Gutenberg yang tak lain merupakan ahli logam, memberi sumbangan teknologi berupa sebuah mesin cetak yang mampu mencetak huruf secara tepat dalam aloy logam huruf (type metal) dan tinta berbasis minyak. Meski tidak lebih tenar dari Eddison maupun Enstein, pria berkebangsaan Jerman ini turut andil sebagai pembawa perubahan. Ia, Gutenberg mungkin juga tidak pernah membayangkan bahwa mesin ajaib ciptaannya menjadi resolusi persuratkabaran dunia.
Bermula dari penemuan itulah wajah Eropa mulai berubah pada abad ke-15. Lahirlah komunikasi massa melalui penyebaran informasi yang kini disebut berita. Tak hanya melanda Eropa, dunia persuratkabaran ini meluas seiring dengan berkembangnya zaman, termasuk pula Amerika. Di Amerika, surat kabar baru terbit setelah beberapa tahun negara tersebut mencapai kemerdekaannya pada tahun 1776.
Pada awalnya, surat kabar hanya diperuntukkan bagi kaum elit dan terpelajar. Secara fisik, bentuk koran pada saat itu masih sangat sederhana dan menggunakan biaya yang sangat murah, tetapi jangkauannya meluas. Pada tahun 1830, surat kabar sudah mewabah di New York. Permulaan inilah yang menjadi penanda kejayaan surat kabar hingga akhirnya mewabah ke seluruh pelosok dunia.
Kini, saat kita mendengar kata media, yang terbayang dalam benak buka lagi tumpukan koran berisi kumpulan berita. Media di era serba IT sekarang adalah jutaan kode biner yang mempresentasikan gambar, video, dan naskah tulisan di laptop kita. Kecepatan up date informasi versi digital ini pun tak main-main. Lantas apa kabar dengan media versi lama seperti koran? Di Indonesia, keberadaan media seperti koran bisa dikatakan masih eksis. Hanya saja, saya mendapat informasi mengejutkan menyoal persuratkabaran di Amerika.
“Media cetak di Amerika sudah mati,†fakta mencengangkan saya dengar langsung dari Prof Janet Steele, Konsultan Konjen AS di Surabaya. Inilah oleh-oleh magang saya sebagai wartawan di luar kampus. Pernyataan di atas memang di luar dugaan. Bagi saya pribadi ini terdengar aneh jika dibandingkan dengan media cetak di Indonesia yang hingga saat ini masih bertebaran di sana-sini. Tak ayal dari fakta awal saja, sudah mengundang berbagai persepsi. Lantas kenapa hal ini bisa terjadi? Dan sebagai insan media, perlukah kita menganggapi isu-isu ala Amerika ini dengan kekhawatiran berlebih? Padahal seperti kita ketahui, sudut mana dari negeri ini yang tak haus akan stories, yang kata orang luar berarti juga cerita dan berita?
Saya memang hanya jurnalis kampus, mungkin karena itu lah saya tidak mengalami permasalahan sekompleks rekan-rekan wartawan yang dalam keseharian, itu lah pekerjaan utama mereka. Bergerak di media kampus memang hanya terbatas seputaran sivitas akademika, alumni, dan lagi-lagi ke kalangan yang nyangkut-nyangkut kampus.
Tapi bagi saya, mengikuti penjelasan Janet sangat menarik, fakta demi fakta ia paparkan. Misalnya pada tahun 2009 lalu di Amerika, fakta menyebutkan bahwa iklan turun mencapai 26% dan selama tiga tahun terakhir penghasilan surat kabar di sana turun drastis mencapai angka 43%, fakta terakhirnya adalah Washington Post tutup. “Permasalahannya lebih kompleks, bisnis, uang, dan iklan adalah sumber utama,†urai Janet.
Paradoks itu kian berlanjut, mengingat minat masyarakat Amerika yang besar dan haus akan stories. Memang selama ini internet lah yang menjadi andalan utama untuk meredam kehausan publik Amerika. Semua orang mengakses internet untuk memenuhi kebutuhan berita. Tapi sekali lagi fakta membuat saya tercengang, bahwa ternyata internet mengambil sekitar 80% beritanya dari media lama, seperti: BBC, media cetak, dan sebagainya. Sedangkan sebanyak 7% diambil dari media pers secara umum. Logikanya, bukankah sedemikian penting penting peran media lama seperti koran? Toh, media online juga masih mencomot isinya untuk berita online.
Keadaan yang terjadi di Indonesia memang tak sama dengan negeri Uncle Sam sana. Keberadaan media cetak yang sangat langka, mengalihkan minat publik Amerika ke siaran radio. Alhasil siaran-siaran radio yang mengulas isu-isu kenegaraan secara lengkap pun kian digandrungi masyarakat.
Hal berbeda justru kita dapati di negeri sendiri. Siaran radio selalu identik dengan full music dengan selipan telepon online maupun offline untuk kirim-kirim salam. Memang benar kata pepatah, lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya. Tapi semoga, matinya media cetak yang terjadi di Amerika tidak perlu terjadi di Indonesia. Kalau pun suatu hari waktu menunjukkan hal lain atau kalau hal itu pun mesti terjadi, paling tidak jangan tergesa-gesa lah kejadian serupa mampir ke Indonesia.
Lutfia
Mahasiswa Teknik Kimia ITS 2009
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)