ITS News

Kamis, 14 November 2024
26 Maret 2011, 13:03

Bom

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Tahun 1978-1995 (lebih dari 15 tahun), sebuah teror bom berantai paling menggemparkan terjadi di Amerika. Kenapa menggemparkan? Sebab yang diserang bukanlah instalasi dan perangkat politik atau ekonomi seperti kebanyakan teroris. "Saya tidak sedang menggulingkan pemerintahan. Tapi ingin menghapus basis-basis teknologis dari masyarakat saat ini," katanya.

Incarannya tertuju pada kampus-kampus bergengsi macam Northwestern, Yale, MIT, Berkeley, dan beberapa airport dengan sekuritas level satu yang kabarnya perlambang kemodernan. Tapi di balik itu, si pengirim bom, yang dinamai "Unabomber" (Una: University and Airline) oleh FBI, menyisipkan pesan-pesan politis.

Pola teror mirip seperti yang terjadi belakangan ini. Yaitu, dengan mengirim surat, paket buku, atau  kotak cerutu yang sekali dibuka langsung…Duar!  Paket-paket itu bukan tanpa maksud tertentu. Korbannya sudah ia rencanakan dengan baik: beberapa professor terkenal dari kampus-kampus tadi, yang ia nilai punya andil dalam melawan pendirian ideologisnya.

Hebatnya, selama 17 tahun itu pula FBI tak mampu, jangankan menangkap, mengidentifikasi pelakunya saja masih sulit. Baru ketika Unabomber meminta New York Times dan Washington Post, koran terbaik Amerika, menampilkan tulisan si pelaku, titik cerah itu terbuka. Pada 19 September 1995, tulisan itu muncul 8 halaman dengan judul "Industrial Society and Its Future".

Ted Kaczynski tertuduh. Padahal sejak 1971, ia hanyalah seorang soliter, menyendiri di balik gunung-gunung salju Montana. Ia menasbihkan diri dalam paham primitivisme, membangun gubuknya sendiri tanpa listrik, menanam sayur di depan rumahnya, dan memburu kelinci untuk kebutuhan sehari-harinya. Betapa kagetnya penduduk Amerika, karena teror itu ternyata direncanakan, diagendakan, dan dikerjakan oleh Ted sendirian. Dengan begitu rapihnya, dari tempat nun jauh di sana.

Bukan terornya yang ingin saya bahas di sini. Tapi tulisan Ted di koran yang podo plek dengan cara berpikir Al Gore di buku Earth In The Balance dan yang baru-baru ini, seri dokumenter Inconvenient Truth. Sampai-sampai media di barat sana menyindir,"Siapa sih sebenarnya yang lebih layak menerima nobel. Kaczynski atau Al Gore?".

Kita didudukkan dalam posisi,"sepakat untuk tidak sepakat". Semua orang pasti menentang aksi bom berantainya. Tapi jikalau dibaca seksama tulisan dan pemikirannya, bukanlah tidak mungkin kita bisa berada dalam satu jalan. Tidak lain, karena keduanya tumbuh dewasa di tengah kerancuan tatanan dunia era 60-an. Lahir sebagai "babby boomer", mereka menyisakan era kejayaan kaum pasifis (anti perang), berhimpun dalam sajak-sajak humanisme universal Albert Camus, dan bernafas ala enviromentalis generasi hippies.

"Bahwa kemajuan teknologi yang sistematik ini telah menjadi bencana bagi manusia. Tingkat harapan hidup di negara-negara maju memang meningkat besar-besaran. Tapi masyarakatnya mengalami destabilisasi, membuat hidup jadi tak genap, menundukkan manusia menjadi tak bermartabat dan membuahkan derita psikologis (sekaligus fisik) yang meluas terutama di negara dunia ketiga, serta kerusakan alam yang parah".

Kalau yang berbicara seorang pengamen jalanan, saya tak lekas percaya. Masalahnya, kutipan itu berasal dari doktor dengan kemampuan logika di atas rata-rata. Dan, konsistensi Ted tidak sekedar teori. Dibanding Al Gore yang kurang konsisten karena masih menikmati ’karbon’ di kehidupan sehari-harinya, aktivitas survival Ted merengkuh kedamaian dengan alam, benar-benar nyata!

Tapi Ted lupa, instalasi elektrik yang dipakainya merakit bom, bukannya juga lahir dari kemajuan teknologi? Di sini letak saya berbeda pendapat dengannya. Bagi saya, teknologi membawa manusia melesat jauh ke depan. Tapi juga kiranya kita bisa berpikir bijak, apa salahnya memberi perhatian pada antitesis yang disuarakan Ted. Bahwa teknologi bukanlah poin utama (apalagi terutama) dalam kemajuan peradaban manusia. Manusia butuh poin kekuatan koherensi sosial, kesadaran pribadi, intelektual yang sehat, dan lain sebagainya, yang walaupun terlihat agak utopis, bisa dimaklumi fungsi dan perannya dalam modernisasi.

Dus, peringatan hari Meteorologi semakin terasa hampa. Cuaca ekstrim malah makin menjadi-jadi. Tidak perlu jauh-jauh membahas hawa panas yang menewaskan ratusan ribu orang Rusia tahun kemarin, tapi lihat di kota kita tercinta, Surabaya, dimana cuaca dingin seperti es dan iklim panas seperti "neraka bocor" terjadi berputar tanpa bisa diprediksi.

Saya pikir, walikota kita sedang kebingungan, antara ambisi membangun taman seluas-luasnya, dengan tuntutan (komersial) pembangunan infrastruktur yang mencekiknya. Rasa-rasanya juga perlu ada evaluasi atas radikalisme ekspansi industri. Kita pun mafhum, bumi kita telah digadaikan untuk perut-perut yang tamak. Tinggalah rakyat kecil mati dibodohi Corporate Social Responsbility.

Bahtiar Rifai Septiansyah
Tell me your secret. And ask me your questions. Oh, let’s go back to the start (Coldplay) 

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Bom