ITS News

Kamis, 14 November 2024
06 Februari 2011, 23:02

Tionghoa

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sayangnya, toko yang tutup itu milik kawan sekelas saya. Ia berkulit kuning dengan perawakan yang agak besar. Sudah seminggu terakhir, ia tak masuk sekolah. Kabarnya, ia dan keluarganya mengungsi pada suatu tempat. Selepas berita di televisi tentang kerusuhan di berbagai tempat, sekolah saya meliburkan diri. Sebagai anak berumur sepuluh tahun, tentu saya dan kawan-kawan senang-senang saja. Memang, anak kecil mana yang peduli tentang politik? Lebih asyik memprediksi aksi satria baja hitam pada episode selanjutnya.

Dalam memori saya waktu itu, beberapa kelompok warga berjaga di komplek rumahnya masing-masing. Semua orang tidak ada yang berani keluar. Karena kabarnya, tiap barang ”mewah” (mobil dan motor) akan dibakar bila melintas di jalan. Lebih lumayan kalau motornya saja yang dibakar. Dalam hal ini, pemiliknya juga dibakar hidup-hidup. Hukum tiadalah berlaku. Semua barang dianggap hak milik pribadi, walau sebenarnya masih tersimpan rapih di etalase toko. Rasa curiga selalu menyelimuti. Semua orang mengira-ngira, ini intel polisi, maling kelas teri atau sekedar warga numpang permisi?

Kembali pada masalah, apa yang terjadi saat itu? Mengapa semua orang memasang tanda semacam legitimasi bahwa “saya ini pribumi”? Bukankah kawan saya yang bermata sipit itu, lahir dan besar di rumahnya yang juga masih teritori Indonesia? Walaupun sehari-hari di tengah keluarganya ia berbahasa Cina dengan dialek Hokkian, tapi bersama kawan sekelasnya, ia tetap berbahasa Indonesia. Bahkan sedikit-sedikit pandai mengumpat dalam bahasa Sunda campuran Betawi.

Belum pribumikah ia? Walau ia kadang mengejek saya dengan sebutan “item jelek!”, toh saya pun bisa membalasnya dengan kalimat “sipit pelit!”. Ah, janganlah cepat naik pitam dan janganlah berlagak suci. Pergunjingan hal yang manusiawi. Lagipula, coletahan itu cuma candaan khas bocah-bocah cilik. Di balik pertengkaran tadi, ternyata, kita bisa kok duduk rukun berbagi bangku saat mengerjakan (menyalin) PR di sekolah. Sekali lagi manusiawi.  

Etnis Cina bukanlah pendatang baru, walau ia bukan juga asli dari tanah ini. Bahkan sejak zaman Kerajaan Kutai, mereka sudah berdagang di Kalimantan, lima abad sebelum kedatangan bangsa Eropa. Dikisahkan, ada empat suku bangsa yang memang berjiwa pengembara: Eropa, India, Cina, dan Arab. Era agraris telah membawa empat bangsa yang tidak punya potensi agraris itu bermigrasi mencari tempat baru. Maka dipilihlah Asia Tenggara. Cina berhasil menggeser pengaruh India, walau pada akhirnya bangsa Eropa mampu melibas semuanya. Tapi kemudian realita membuktikan, hanya bangsa Cina yang mampu berintegrasi “dengan nyaman” di negara-negara Asia Tenggara. Betapa adaptifnya mereka.

Ketika Belanda datang, aturan segregasi diterapkan mencolok. Seperti halnya zaman Nelson Mandela dan politik apharteid, negeri ini juga dibagi tiga kelompok masyarakat: kulit putih, perantauan, dan pribumi. Perantauan sendiri dibagi tiga bagian: India, Arab, dan Cina. Dalam hal ini, India tak begitu memainkan peranan penting, sebab jumlahnya yang sedikit. Sementara Arab lebih mudah melebur atas dasar kesamaan kepercayaan. Tinggalah etnis Cina yang memang berjumlah paling banyak, memainkan kendali sebagai penghubung pribumi dan kulit putih.

Bilamana kalangan aristokrat pribumi memainkan peranan sebagai birokrasi Belanda, etnis Cina justru diberi kemudahan yang amat luas dalam bidang ekonomi. Mereka dijadikan tameng oleh Belanda untuk menagih pajak pribumi, mengurusi cukai pelabuhan, dan kegiatan administratif lainnya. Selain itu, dalam perusahaan Belanda, tingkatan gaji dibagi sesuai klasifikasi kebangsaan. Dan mereka diberikan tempat sebagai mandor-mandor bagi kaum pribumi.  

Belanda juga memberi monopoli lisensi ekspor-impor, distributor tunggal, aturan bebas pajak, dll. Di satu sisi menciptakan ketergantungan ekonomi pada etnis Cina, selain itu juga untuk memupuk pertengkaran rasial. Sehingga, pada masa itu pengaturan harga pasar dilakukan etnis Cina dengan mudahnya. Belum lagi, kongsi dagang atas dasar etnis ini dinilai menjalankan persaingan tidak sehat. Dimana bentuk-bentuk usaha pribumi yang dianggap saingan, segera dikubur hidup-hidup.

Ketika H.Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam yang kemudian menjadi sangat ditakuti pihak Belanda, tak lain sebuah bentuk protes atas monopoli ekonomi oleh etnis Tionghoa. Samanhudi mampu mengartikulasikan dua poin paling ditakuti: masalah ekonomi dan sosial. Tapi kemudian, analisis Soe Hoek Gie dalam buku Lentera Merah mengabarkan. Semenjak masuknya berita Revolusi Oktober 1917, sentimen anti Cina itu menghilang dan Sarekat Islam menjadi musuh resmi  Belanda. Di dalamnya pula etnis Cina bahu-membahu bersama pribumi melawan imperialisme.

Pada masa pra-kemerdekaan, Soekarno meyakinkan asas persatuan nasional dari berbagai suku. Ia menyindir etnis Tionghoa sebagai kaum Kosmopolit. Kosmopolitanisme berarti menganggap semua tanah dan hak kekayaan di dalamnya adalah milik bersama, tanpa mempedulikan alasan historis (borderlessness). Singkatnya, berbeda dengan falsafah mayoritas Indonesia, seperti misalnya falsafah rantau orang Minang, “Dimano bumi dipijak, disinan langit dijunjuang. Dimano sajo kampuang dihuni, disinan pulo adaik dipakai,”. Memang, itu sekedar usaha-usaha Soekarno untuk membaurkan Pecinan dengan kampung-kampung pribumi.

Mungkin, yang jadi perbedaan antara bentuk merantau suku-suku bangsa Indonesia dengan etnis Tionghoa (pada abad-abad lalu) adalah keterikatan untuk balik ke tanah leluhur. Etnis Tionghoa cenderung merantau untuk tidak kembali. Seakan seperti sebuah keharusan dalam tahapan kehidupan, hidup mereka menyebar. Sementara dalam beberapa paham merantau etnis lokal, kecenderungan untuk kembali amatlah kuat. Begitulah pepatah Melayu berpesan,”Hujan batu di negeri sendiri lebih baik dari hujan emas di negeri orang,”.

Saya pikir, suku-suku pengembara selalu berpaham borderlessness layaknya paham “Britain Rules The Waves”. Jua sebagaimana Tordesillas mengizinkan Spanyol dan Portugis membagi dunia seperti kue tart dipotong tengahnya. Orang Belanda sendiri, jauh hari sebelum Inggris dan Perancis menjadi penjajah terbesar era modern, sudah sanggup menggusur peran suku bangsa Viking dan bersamaan euforia kemenangan Spanyol atas pendudukan Barbar, berlomba-lomba menguasai dunia. Kalau dalam lingkup lokal, beberapa suku memiliki kemampuan pengembaraan sejak zaman pra-penjajahan seperti Bugis, Batak, Bawean, Minang dll. Semestinya, mereka juga punya prinsip borderlessness, walau dalam dosis lebih kecil.

***  
Mei 98 memang munafik tanpa krisis moneter. Penjarahan yang terjadi bukanlah berlandaskan unsur politis murni. Ini soal perut. Dan sayangnya, rentang ekonomi itu terlanjur lebar dan vulgar. Mau diakui atau tidak, etnis Cina jadi pusat kemarahan pada waktu itu. Berhubung juga, beberapa kongsi perusahaan besar, grosir-grosir vital, sekaligus jejaring perbankan (kebetulan) dikuasai etnis Cina.

Akibatnya, kerusuhan ini berubah menjadi pemberangusan rasial. Padahal sebenarnya, yang mesti diincar itu seperti gurita “bermarga” Salim, Riady atau Widjaya, suksesor Edi Tansil, dan jangan lupa, pengusaha-pengusaha “pribumi” kelas kakap yang (dulu) bermesraan dengan penguasa. Semua dipukul rata, walau nyatanya, jauh lebih banyak etnis Cina yang berdagang dengan kejujuran. Lagipula, etnis lain juga tidak serta merta bersih dari dosa.   

Memang, apa yang salah dari warga keturunan di Indonesia? Kalau dibilang majikan Cina tak peduli pada buruh-buruh pribumi, saya malah pernah menyaksikan dimana sang majikan membuka toko pukul enam pagi, dan menutupnya pukul sembilan malam. Sementara, para pekerjanya masuk pukul delapan pagi, pulang pukul lima sore. Saya juga pernah dengar prinsip,”tak boleh memakan dagangan sendiri”, yang itu tidak dilakukan orang pribumi. Inikah bentuk kikir? atau memang sekedar strategi ekonomi?

Saya pernah mendengar kisah generasi pertama Cina Perantauan. Saya tak bisa bayangkan, bagaimana nekatnya mereka ke Indonesia. Berangkat dari selatan Cina, terombang-ambing badai di kisaran Laut China Selatan yang amat terkenal ganas, hanya dengan sebuah Jukung (perahu kecil)! Bahkan seluruhnya tak bisa berbahasa Melayu (sebagai lingua franca saat itu) juga sebagiannya hanya bermodal baju di badan. Mungkinkah karena terinspirasi kalimat terkenal Master Kong, “Xia Hai!”? Melompatlah ke laut!

Mungkin kita harus sepakat pada tendensi Lee Kuan Yew, Bapak Bangsa Singapura. Ia pernah menyindir kehidupan orang Melayu yang terlalu santai. Lebih suka duduk-duduk di depan rumah membahas sesuatu yang tidak penting, daripada bekerja keras di pasar, mengais untung. Tendesi yang langsung dibalas Mahathir Mohammad, Pemimpin Besar Malaysia, dengan menerapkan kebijakan konservatif pro-pribumi. Hasilnya? Semua orang, tanpa memandang ras, toh bisa berkembang bila diberi kesempatan dan perlakuan yang sama.  

Saat ini kita sedang menikmati kebebasan. Semua orang punya hak lebih luas bahkan cenderung tanpa batas. Yang pasti, tak ada sesuatupun di dunia ini yang bersih dari pertentangan. Detik ini, saya sudah mulai merasa, bahwa kebebasan yang ada membuat saya bingung akan arti kebenaran. Akhirnya, bebasnya kita bersifat lahiriah, dimana kebenaran yang kita cari selama ini, malah jadi perdebatan khalayak luas. Gap sosial meluas bukan lagi perkara suku saja. Tapi lebih pada hal pragmatik, seperti ekonomi, habitat hidup, keragaman prinsip hidup sampai pada kerancuan interpretasi “kebenaran” itu sendiri.

Semoga bangsa ini bisa hidup berdampingan. Sudah tidak zamannya lagi stigmaisasi, apalagi pendidikan makin berkualitas. Sehingga tidak ada lagi rasa curiga pada suku-suku tertentu. Sebab, saya punya kawan baik dari berbagai suku bangsa. Kami bergaul sebagaimana kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial. Bila ada yang negatif dari seseorang, tak bisa serta-merta di-general-kan pada seluruh keluarga besarnya. Tentu juga, saya berkawan dengan orang-orang “menyebalkan” yang berasal dari suku saya sendiri. Sekali lagi manusiawi.

Bahtiar Rifai Septiansyah
Gong Xi Xing Nien!

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Tionghoa