti bocah ingusan yang sering dikibuli kemegahan.

So, tugas pertama rektor kita saat ini adalah…memberitahu rakyat Indonesia kalau ITS bukanlah Institut Teknologi Surabaya (sekedar guyon, Pak).
 

Bahtiar Rifai Septiansyah
“Selamat buat Pak Prof Triyogi. Tolong jadikan kami sejajar dengan mereka!” 

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Todai