ITS News

Kamis, 14 November 2024
21 Februari 2011, 15:02

Suap

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Dikisahkan 14 abad lalu. Konon, ada seorang lelaki yang mempunyai kebiasaan menyuapi seorang nenek renta. Yang jelas, tak ada hubungan kerabat di antara mereka. Entah perihal kasihan, atau memang ini sebuah kepribadian penyayang. Tak lupa, pada setiap pagi, lelaki itu pergi menghampiri. Begitu juga Sang Nenek, yang hafal betul hembusan angin bilamana lelaki itu akan datang. Kebiasaan ini berlangsung bertahun-tahun, tanpa diketahui khalayak luas.

Bayangkan seperti perawat dalam rumah panti sosial. Lelaki yang bukan lulusan sekolah perawat itu, malah lebih terampil menenangkan hati yang sepi. Seperti sedang memendam kekesalan, Sang Nenek bercerita banyak tentang seseorang yang amat ia benci. Kabarnya, ia seorang penebar kebohongan, perusak tatanan, dan kejahatannya melebihi syetan. Ceritanya terus begitu, berulang-ulang, dan hanya mencecar satu nama. “Seandainya ia datang. Aku tak segan-segan membunuhnya,” ungkapnya dengan getaran badan yang lunglai.

Sang Lelaki? Hanya mengangguk-angguk, tanda sepakat. Kelihatannya, ia lebih sibuk menghaluskan roti untuk disuapi ke mulut yang sudah keriput. Pertanyaan timbul di benak kita. Apa mungkin, ini kode etik perawat? Dimana mereka wajib sepakat atas semua “kicauan” pasien. Atau mungkin ini sekedar bentuk menyenangkan hati lawan bicara? Kita sama-sama tidak tahu.

Suatu pagi, kiriman itu tak jua datang. Tiga hari berselang, seorang kawan dari lelaki tersebut menggantikan posisinya. Apa-apa yang biasa dilakukan lelaki pertama, ia coba ulangi. Pertama ia menyapa sang nenek, kemudian duduk di sampingnya dengan posisi merendah. Tangannya dengan sigap segera menghaluskan roti yang dibawa. Lalu, tangannya bergerak menuju mulut keriput. Hap!

“Siapakah gerangan Anda ini?” Sang Nenek membuka percakapan dengan rasa heran.
“Saya kawan dari lelaki yang biasa menyuapi Anda di sini?” Balasnya.
“Oh, pantas. Kau menyuapiku dengan kasar. Tidak seperti biasanya,” ucap Sang Nenek penuh gerutu.
“Kalau saya boleh tahu. Siapakah kawan Anda itu?” lanjutnya.
“Dia Muhammad. Ia baru saja wafat,”
“Oh tidak! Berarti, selama ini aku selalu menghinanya ketika ia sedang menyuapiku,”.

Menyuapi seorang renta, hal yang amat sepele untuk diambil pelajaran. Seumur hidup pun kita belum pernah menyuapi kedua orang tua kita. Tapi alangkah mengherankan bila suap mengalami peyorasi untuk zaman ini. Setiap orang beradu sikut, melacur harga diri untuk mencapai posisi tertinggi. Namun anehnya, posisi tinggi yang diraih Muhammad bukan melalui suap seperti biasa. Ia malah membuktikan, “menyuap” pada orang yang membutuhkan adalah sebuah kesantunan tertinggi. Goethe, penyair Jerman paling masyhur, sampai-sampai membuat balada untuknya. “Adakah yang lebih berharga ketimbang kepribadiannya?”.

Bilakah Muhammad amat fanatik, tentu ia segan memberi suapan pada Nenek yang selalu menghinanya. Apalagi Nenek itu seorang yang berbeda agama dengannya: Yahudi. Semasa hidupnya, Muhammad berhasil menembus tembok pembatas keyakinan, malah juga melepas sekat, mengikat kekerabatan. Seperti saat ia berpapasan dengan sebuah rombongan jenazah menuju perkuburan.

“Mengapa engkau berdiri? Bukankah ia berbeda agama dengan kita?” tanya seorang sahabatnya.
“Bahkan sekalipun ia sudah mati, kita harus tetap menghormatinya.” Jelasnya dengan halus.

Kadang, kita memilih-milih untuk menolong orang lain. Adakah ia satu organisasi dengan kita? Adakah ia satu aliran dengan kita? Atau, adakah ia pernah berbuat baik pada kita? Belum lagi dibumbui kepentingan pragamatis tentang “Apa untungnya bagi saya dari memberi pertolongan ini”. Sekali lagi kita lupa, kalau kita hidup di suatu daerah dimana setiap interaksi amatlah dibutuhkan.

Lantas, apakah segala omong kosong tentang pengabdian itu, kita sudahi saja di depan media massa? Dimana tangkapan mata kamera akhirnya menghasilkan taburan pujian, yang agaknya juga berisi sindiran. Kita jengah, melihat berupa-rupa alasan, penuh kepura-puraan. Kini, kearifan telah hilang ditelan peradaban. Kami sedang mencarinya! Tapi tak tahu ia pergi kemana dan pada siapa kita harus bertanya.

Bahtiar Rifai Septiansyah

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Suap