ITS News

Senin, 02 September 2024
19 Maret 2011, 23:03

Challenger

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Tulisan ini didedikasikan bagi Pesawat Ulang-Alik Discovery yang baru saja menyelesaikan tugasnya dengan selamat. Pensiunnya Discovery sepertinya juga mengakhiri duka NASA atas peristiwa Challenger dan Columbia dalam tiga dekade terakhir. Kini, seperti kata Obama, Amerika sedang menyongsong ‘era Sputnik baru’.

Sputnik adalah pesawat buatan Rusia pertama yang berhasil mengantar manusia melihat Bumi yang biru, pepat, dan indah itu, dari luar angkasa sana. Sputnik juga yang membuat Kennedy begitu ambisius ‘menguasai’ bulan. Jika kita kembali dalam kenangan ‘Star Trek’ yang dulu begitu dipuja, sepakatlah kita dengan jurnal berjudul ‘After Earth’ di kolom Popular Science. ‘Impian kita meninggalkan bumi yang mulai kehabisan nafas ini, tinggalah selangkah lagi!’.

Tapi, jangan senang dulu. Peristiwa Challenger membuat semua terhenyak. NASA hampir-hampir putus asa dengan program antariksanya. Hal itu jelas terlihat pada peluncuran Discovery yang tertunda hampir setahun. Mereka kelihatan masih trauma. Ini bukan hanya menyangkut masalah nyawa astronot, tapi juga biaya proyek ini yang gila-gilaan.

Alhamdulillah, Discovery menunaikan tugas dengan baik. Saya, sebagai warga dari suatu negara, hanya bisa ngiler. Kapan negara saya bisa mampir ke stasiun internasional MIR? Kapan pula negara saya punya Kosmodrom walau tak seelit Baikonur? Negara seperti Jepang, Cina, dan India sudah punya ‘sekertariat’ di sana. Kita? Hanya bisa membangga-banggakan nama Pratiwi Sudarmono, ‘astronotwati’ yang tidak jadi berangkat karena kecelakaan Challenger.

Agaknya, permasalahan teknologi ini pulalah yang membuat kita tertinggal. Banyak faktor yang mengiringi, seperti misalnya keterbatasan anggaran, minimnya penguasaan teknologi, sampai pada lemahnya semangat mendayagunakan potensi untuk kepentingan perkembangan teknologi.

Mari menganggukan kepala.

***
Dalam sebuah suasana santai, saya berdiskusi dengan kawan saya seputar tsunami di Jepang. ‘Ayo…kita tebak-tebakan. Berapa jumlah korbannya?’ tanya kawan saya selagi berita di TV mengabarkan jumlahnya ‘baru’ seribu orang. Saya menjawab, ‘Sekitar lima ribu!’. Tebakan saya mengacu Gempa Hanshin-Awaji, walaupun dalam konteks ini amatlah jauh berbeda kondisinya. Teman saya kemudian membalas, ‘Oke, saya tambah satu digit (50 ribu),’.

Yang saya bingungkan dari Gempa dan Tsunami Jepang ini adalah kok yo bisa-bisanya kantor berita NHK meliput ‘atraksi’ ini secara live dengan begitu tenang dan apiknya. Anda lihat kan video di televisi? Konon kabarnya, NHK punya hampir 100 alat pengukur seismik yang dipasang di seluruh penjuru Jepang. Jadi, setelah gempa, NHK mengirim belasan helikopter ke tempat kejadian. Dan pada saat itu juga, semua acara NHK di-delay untuk kepentingan peliputan bencana secara live!

Bung, NHK itu bukan badan penanggulangan bencana. Ia hanya stasiun televisi biasa. Kepedulian terhadap bencana jangan sampai hanya dimonopoli Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), aktivis LSM atau Taruna Tanggap Bencana, public figure yang (sok) peduli, sampai orang-orang partai yang mau cari muka? Seharusnya, semua pihak berhak dan berkewajiban untuk peduli. Saya tidak perlu bercerita banyaklah tentang kesiapan Jepang menghadapi bencana. Tambah bikin wajah kita memerah.

Sedangkan, apa yang terjadi di Fukushima adalah drama menegangkan yang (sepertinya) berakhir heroik. Terngiang-ngiang Chernobyl, semua orang tiba-tiba khawatir dengan terbukanya ‘kotak pandora’. Padahal, Fukushima hanya satu dari 56 PLTN yang memasok 33% listrik di seluruh penjuru Jepang. Sistem PLTN ini pun cukup siap menghadapi ‘goyangan’ dengan standar pengamanan otomatisnya.

Apakah Chernobyl berpindah ke Jepang? ‘Tidak’ kata seorang ahli. Bahkan jikalau teroris saat ini menguasai Fukushima, kemudian meledakkannya dengan dinamit, radiasi juga tidak akan menyebar seperti bom nuklir. Cuma yang jadi masalah, hembusan kencang angin bisa merembet ke segala arah dengan jangkauan luas, bisa sedikit mengkhawatirkan.

Tentu jelas berbeda dengan treatment di Chernobyl, dimana warga di sana ‘dimatikan’ oleh pemerintahnya. Kini, 170.000 penduduk dalam radius 20 Km, diungsikan. Bisa dibayangkan bagaimana mengungsikan orang sebanyak itu dalam hitungan hari saja.

Lantas, mengapa orang tiba-tiba takut mendengar kata nuklir? Alasannya, nuklir membahayakan jiwa. Nah, apakah kendaraan berbahan bakar renik yang kita tumpangi sehari-hari juga tidak membunuh kita? Kalau tidak berbahaya, berarti patut kita pertanyakan, kenapa Al Gore mendapatkan Nobel.

Lalu kompor-kompor gas yang ada di rumah kita apakah juga tidak berbahaya? Kalau masyarakat kita tidak terdidik, semua teknologi akan dilarang karena membahayakan. Maka, silahkan kembalilah ke jaman Flintstones.

Teknologi pastilah mengandung dua sisi mata pedang. Semenjak paham empirisme meluas di dunia akademik khususnya sains, maka muncul doktrin yang berkata, ‘Suatu teori belum diakui sampai terbukti kebenarannya,’. Begitu juga teknologi, tidaklah bisa ia diagungkan, bila belum teruji benar kegunaannya bagi manusia.

Jadi tidak sekedar masuk akalkah kita berpindah planet, tapi juga terbuktikah di sana ada sebuah peluang untuk kehidupan. Juga tentang nuklir. Kita masih menunggu apakah Uranium, Plutonium, atau Thorium dengan murahnya biaya operasional, bisa benar-benar berguna bagi manusia.  

***
Kembali pada situasi diskusi saya dengan kawan saya yang mencapai tahap akhir ini. Kami mencoba menganalisa, lalu saya bertanya, ‘Kalau terjadi di Indonesia, kira-kira berapa?’. Setelah proses tawar menawar sengit yang lebih mirip seperti seorang penjual daging sapi dengan seorang Ibu di suatu hari tepat pada tanggal tua, akhirnya kami sepakat.

‘200 ribu mentok. Itu aja saya belum ngambil untung,’. Bergurau walau sebenarnya perih dalam hati.

Bahtiar Rifai Septiansyah
‘Mas-mas…murah njaluk selamet,’ kata seorang kondektur Bus Patas (cepat tewas).

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Challenger