ITS News

Senin, 02 September 2024
14 Februari 2011, 08:02

Propaganda

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Silvio Berlusconi, kakek tua seumuran Presiden Mesir terguling yang masih sama-sama terlihat klimis. Duduk di depan kapel, melambaikan tangan di stadion Guiseppe Meazza. Pertandingan sepak bola tak akan dimulai tanpa kehadirannya. Sama seperti di stadion lain, Stamford Bridge juga tak akan bergemuruh bila kursi juragan minyak dari Rusia belum terisi, begitu pula Delle Alpi yang tak akan berapi-api bila sebuah Lambhorgini model terbaru belum terparkir rapih.

Lupakan soal sepak bola, Berlusconi lebih dari itu. Perdana menteri paling kontroversial dan paling sukses sepanjang Italia menjadi republik. Hanya bisa disandingkan dengan Benito Mussolini, kawan akrab Hitler. Pengamat bilang Berlusconi seperti belut. Walau hobinya berpesta bersama wanita muda, rakyat Italia tetap memujanya. Meski perusahaannya bermasalah, ia tetap mampu mengalahkan serangan lawan politiknya. Atau, dimana berulangkali terancam masuk penjara, toh…ia juga mampu merebut kembali kursinya.

Suatu kali, Berlusconi dilempar sebuah patung besi. Meluncur keras ke arah dahi. Esoknya, Media Italia berlomba memasang fotonya di halaman depan. Ia nampak heroik saat memegangi bibirnya. Bajunya bersimbah darah! Seminggu kemudian media Italia kembali heboh. Dengan wajah penuh kasih, Berlusconi memaafkan si pelempar. Lakonnya bak Sri Paus Paulus saat memaafkan Ali Agca, anak muda yang mencoba membunuhnya pada suatu siang di depan halaman Santo Petrus. Rakyat dibuat lupa, kalau siangnya, Berlusconi baru saja check in bersama beberapa wanita muda.

Sebagian rakyat sebenarnya sudah geram. Terutama mereka yang hidup di selatan, di bawah angan-angan kesuksesan ”mafioso” Robert De Niro atau Al Pacino. Gelombang protes berbaris-baris menuju Roma, Milan, dan Venesia. Selama negeri bagian utara terus menerus dimanja, maka kekisruhan segera pecah. Tapi, sekali lagi, ruh malaikatnya keluar dari ubun-ubun yang semakin sepi rambut. Setiap protes itu dibungkam dengan gelontoran uang. Demonstrasi mereda, rakyat dikibuli. Uang yang dibagikan itu, ternyata hasil laundry.

Intinya, ia adalah aktor ”protagonis” terhebat!

Berlusconi sendiri menguasai jaringan media dimana setengah penduduk Italia menjadi penikmatnya. Ia mengingatkan saya pada TVRI saat Orde Baru berjaya. Saya masih ingat, ketika kecil, TV di rumah hampir dipastikan menyala pada pukul sembilan malam. Apa lagi kalau bukan, menyaksikan “Dunia Dalam Berita”. Setiap hari, almarhum Soeharto selalu tampil menjadi berita utama. Entah ia sedang berpidato, sedang memamerkan hasil panen petani, menggendong bayi imunisasi, atau meresmikan sebuah gedung. Wajar kalau ia dijuluki “Smiling General”. Karena memang pada setiap penampilannya di TV, ia selalu tersenyum riang.

Edward Bernays, pernah berkata delapan puluh tahun lalu, “We are governed, our minds are molded, our tastes formed, our ideas suggested,”. Dan, kita tidak tahu siapa yang memberi komando itu. Dalam iklim demokrasi, kebebasan itu hal yang semu. Kita tidak sadar, kalau masyarakat ini ternyata lahir dari rahim sugesti. Persetan tentang kemandirian, sebab saat ini kita adalah hamba sahaya dari seorang juragan yang tak tampak dan tak banyak.   

Propaganda bicara tentang “Who’s who”. Siapa dibalik siapa. Hal yang sepele, seperti mengapa kita memilih makanan “A” daripada “B” saat berkunjung ke restoran? Mengapa kita memilih baju model ”Z”? Mengapa pilih laptop model “X”? Semuanya tak lepas dari pengaruh iklan. Iklan bisa berbentuk pemberitahuan, gurauan, arahan, ajakan, hasutan, sampai ancaman. Pikirkan kembali keputusan-keputusan kita. Adakah itu murni pemikiran kita sendiri? Impossible! Jangan kira pidato-pidato pejabat kita yang mempesona itu, mereka yang menyusun seorang diri. Paling-paling pembantu-pembantunya.

Jello Biafra, vokalis band legendaris era 80-an, pernah berpidato saat aksi protesnya di depan sidang WTO. “Don’t hate the media, become the media!”. Ia menganjurkan setiap orang untuk mempunyai media berekspresi. Dari kinerja media yang kelihatannya sepele, sebuah hal bersejarah bisa terjadi. Mulai dari menyadarkan masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya, sampai usaha memicu perang dunia.

Kebanyakan kita berkerut dahi ketika membaca koran. Entah beritanya yang memang murahan, atau karena memang kita hanya bisa mengelus dada saat membacanya. Tapi yakinlah, media seperti dua mata pisau. Kecuali jika kita berencana mengabdi sebagai pertapa, silahkanlah membenci propaganda. Tapi bila kita hidup di dunia nyata, berbaik-baiklah pada media. Media bukanlah sekedar koran, majalah, website atau facebook. Tapi, ia adalah identitas. Jembatan keledai bila orang lain yang ingin mengenal kita.

“Siapa sih Pak Soleh?” tanya seseorang
“Oh, dia itu tokoh di desa ini. Orangnya dermawan, suka membantu orang lain, ramah, jujur. Itu rumahnya yang tingkat tiga. Yang di depannya ada mobil dua bagus-bagus,” balas seorang tetangga.
“Terus, Cak Soleh itu siapa?” tanyanya lagi.
“Wah, dia itu pencoleng nggak tahu diuntung. Orangnya menyebalkan, tidak disukai masyarakat sekitar sini. Omongannya kasar, gayanya keterlaluan, dan ia tak tahu berterima-kasih,” kata yang lain.

Manusia boleh saja berpendapat. Namun janganlah lekas percaya, ia tak lebih dari sebuah propaganda. Tak satupun fakta yang berani berbicara sejujur-jujurnya. Pasti tetap ada yang disembunyikan. Bahkan meja hijau adalah propaganda (kadang penuh kebohongan) tapi tinggi di mata hukum. Sekali lagi, kita tersugesti, termakan persepsi, tergerus tendensi, menyetujui opini, dan tak akan pernah mampu menghindari. Sekarang, bagaimana caranya kita mencari yang tersembunyi?

Maka, salah satunya dengan mengumandangkan perang. Be The Media!

***
Saya punya hobi mampir ke mading-mading jurusan. Yang saya cari bukan tempelan pamflet promosi penuh warna, yang memang propaganda. Tapi, saya ini memang hobi membaca artikel-artikel pemikiran kritis teman-teman mahasiswa. Sayang disayang, mimbar-mimbar bebas itu mulai langka, selebaran-selebaran lepas itu mulai menghilang, diskusi-diskusi alot itu mulai empuk, dan kita menjadi dungu.

Saya punya satu parameter, organisasi mahasiswa bisa dikatakan berkualitas atau tidak. Acuannya tentang, mereka punya media “pelampiasan” atau tidak. Bagaimanakah munculnya ide-ide cemerlang bila panduan telah hilang. Bagaimana diskusi bisa berisi bila kita tak mau meneliti. Bagaimana bisa berekspresi bila kita terkurung dalam terali besi. Bagaimana mau menyebar pemikiran, bila kita tak tahu apa yang sedang kita pikirkan. Apa kita mau pergi ke bulan dengan berjalan kaki?

Yang kita butuhkan bukan perpustakaan. Bukan hall berskala besar dengan sound system lengkap. Bukan juga sekedar perlengkapan sekertariat. Itu semua masih bisa diakali. Terpenting, ini perkara kesadaran kita berpropaganda, mengampanyekan sesuatu yang kita yakini membawa dampak baik. Dunia ini hanya diisi oleh segelintir propagandis. Selebihnya pengecut.

Bahtiar Rifai Septiansyah
Selamat Hari Pers Nasional
“Selamat termakan persepsi”

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Propaganda