ITS News

Senin, 02 September 2024
06 April 2011, 18:04

Bu Tasrifah, Nyambik ITS, dan Masa Depan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Tubuhnya yang renta tersungkur membentuk sujud di depan kucing kecil berwarna putih bergaris kuning. “Iya, kucing ini selalu ikut kalau saya sholat,” ungkap Bu Tasrifah sambil masih mengenakan rukuh di gubuknya. Kucing yang ia maksud adalah kucing lucu yang sebulan lalu menangis semalaman karena tak diberi makan oleh empunya. Ibu si kucing tersebut bahkan membuang anaknya.

“Sama orang sana juga nggak diberi makan, kasihan mbak, saya beri makan, eh malah nututi  saya sampai sini,” ungkapnya sambil menunjuk sepotong kayu yang jadi penghubung jalur darat seberang selokan besar dekat tempat ia tinggal.

Jika kebanyakan orang datang ke ITS sebagai mahasiswa, dosen, karyawan, atau minimal pedagang kantin, maka beliau tak termasuk keempatnya. Ia datang jauh-jauh dari desanya di Lamongan untuk menjadi petani di ITS. “Dulu saya jadi petani di perumahan Galaxy, tapi karena sudah dibongkar jadi bangunan, saya mengungsi ke ITS,” tuturnya sambil bercerita.

Tiga tahun lalu Bu Tasrifah datang ke ITS bersama suami. Setelah suaminya meninggal, ia pun hanya tinggal bersama adiknya di gubuk belakang Gedung Olahraga UPT Fasor. Disana, ia mengadu nasibnya sebagai petani. Segala puji bagi Allah karena tanah ITS tergolong subur.

Alkisah, saya dan teman saya menemukan Bu Tasrifah, adik perempuannya dan kucing ITS karena Tugas Akhir (TA) saya yang mengharuskan memakai lahan untuk menumbuhkan tanaman uji. TA saya memerlukan perlakuan pada tanaman yakni kerapatan tanaman yang mengharuskan adanya jarak antar tanaman. Karena itulah saya dan teman saya membutuhkan lahan yang cukup luas.

Sempat terbersit dalam keinginan kami untuk memakai lahan di sebelah lahan yang dipakai Bu Tasrifah. Namun, kekecewaan sempat mendera karena ternyata lahan tersebut masih belum mencukupi. Akhirnya, kami pun memutuskan tidak memakai lahan tersebut.

Bercampur aduk yang saya rasakan. Pertama, seharusnya kita bangga dengan ITS karena di balik sisi pendidikan dan teknologi yang kita usung, ternyata Coorporate Social Resposibility (CSR) tanpa kita sadari telah berjalan dengan sendirinya. Hal ini dibuktikan dengan petani-petani yang menggantungkan hidupnya pada ITS. Yang menakjubkan, mereka benar-benar menggantungkan hidupnya disana. Tak jarang petani-petani tersebut menjadikan lahan ITS sebagai satu-satunya mata pencahariannya. Contohnya saja Bu Tasrifah.

Kedua, ada hal yang menarik dalam perkuliahan saya di jurusan Teknik Lingkungan (TL). Saya pernah mendapat kuliah yang menyatakan bahwa kampus sebenarnya merupakan laboratorium alam di Kota Surabaya. Benar saja, konon kata senior saya kalau kita mencari nyambik, maka pergi saja ke kolam depan rektorat. Tapi jujur saya masih belum menemukan nyambik tersebut hingga saat ini. Saya pun penasaran dengan wujud asli si nyambik.

Tak jarang saya menemukan beragam binatang yang tidak saya temui lagi di dekat rumah saya di Surabaya utara, namun justru saya temukan di ITS. Saya yang asli Kota Surabaya ini justru belajar banyak tentang keanakaragaman hayati kota Surabaya di laboratorium alam ITS. Jujur, di daerah rumah saya benar-benar tak ada lahan tersisa untuk menemukan keajaiban seperti di ITS. Bahkan seumur hidup saya, agak malu mengakui ini, saya belum pernah bertemu Nyambik.

Uniknya lagi, mahasiswa TL juga mendapat tugas dalam praktikum Biomonitoring Lingkungan untuk mencatat keanakaragaman hayati di ITS. Saya pun mulai bertanya-tanya bagaimana seandainya semua lahan ITS berubah menjadi bangunan semua.

Rasa cemas saya semakin bertambah manakala mengingat bahwa lahan hijau sangatlah penting. Menurut ilmu lingkungan, kita harus menjaga keberadaan lahan hijau karena merupakan salah satu bentuk pencegahan terhadap banjir.

Saya pun teringat dengan universitas swasta di daerah Rungkut yang membuat ladang khusus untuk penelitian mahasiswanya. Lantas, saya pun berpikir “Kenapa ITS tidak?”. Begitulah, ladang tersebut bisa menjadi tempat praktek TA, penelitian, hingga praktikum yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati. Yang jelas, ladang ‘khusus’ tersebut memang sengaja tidak didirikan bangunan. Sembari berharap populasi nyambik dan binatang lain mampu bertahan hidup sebagai simbol fungsi laboratorium alam sebuah kampus.

ITS juga patut menghaturkan terima kasih kepada petani-petani ITS yang gagah menggemburkan tanah dan menjaga keragaman hayati di ITS. Juga sebagai simbol CSR secara tidak langsung. Walau saya juga belum bisa membayangkan jika nanti gubuk dan lahan pertanian Bu Tasrifah harus beralih fungsi menjadi lapangan basket. Jika hal tersebut terjadi, kita pun berharap Bu Tasrifah mampu menemukan pekerjaan pengganti seperti menjadi tukang sapu atau pekerjaan lainnya yang menjadi kemurahan hati kita.   

Populasi kucing yang membludak juga seharusnya turut dipikirkan. Agar kucing-kucing tersebut tak mengalami kemalangan karena persaingan makanan. Sudah seharusnya ada penyuntikan berkala pada kucing tersebut. Hal ini dimaksudkan agar pertumbuhan populasi kucing tak semakin membludak di ITS.

Kelak, jika anak cucu kita masuk ITS setidaknya cerita tentang keberadaan nyambik di ITS tak hanya menjadi dongeng semata, karena memang populasi nyambik di ITS tetap terjaga. Walaupun saya masih berusaha menemukannya. Kelak, mata kuliah Biomonitoring Lingkungan di TL juga saya harap tidak menjadi sejarah hanya karena tak ada lagi populasi yang dapat diamati untuk praktikum.

Tapi saya rasa itu tidak akan terjadi. Saya yakin para pengambil kebijakan di ITS dapat menyeimbangkan antara master plan pembangunan gedung dengan keanekaragaman hayati. Saya pribadi optimis ITS tetap dapat menjalankan pembangunan yang seimbang dengan lingkungan.

Selama dalam mengerjakan master plan ITS turut menyertakan TL sebagai pengonsep keseimbangan lingkungan, Teknik Sipil sebagai penggagas drainase tepat sasaran, Arsitektur dengan arsitektur hijau, dan semua sumbangsih pembangunan berkelanjutan lainnya dari berbagai jurusan. Harapan kita tentunya tak muluk, hanya agar ITS tetap menyandang gelar sebagai kampus “Hutan Belantara” selamanya. Semoga!

 
Nur Rahmah Fithriyah
Mahasiswa Teknik Lingkungan 2007

Berita Terkait