ITS News

Senin, 02 September 2024
27 Februari 2011, 13:02

Batasan, Cinta, dan Kesuksesan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sejak berusia 14 tahun, ia dikenal sebagai programmer jenius yang menciptakan sebuah software dispatcher seperti yang digunakan oleh para supir taksi dan ambulan, untuk memberitakan lokasi dan keadaan mereka pada suatu saat tertentu, secara real time. Hal ini, bersama dengan kekagumannya terhadap teknologi SMS, menginspirasi Dorsey untuk membangun Twitter bersama dua orang teman lagi, Biz Stone dan Evan Williams.

Bersama dengan Jim McKelvey, Dorsey juga telah membuat Square, sebuah aplikasi fisik yang dapat disambungkan pada ponsel tertentu untuk melakukan transaksi kartu kredit. Bagi businessman, atau orang-orang lain yang berkawan erat dengan ponsel mereka, bahkan untuk pengusaha bisnis-bisnis kecil, fitur ini sangat menguntungkan.

Dalam sepuluh bulan pertamanya, Square telah menemukan puluhan ribu pengguna.
Charlie Rose, seorang jurnalis broadcast terkenal di Amerika bertanya padanya, siapakah dia sebenarnya? Apakah ia seorang programmer?  Atau seorang entrepreneur sukses? Inilah jawaban Dorsey.

“I think I’m a mix.  I love building technology, I love programming.  I love building teams.  And I also love building beautiful things.  I love art, I love design, and I love seeing that intersection of technology and the teams that work on it” (http://techcrunch.com/2011/01/11/jack-dorsey-charlie-rose/).

Dorsey sedang berkata: saya bukan hanya seorang programmer, keahlian saya bukan hanya di bidang itu saja, seperti membangun tim dengan orang-orang lain. Dan saya senang melakukannya.

Mungkin, kalau ia hanya berhenti pada bidangnya saja, seorang yang bekerja memprogram aplikasi-aplikasi yang juga mungkin bukan miliknya, kisahnya akan sama sekali berbeda.

Multitalenta? Mungkin saja. Tapi kata itu sering terkesan eksklusif bagi orang-orang tertentu. Padahal, sebenarnya setiap orang memiliki potensi yang begitu luas pula.

Istilah yang lebih baik, mungkin adalah, tak berhenti menyelami satu ilmu saja. Seorang siswa program IPS punya keahlian dalam algoritma dan berhasil masuk dunia teknik yang penuh perhitungan rumit. Seorang ahli arsitektur bisa saja juga seorang ahli biologi, dan menghasilkan bio-engineered architecture. Seorang lulusan sekolah teknik, menjadi ahli bisnis dan manajemen.

Seorang teman pernah mengatakan, “Saya bukan orang yang mudah percaya pada mitos otak kiri-kanan, meskipun aku pernah merasa salah jurusan, kujalani sampai detik ini.”. Tidak sia-sia usahanya, ia sempat menjadi kandidat mahasiswa berprestasi tingkat universitas.

Di dunia yang serba terkotak-kotakkan, batasan-batasan memang menjadi susah didobrak. Dalam dunia pendidikan saya saat ini, menjadi ‘arsitek’, ‘kontraktor’, ‘developer’, seolah menjadi jawaban wajib bagi setiap formula kehidupan yang ditempuh para mahasiswa arsitektur.

Istilah-istilah tersebut tergabung dalam payung bernama ‘praktisi’. Lawannya, yang sering terkesan kurang mentereng, ‘akademisi’, yang membawahi beberapa kata lain, ‘penulis’, ‘dosen’, ‘peneliti’.

Ketika ditanya, ingin menjadi yang manakah saya? Timbul sebuah jawaban yang mungkin jarang didengar, ‘dua-duanya’. Namun sayangnya, saat itu jawaban itu hanya bisa saya kulum dalam lidah sendiri.

Tapi itu, sebelum saya ‘berkenalan’ dengan Imelda Akmal. Ia tak ingin disebut sebagai ‘penulis’ saja, akan tetapi seorang ‘penulis arsitektur’. Ia tak pernah malu dan begitu teguh menyatakannya. Saya juga ingat, Le Corbusier yang didaulat sebagai salah satu ‘arsitek’ besar dunia juga aktif menulis.

Itu juga, sebelum saya menemukan Mangrove RhizophoraChitecture (MRaC). Sebuah suaka riset mengenai lingkungan hidup yang aneh, di jurusan arsitektur yang identik dengan benda-benda keras dan ‘mati’.

Kalau ada orang yang mempelajari dan meneliti mengenai tumbuhan, dari akar hingga ujung batangnya, tak hanya satu, namun berpuluh-puluh jenis tumbuhan itu. Lalu dari hasil ristenya ia membuat sebuah hunian yang ‘hidup’, atau hunian biomaterial.

Orang tersebut tidak merancang satu jenis saja. Lalu orang-orang lain, satu keluarga, hingga satu masyarakat, tinggal di karya ciptanya itu, dalam sebuah sistem kehidupan yang ramah lingkungan. Apakah orang tadi juga tidak dapat dikatakan seorang arsitek?

Apakah ia peneliti, atau seorang praktisi? Apakah ia arsitek, atau ahli biologi, atau ahli desain, atau ahli lingkungan?

Mungkin jawabannya, terdapat dalam pernyataan Imelda Akmal, atau dalam jawaban Jack Dorsey: a mix. Yang penting, orang itu mencintainya. Sehingga ia sukses melaksanakannya.

Lisana Shidqina
Mahasiswi Arsitektur angkatan 2009
Tribut kecil untuk Mangrove RhizophoraChitecture (MRaC)

Berita Terkait