Sepanjang hasil otak saya menghubungkan-hubungkan, pernyataan itu sepertinya tidak terlalu salah, meskipun di satu sisi saya berharap pernyataan itu juga tidak sepenuhnya benar. Menurut saya, kalau sudah kenal orang-orangnya secara personal itu mudah dibedakan, tapi kalau referensinya hanya IP saja, siapakah yang berani menjamin siapa lebih pintar dari siapa?
Semuanya masih tergantung faktor X yang merupakan perpaduan antara banyak faktor seperti dosen, jam masuk kuliah, teman sekelas, yang mana semuanya adalah variable yang tidak bisa kita kontrol dalam perkuliahan, atau kalau dalam kancah persepak-bolaan biasa di sebut faktor non-teknis. Sedangkan di kalangan mahasiswa faktor ini lumrah disebut keberuntungan. Dan layaknya faktor non teknis lainnya yang tidak bisa dikontrol oleh diri kita sendiri maka biarlah yang Maha Mengontrol (Mengatur) yang melakukannya. Kita hanya tinggal berdoa sungguh sungguh pada-Nya. Dan kalau ada waktu yang mustajab (manjur) untuk berdoa mengenai hal hal seperti ini saya kira adalah sekarang (sebelum perwalian dengan dosen wali).
Salah satu faktor yang sering menjadi perbincangan oleh mahasiswa adalah dosen. Maklum, menurut saya kalau faktor keberuntungan itu dianggap 100% maka rasio dari faktor dosen ini akan menempati nilai tertinggi sehingga akan selalu mendapatkan perhatian khusus dari mahasiswa. Oh ya, agar tidak salah penafsiran, yang saya maksud dengan faktor dosen ini meliputi berbagai parameter seperti metode penilaian, cara mengajar, pemberian dan rasio penilaian tugas, serta penilaian absen.
Sepanjang masa perkuliahan yang masih berjalan selama tiga semester ini setidaknya saya bisa mengelompokkan dosen menjadi tiga kategori berdasarkan metode penilaian. Pertama yang menjadi favorit adalah dosen yang akan senang hati memberikan nilai bagus untuk semua anak didiknya. Kedua, dosen yang memberikan nilai sesuai dengan kemampuan anak didiknya, ini masih bisa dibedakan menjadi, dosen dengan standard tinggi dan yang sedang sedang saja. Poin ketiga inilah yang paling susah, dosen yang penilaiannya sulit diterka. Ini adalaha tipe dosen yang saya sebut dengan penilaian random. Saya dan teman teman saya membayangkan dosen seperti ini menggunakan metode opyokan seperti dalam arisan untuk memberikan nilainya.
Kalau kertas yang keluar A ya A kalau yang keluar B ya B. Tentu saja cara seperti arisan ini hanya imajinasi saya dan teman teman karena frustasi saat berhadapan dengan dosen yang nilainya bisa dibilang acak-acakan. Sejujurnya, metode pemberian nilai yang dipakai oleh dosen seperti itu masih menjadi misteri dan hanya Tuhan (dan dosen itu sendiri tentunya) yang tahu. Teman saya menyarankan banyak-banyak berdoa saja kalau berhadapan dengan dosen macam itu.
Sekarang kita tinjau kasus, dalam masa persiapan seperti saya , biasanya satu mata kuliah dibagi menjadi 3-4 kelas yang berarti ada 3-4 dosen. Sekarang, kalau tiga dosen tadi termasuk dalam tiga kategori yang berbeda seperti yang telah saya uraikan, alhasil untuk satu mata kuliah itu saja membedakan antara mahasiswa yang benar-benar bisa dan hanya mengandalkan keberuntungan semata akan sulit. Dan mungkin akhirnya perbedaan kemampuan antara mahasiswa satu dan lainnya akan menjadi kabur, dan ada salah satu pihak yang merasa dirugikan.
Tapi saya sendiri tidak bisa menyalahkan cara penilaian dosen untuk hal-hal yang mungkin kurang adil untuk sebagian teman-teman mahasiswa. Karena kita sendiri kadang juga tidak adil pada diri kita sendiri, asal dapat nilai bagus, entah itu sudah sesuai dengan kemampuan yang kita miliki atau usaha yang kita lakukan atau tidak, kita akan dengan sukacita menerimanya tanpa banyak komentar dan mempertanyakan asal muasal nilai tersebut.
Tapi kalau nilai yang didapat jauh dari kata baik sepertinya lebih mudah untuk mempertanyakan asal muasal munculnya nilai tersebut, daripada menginstropeksi diri mengenai apa saja yang sudak dilakukan selama perkuliahan mata kuliah itu. Tentu saya tidak mengganggap semua mahasiswa seperti uraian saya di atas, mungkin hanya sebagian (entah berapa) dan termasuk juga saya. Sebab itu, saya menggunkan kata “kita†karena yang dimaksud bisa saja saya dan sebagian dari anda yang membaca.
Kalau saya analisa sendiri, sebenarnya istilah keberuntungan dalam nilai adalah istilah yang kita gunakan untuk menjelaskan asal muasal munculnya nilai tersebut ketika asal muasal nilai itu sendiri tidak diketahui. Ya anda tahu, seperti ketika kita atau orang orang dahulu sering menyebut hal hal yang tidak atau belum bisa dinalar cara kerjanya sebagai hal tersebut terlihat ajaib. Jadi ini semua, menurut saya hanya masalah transparansi penilaian, saya percaya tidak ada dosen yang menilai semaunya sendiri, pasti semua memiliki pertimbangan masing-masing. Yang ada hanyalah dosen yang sering tidak transparan dalam penilaian sehingga kita sebagai anak didiknya tidak tahu asal muasal nilai yang kita terima sehingga merasa penilaian yang dihasilkan kurang adil.
Salah siapa? Bisa dosen dan bisa mahasiswa. Yang tidak transparan jelas dosen karena beliau yang memberikan penilaian, dan ini sedikit parah, selama kuliah, saya ingat baru tiga mata kuliah yang nilai UTS-nya dibagikan. Tapi sebenarnya kita juga mempunyai kesempatan (dan kemampuan) untuk mengubah cara itu. Caranya? lewat IPD (Indeks Prestasi Dosen), tentu kita semua sudah mengisinya, tapi seberapa besarkah dari kita yang mengisi secara serius. Saya masih sering melihat teman teman saya mengisi IPD sekenanya, bahkan saya sendiri kadang juga malas karena banyaknya poin yang harus diisi.
Padahal kalau anda pernah mencermati ada satu pertanyaan yang berhubungan dengan transparansi nilai. Kira kira begini “Apakah dosen membagikan hasil tugas atau ujian?â€. Dan ketika kita mengisi sekenanya kita sudah melewatkan satu kesempatan untuk menuntut transparansi nilai. Kadang aneh juga kalau kita bilang dosen tidak boleh menilai seenaknya sendiri padahal kita hanya mengisi paling tidak 16 form saja (dengan asumsi delapan mata kuliah, setiap mata kuliah satu form untuk dosen dan satu untuk mata kuliah itu sendiri) sudah malas, padahal dosen harus menilai kurang-lebih 30 mahasiswa (kalau hanya mengajar 1 mata kuliah saja). Terlepas IPD dihiraukan dosen atau tidak, saya rasa mengisi IPD dengan sebenar-benarnya adalah penting.
Atau kalau mau hasil yang lebih instan ya minta saja nilai setiap setelah diadakan tugas, kuis, ataupun ujian. Sesuatu yang juga tidak pernah saya lakukan. Suatu saat ada dosen yang bertanya “ Nilai UTS-nya dibagikan atau tidak?†Dan ada beberapa mahasiswa yang menjawab tidak usah, alasannya karena takut nilai yang dibagikan jelek. Susah.
Mungkin jika hal-hal itu bisa dilakukan tidak perlu lagi ada kontroversi soal nilai yang selalu terjadi setiap akhir semester.
***
Tidak lama kemudian ada senior lagi yang ikut ngobrol, senior yang pertama bertanya “kalau kamu masuk yang golongan mana, bisa atau beruntung ?â€. Dalam hati saya menjawab “Kalau aku mending ilmu dapat nilai ya dapatâ€
Satu pesan saya sampaikan untuk teman-teman yang nilainya sudah keluar dan nilainya tidak memuaskan. Ingat, kuliah itu yang utama menuntut ilmu, bukan menuntut nilai apalagi menuntut dosen memberi nilai bagus. Dan kadang dalam setiap usaha yang terpenting adalah perjuangan teman-teman untuk mencapainya, bukan capaiannya. Bukan “the end justify the mean†, saya percaya tujuan yang baik harus dicapai dengan jalan yang baik pula.
Buat Bapak/Ibu dosen, mohon lebih transparan lagi ya Pak/ Bu.
Shaumi Arif Al Faizin
Mahasiswa Teknik Elektro
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)