ITS News

Kamis, 14 November 2024
14 Maret 2011, 09:03

Gaudeamus

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Desiderius Erasmus sama sekali tak berbahagia di masa kecilnya. Hidup prihatin hanya dengan ibu dan kakaknya di Rotterdam sana. Ayahnya memutuskan pergi ke Italia, mengabdi sebagai rahib. Sudah menjadi hukum bahwa rahib tidaklah beristri dan pastilah tidak beranak. Jadi, akta kelahiran Erasmus dihapus. Tanpa Ayah.

Belum sempat ia besar, wabah pes mengirim ibunya ke alam baka. Waktu itu, sepertiga bangsa Eropa musnah. Tatanan sosial tiba-tiba berantakan seperti habis dijatuhi tsunami hebat. Bangsa Eropa seakan mundur berabad-abad lampau. Anak-anak kecil pada jaman itu, putus harapan. Semua mendadak yatim-piatu.

Sebagai bocah cilik, tentu saja ia bingung. Kemana ia harus menggadai hidupnya? Sementara Sang Ayah tak lagi mengakuinya. Dalam pengembaraan, disertai kecintaannya yang mendalam terhadap ilmu sekaligus membara kebenciannya pada kemiskinan, ketidakadilan dan kesengsaraan, ia pergi berputar-putar penjuru Eropa.

Lalu ia berhenti dan fokus menulis. Ia mendadak masyhur sebagai pemikir brilian. Salah satu gagasannya, saat ini terkenal dengan nama Humanisme. Ia seorang akademisi tulen yang justru menentang pola pendidikan lama yang cenderung "memagari".

Lain kisah di Jerman. "A child’s first day at school," tertulis dalam awal buku berjudul "The Father of New Germany". Konrad Adenauer kecil menggandeng tangan sang ayah, menuju sekolah barunya. Ini hari pertama ia masuk sekolah. Sebagai anak seorang bangsawan Prusia yang kental unggah-ungguh, ia terlihat begitu canggung berinteraksi dengan kawan barunya. Jaga image.

Ia produk sistem pendidikan "Kanselir Besi" Von Bismarck. Khas sekali dengan suasana akademik spartanis yang dijalani bangsa Prusia. Kalau kita mengenal wajib belajar 12 tahun baru-baru ini saja, di sana saat itu sudah berlaku wajib belajar 15 tahun.

Sebagaimana keluarga yang tahu pendidikan, membuncahlah harapan besar. "Apa yang belum dicapai orang tuamu, maka kamu harus capai,". Perjalanan Konrad junior sama saja seperti siswa lainnya. Sesuatu tentang bullying, kompetisi yang ketat, pola pendidikan yang keras, sampai hasrat orang tua terhadap anaknya yang kadang tidak disertai pengertian satu sama lain, menghias di masa kanak-kanaknya.

Sekolah berhasil membuat Adenauer sebagai orang yang ambisius sekaligus keras kepala. Kelak ia berseteru hebat dengan Hitler, kemudian menang dan sukses membawa Jerman keluar dari kepecundangan.

Mungkin kita punya kesamaan garis tangan. Masuknya kita ke gedung-gedung sekolah, membawa ambisi besar. Seperti Erasmus yang melawan kemiskinan, ketidakadilan, dan kesengsaraan. Atau seperti Adenauer yang sekedar memenuhi "ambisi birokrasi", menjaga agar strata sosial tetap di atas.   

Saya jadi teringat novel "Salah Asuhan" yang terbit hampir seabad lalu. Kisahnya tentang lelaki bernama Hanafi, seorang Melayu yang berubah tabiat menjadi kebarat-baratan akibat pendidikan Belandanya. Akhirnya ia mati dalam kerancuan hidup.

Pemandangan yang mungkin nampak seragam dalam detik ini. Dimana pendidikan terkadang merenggut jati diri kita, mengoyak-ngoyak nilai moral yang kita punya sampai merampas hak hidup paling hakiki. Bahkan bukan tidak mungkin, bisa menjerumuskan.

Tapi jikalau kita imbang, pendidikan ini juga membawa suatu bangsa ke gerbang kemakmuran. Menggiring kita dalam suatu pemikiran untuk memperbaiki suratan takdir. Juga menghasilkan pribadi-pribadi secerdik Richie Rich di film Home Alone. Namun terkadang akhirnya, kecerdikan dan kepintaran itu didayagunakan untuk membodohi pihak lain. Homo homini lupus?

Mari kita renungi lagi. Sepertinya kita ini sedang berada dalam sistem pendidikan yang bukan lagi mencetak scholar-scholar berakal. Tapi lebih mirip robot-robot bernafas? Yang tanggap akan kemauan (bukan kemajuan) industri. Bukan lagi nilai-nilai filosofis yang mempertanyakan fundametalisme ilmu pengetahuan itu sendiri.

Maka, bersenang-senanglah. Sebab anda tidak akan menemukan cara belajar paling menjemukan (sekaligus menyenangkan) setelah prosesi krincingan di gedung mewah itu. Kamp konsentrasi cuci-otak ini sudah lepas. Sekarang anda bebas!

Mari bersukaria.
Vivat Academia!
Vivant Professores!
Vivat membrum quodlibet!

Bahtiar Rifai Septiansyah
"Mengejar mimpi-mimpi televisi," (Teater Kanvas)

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Gaudeamus