ITS News

Kamis, 14 November 2024
23 Januari 2011, 23:01

Hawking

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Tapi apa yang Hawking lakukan. September kemarin ia melempar "hits" terbaru berjudul The Grand Design. Saya sempat berpikir Hawking pensiun setelah karya monumentalnya "Brief History" menjadi buku sains paling digemari di dunia. Ia juga nampaknya tidak gila kepopuleran, setelah ilmuwan menobatkannya -bersama Einstein- sebagai lambang kecerdasan abad 21.

Siapa Hawking? Jawab saya jelas, ia seorang yang lumpuh total. Pria yang perlu dikasihani karena sampai mati nanti, selalu terdiam lemah di kursi roda. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menatap layar komputer canggih dengan kepala miring ke kanan. Ia dikenal berani berkoar bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan alam semesta. Pertanyaan terkenalnya cuma satu. "Apa yang Tuhan lakukan sebelum menciptakan alam semesta?". Sangat sulit dijawab.

Dalam perpektif ini, mungkin kaum agamawan yang paling kecipratan sindiran. Tapi seorang sufi paling dihormati, Jalaludin Rumi, punya jawaban sendiri."Tuhan menciptakan makhluk karena rasa cinta-Nya pada kehidupan. Ia tak betah sendiri," katanya. Sistem berpikir model sufi jelas memancing para rasionalis yang agak gerah dengan hal-hal berbau mistik. "Go to hell with your love!" teriak mereka keras. Sehingga sebuah anekdot pernah melaporkan bahwa ada seorang rasionalis bertemu Santo Agustinus, kemudian bertanya,"Apa yang dilakukan Tuhan sebelum terjadi Big Bang?". Santo Agustinus yang sudah bosan dengan pertanyaan macam itu menjawab enteng,"Tuhan sibuk menyiapkan neraka untuk orang-orang seperti anda,".

Mohon jangan dianggap serius. Kalau anda punya iman kuat, justru ini menjadi penyemangat. Tapi bagi yang lemah, hati-hati, mempelajari ini bisa menyebabkan serangan jantung, hipertensi, gangguan janin, serta impotensi. Hawking sedang mengarahkan perhitungan matematis ke ranah filsafat yang mengagungkan rasionalitas. Itu juga yang membuat pembawa acara kawakan, Larry King, bingung menengahi perdebatan Hawking dan Father Robert Spiltzer. Hawking tetap keukeuh kalau Tuhan tidak punya andil dalam penciptaan alam semesta.

Memang rumit, namun tetap atraktif. Saya jadi ingat perdebatan Paus Benediktus dengan filosof dialektis yang juga penerus Madzhab Frankfurt yang berpengaruh itu, Jurgen Habermas. Kesimpulannya,"bagai minyak dengan air". Senada peribahasa terkenal,"Mensana in Corporesano. Yang satu ke sana, Yang satu lagi ke sono,".

Kalau ditimbang-timbang, nekat betul pak profesor yang satu ini. Einstein saja yang tidak lumpuh masih mengakui,"Alam semesta yang begitu rapihnya, pasti ada sesuatu yang mengatur,". Bahkan di tempat lain jauh sebelum Einstein, Newton pernah berkata,"Atheisme tidak sejalan dengan ilmu pengetahuan,". Bagi saya, apapun itu, perkawinan teori alam semesta dengan ilmu ketuhanan, hanya menagih sensasi. Karena tidak semua yang bisa dihitung dapat dihitung, dan sebaliknya. Mereka hanya mengambil haknya untuk berpendapat. Dan saya, hanya mengambil hak saya untuk mendengar pendapat orang lain, apapun itu.

Aneh sebenarnya. Karena semasa Hawking menjadi mahasiswa Cambridge, ia pernah mengalahkan "pemimpin" teori Steady State, Sir Fred Hoyle. Paham yang berkata bahwa alam semesta bersifat tetap, tanpa awal-tanpa akhir, dapat dikalahkan dengan perkataan, "Alam semesta tak pernah diam, terus berkembang,". Dua paham paling terkenal saat itu, Steady State dan Big Bang, memang hangat diperdebatkan. Kalau masalahnya hanya alam semesta sih mudah saja. Tapi berhubung tema ini adalah hal yang paling substansial dalam kehidupan manusia, tentu semakin sulit.

Saat ia mengalahkan Hoyle, seharusnya ia berada dalam satu barisan bersama Lamaitre, Friedman, Einstein, dan Hubble sebagai pendukung teori dentuman dahsyat. Atau minimal mengibarkan bendera putih bersama para penyokong fanatik Hoyle. Namun kemudian Hawking membelot, berbalik menyerang. Hawking mendirikan blok baru bernama "Teori Gravitasi Kebetulan". Teori ini dianggap jalan tengah bagi unsur "ada dan tak pernah tiada" dalam teori Steady State dan unsur "keteraturan dalam ketidakteraturan" dalam teori Big Bang. Repot memang. IQ tengkurap saya jelas tidak dapat menjangkau.  

Sekarang, lupakan kesangsian Hawking pada ketuhanan. Yang perlu kita lakukan adalah mengagumi produktivitasnya. Kata orang, wajar…dia memang sejak lahir jenius. Sungguh kita harus merubah paradigma itu. Karena Einstein punya nasib sama dengan Edison ketika kawan-kawannya menyematkan kata idiot di masa kanak-kanaknya. Einstein pernah menghibur diri,"Saya, seorang bodoh bisa menciptakan sesuatu yang besar dan kompleks,".

Dan, Hawking pernah bercerita lucu. Seumur-umur dia tidak pernah juara kelas. Jangankan juara kelas, menjadi 20 besar di antaranya saja tidak pernah. "Saya baru bisa baca tulis saat umur 8 tahun," akunya dalam sebuah wawancara pada media terkenal.

Tidak ada yang spesial darinya. Begitu kata yang ia ulangi terus-menerus di hadapan orang banyak. Ia memang akhirnya menyabet Bachelor dari Oxford, tapi itu pun dengan hasil biasa-biasa saja. Sejatinya, ia malas-masalan saat kuliah, sebab ayahnya terus paksakan agar Hawking jadi ahli Biologi seperti dirinya. Katanya,"Matematika itu jalan buntu. Paling-paling jadi guru,". Hawking berkeras mengikuti intuisi, menyelami utak-atik angka pasti. Akhirnya, Sang Ayah mengalah.

Sampai suatu ketika ia divonis dokter,"Hidupmu tak lama lagi,". Di umur 20 tahun, ia mengidap penyakit aneh, tubuhnya lumpuh total. Sejak saat itu, tiba-tiba ia menjadi jenius luar biasa. Lulus doktor dari Cambridge, dan sekilat meraih gelar tertinggi para ilmuwan sains di tanah kuasa Ratu Elizabeth. Sekarang, namanya bersanding persis di samping si brilian, Isaac Newton.

Hawking lahir di bawah gemuruh pesawat tempur Jerman. Orang tua Hawking yang mengimani Karl Marx di atas jasadnya di Highgate, kemudian segera pindah ke Oxford sebelum kelahiran Hawking. Nazi berbaik hati, berjanji tidak membumi-hanguskan Oxford dan Cambridge atas keluhuran nilai-nilainya. Akhirnya Hawking lahir, tepat saat peringatan kematian Galileo, dan tepat 300 tahun kelahiran Newton. Banyak orang yakin, ia memang lahir ke dunia untuk melanjutkan kiprah dua ilmuwan besar itu.

Ayah-ibunya mengajari anak-anaknya dengan gaya intelektual ortodoks. Rumahnya dipenuhi rak-rak buku, bahan bicaranya selalu serius, kaca mata tebal, dan gayanya sangat eksentrik. Kegiatannya tidak jauh-jauh dari analisis. Bahkan Hawking kecil tidak mengikuti arus sebagaimana anak kecil lainnya. Ia memilih menjadi pengagum setia filosof besar Inggris Bertrand Russel dan negarawan masyhur Mahatma Gandhi.

Sekali lagi, Hawking kecil bukan seorang jenius. Dalam beberapa hal, ia masih sulit beradaptasi. Ia sering telat menanggapi humor. Ketika orang lain tertawa terbahak-bahak, ia baru tertawa lima menit kemudian. Ia pernah membuat permainan untuk dipecahkan oleh teman sebayanya. Ternyata, hanya Hawking yang mengerti permainan itu, dan semua temannya pergi meninggalkan. Hidupnya sendiri, tak ada teman yang mau dekat dengan seorang dengan keterbelakangan mental. Tapi Hawking tidak pernah menyerah.

Terlepas dari ketidaksempurnaannya, ia menggoyang cara berpikir orang banyak. Ketika kita masih berjalan sombong di muka bumi,Hawking dengan kursi rodanya amat lincah bermain melintasi Galaksi yang kata Edwin Hubble selalu mengembang seperti kerumunan titik pada balon tertiup.

Kalau Einstein dianggap sebagai pembuka tabir asal muasal alam semesta, maka Hawking yang menata cerita di dalamnya agar lebih rapih terlihat. Ia sangat yakin, logika matematika-fisika selalu mampu menjawab semua pertanyaan. Bahkan pula mampu meramal skor pertandingan sepak bola antara Brazil melawan Indonesia. (Wah…kalau ini sih, saya juga bisa nebak, hehe).

 
***
Bagi saya, Hawking adalah seonggok mayat yang baru saja meluncurkan sebuah buku hebat. Mati syarafnya, lumpuh otaknya, tak mengekor pada kematian intelektualitasnya. Saya (dan mungkin anda) dibuat malu sedemikian rupa, bagaimana mungkin seorang yang mengurus dirinya sendiri saja tidak bisa, sudah berpikir tentang bagaimana alam semesta bekerja melayani penghuni di dalamnya.

Mungkin kita harus bersepakat dengan perkataan Einstein, "Imajinasi jauh lebih berharga dari ilmu pengetahuan itu sendiri,". Dan, selama saya bercinta dengan berupa macam buku, saya mendapati simpulan, orang-orang besar selalu pandai berimajinasi dan tekun merealisasi.

Saat ini, ia tetap aktif menjadi dosen. Bahkan tiap bulan, jadwalnya padat berpergian lintas benua. Ia bekerja bersama komputer yang mampu membaca komunikasi gerak matanya, lalu kemudian dicerna cukup lama dalam prosesor, pada akhirnya keluar untaian kata-kata dari mikropon. Hawking membutuhkan waktu 5-10 menit untuk menyusun kata-kata, jawaban dari satu pertanyaan. Kecepatan membacanya hanya 15 kata per menit. Memang agak membosankan, tapi tiap telinga sabar menunggu fatwanya tentang alam semesta.

Kalau kita yang memandangnya saja merasa ngilu, bagaimana dengan Hawking yang menjalankannya? Toh, walaupun ia suka berpikir rumit, untuk hal ini (penyakitnya), ia tak begitu ambil peduli. "Satu kesulitan dalam hidup saya adalah belajar aksen orang Amerika," guyonannya. Maklum, komputer yang membantunya bicara di-setting beraksen Amerika oleh pembuatnya.

Dengan kecacatan itu, mengeluhkah Hawking? Jelas. Ia sempat berpikir, penyakitnya adalah pembunuh terkejam dunia kosmologi. Ia hampir-hampir menyerah dengan keadaannya yang semakin seperti mumi hidup. "Tapi kemudian saya sadar," katanya. "Dunia tidak akan pernah mau mengenang orang-orang yang hanya bisa bersedih atau marah".

Sekarang, ia didaulat sebagai manusia paling cerdas di muka bumi. Lantas apa tanggapannya? "Itu sangat memalukan,". Katanya, itu hanya sampah yang dibuat-buat media. Gila! ini perkataan paling keren yang pernah saya dengar. Bahkan, Si Cacat ini tahu persis kalau dalam dunia media modern, "rubbish news" paling dijunjung tinggi. Hawking berkata seperti seorang praktisi komunikasi-massa saja.

"I\’m disabled, but i\’m no genius," tutupnya.
 
***
Dari semua organ tubuh yang tampak, mana yang paling anda tangisi bila itu hilang dari anda?

Kalau saya, hanya minta mata saya tetap bugar. Saya tidak tahu harus bagaimana, kalau Tuhan jadi ambil mata saya. Saya tidak butuh wajah putih bersih tanpa jerawat, hidung mancung, rambut modis, bibir sensual, atau bokong gitar spanyol (tenang, saya masih lelaki tulen). Saya tidak pula minat pada mengerasnya otot trisep dan bisep atau berpikir bagaimana perut saya menjadi "enam kotak" sehingga tampak seksi.

Saya mencintai mata saya. Bukan karena mata jereng saya yang terlihat fotogenik bila dijepret dari jarak lima kilometer, tapi karena kalau ia pergi, rasanya dunia turut lari dari saya. Dan, saya tidak akan mampu mengejarnya.

Sedangkan anda?

***
Hatta, mumpung ia belum hilang dari diri kita, maka pergunakan sebaik-baiknya.

“ALIENS ARE OUT OF HERE,” kata Hawking. Kira-kira, siapa ya aliennya? Kalau menurut saya, alien itu manusia-manusia yang mengasingkan diri, menyerah pada kekurangan-kekurangan yang dianugerahkan Tuhan padanya.

 
Bahtiar Rifai Septiansyah
Peraih nilai "E" pada Mata Kuliah Fisika Dasar I. Jadi, agak wajar kalau ada ungkapan atau teori yang salah saya sebutkan. Mohon diluruskan.   

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Hawking