ITS News

Senin, 02 September 2024
07 Februari 2011, 00:02

The Great Speaker

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Kennedy, Martin Luther, Soekarno, dan termasuk presiden termuda Amerika Serikat, Barack Obama. Mereka adalah nama-nama yang mendapat pengakuan sebagai orator-orator ulung. Kemampuan mereka dalam berkomunikasi dengan publik telah diakui, dan tak hanya itu, mereka juga telah dikenal dengan ciri khas mereka masing-masing.

Namun ternyata ada nama lain yang juga diakui sebagai the great speaker. Dia adalah Albert Einstein, seorang ilmuwan besar. Salah satu pidatonya saat perang dunia kedua yang berjudul “War is number one, but peace is not” dinilai sebagai salah satu pidato terbaiknya.

Seorang ilmuwan sekaliber Einstein ternyata mampu menjadi pembicara yang hebat, hal itu yang mengejutkan saya. Karena selama ini kita selalu menilai bahwa seorang yang berlatar belakang eksak kebanyakan lemah dengan kemampuan-kemampuan seperti itu. Namun pengakuan tersebut rupanya membuktikan bahwa stigma miring itu harus mulai kita singkirkan
 
Saya kemudian teringat dengan sambutan penulis di buku 25 Mahasiswa Inspiratif. Pada sambutan itu, Bahtiar menuliskan bahwa buku tersebut hadir untuk mendobrak mindset seorang mahasiswa yang berlatar belakang teknik.

Selain itu pula, ia juga menyebutkan bahwa sebuah kesan telah tertingggal selama berpuluh-puluh tahun bahwa mahasiswa teknik (eksak) cenderung kaku, tidak dinamis, lemah soft skill, dan berbagai stigma mengakar. Diakui atau tidak, stigma itu benar adanya.

Dan kini saatnya kita mulai harus bergerak dan mengkis stigma mengakar tersebut. Salah dari awal memang, jika kita mengingat sistem pengajaran di Indonesia yang lebih mengajarkan siswa untuk pasif, dan tidak aktif. Mendengarkan, dan tidak berani berbicara.

Sekalipun menjadi great speaker memang tidak mudah, tapi semua itu masih dapat dipelajari. Jika Einstein yang menghabiskan tiga per empat masa hidupnya di lab saja bisa jadi great speaker, kenapa kita tidak?

Yang sangat penting saat berkomunikasi dengan publik adalah suara yang lantang, dan intonasi serta artikulasi yang jelas. Selain terlihat lebih tegas, suara yang lantang kiranya dapat lebih meyakinkan pendengar dengan apa yang kita bicarakan. Kemudian bahasa tubuh yang santai. Para pembicara handal selalu menggunkan bagian-bagian dari tubuhnya untuk ikut berbicara, seperti menggerakkan tangan. Interaksi itu lebih memperlihatkan kesungguhan kita dalam menyampaikan dan terasa lebih santai dari sekedar berdiri dengan tangan terlipat di balik podium.

Melibatkan pendengar saat kita berpidato juga merupakan unsur yang sangat penting. Melibatkan pendengar dapat dilakukan dengan eye contact, atau membicarakan topik-topik sederhana sebagai selingan yang dapat diterima dengan baik oleh pendengar.

Tentu kita masih ingat saat  kuliah umum Obama di UI, dimana Obama menyebutkan kata sate, bakso, enak, dan beberapa kata lain. Kata-kata tersebut sangat familiar dengan pendengar, alhasil  mereka pun merespon dengan baik.

Yang terakhir sekalipun masih banyak lagi jika ingin dipelajari adalah Otentik. Speech yang kita sampaikan harulah tulus dari dasar hati. Dari pemikiran kita sendiri dan bukan dari pemikiran orang lain. Tidak hanya sekedar menyampaikan fakta, tapi juga sebuah pemikiran. Saya mendapatkan tips ini dari acara talkshow di stasius televisi swasta yang dibawakan oleh Daisy Anwar.
   
Kembali ke buku 25 Mahasiwa Inspiratif, disana tertulis “Zaman telah berubah, diperlukan ilmu lintas disiplin untuk turut pula merubah zaman”. Semoga stigma-stigma yang ada tidak memenjarakan kita sebagai orang-orang yang lemah soft skill. Zaman telah berubah.

Seorang pembicara yang hebat dapat memberi inspirasi. Mengajak orang lain untuk berpikir lebih terbuka. Ia didengarkan karena ia pantas didengarkan.

Aldrin Dewabrata
Mahasiswa Jurusan Teknik Sistem Perkapalan

 
 

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > The Great Speaker