ITS News

Kamis, 14 November 2024
14 April 2011, 14:04

Sekali Berarti, Sudah Itu Mati

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Kabar berita duka tiga mahasiswa Teknik Sipil amatlah mengejutkan. Bukan hanya para kerabat dekat, tapi juga satu kampus merasa kehilangan salah seorang civitasnya. Tapi terlepas dari itu, saya bangga pada mereka. Walau jujur, saya juga sebenarnya tidak mengenal mereka. Namun setidaknya, menurut pemahaman saya, mereka ‘gugur dalam tugas’.

Sudah menjadi kelaziman, sebagian besar mahasiswa mengabdikan dirinya pada sebuah organisasi sesuai minat dan bakat mereka. Ketika sudah masuk di dalamnya, tentu ada berbagai alur yang tujuan utamanya adalah mendidik sekaligus membekali anggotanya. Alur itu pun dibuat bertahap. Mungkin hari pertama adalah pekerjaan lapangan, kemudian hari berikutnya adalah pekerjaan manajemen. Semuanya dibuat rapih dan bertingkat seperti kurikulum.

Pada suatu tahapan, organisasi menggelar sebuah gawean besar yang menguras tenaga, pikiran, dan uang. Jangankan untuk berpikir kuliah yang baik dan benar, bila sudah mendapat ‘tugas suci’ ini, kita pun sampai lupa makan dan memangkas jam tidur kita sesempit-sempitnya. Kemudian sebagian ada yang jatuh sakit dan seterusnya. Hal ini sudah umum di lingkungan kemahasiswaan.

Ada sebagian dari mereka yang benar-benar loyal menjalankan tugas ini. Menggadaikan semuanya. Padahal, apa sih yang mereka dapatkan? Uang? Sama sekali tidak. Ketenaran? tidak mesti juga. Tidak tahu mengapa, mereka menjalankan ini dengan ikhlas. Mungkin ini pula jiwa yang harus ditanam di kalangan kita, para mahasiswa. Barangkali pengabdian kita sepenuh hati pada bangsa dan negara baru bisa sampai di sini. Belum membangun secara riil, karena memang belum masanya kita begitu. Yang penting, kita sedang belajar menjadi sebenar-benarnya mahasiswa. Bukan sekedar kuliah, tapi juga bermanfaat bagi sekitar.

Anak-anak muda ini terlihat amat bersemangat. Memang begitulah seharusnya. Tiap himpunan mahasiswa jurusan seperti punya senjata andalan. Biasanya memang di semester genap. Sebab di semester ganjil mereka amat sibuk dengan orientasi mahasiswa baru. Bahkan untuk gawean yang besar itu, mereka sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Yang terlibat juga bukan satu dua orang, terkadang sampai dua atau tiga angkatan sekaligus turun gunung untuk membantu menyukseskan.

Mereka bukanlah event organizer, jadi tidak ada urusan dengan profit. Cita-cita dari mereka kebanyakan adalah ingin memfasilitasi potensi-potensi yang ada serta memberikan pencerahan pada masyrakat. Mereka mengakomodasi Baik potensi yang datangnya dari internal, maupun yang datangnya dari masyarakat umum secara luas. Bukankah itu cita-cita yang mulia? Berarti, jikalau orang mati karena memperjuangkan cita-cita itu, bukankah ia juga pantas dilabeli mulia?

Zaman sudah bergeser. Kita mengenal pahlawan 66 yang jadi jalan di depan kampus kita. Namanya, Arief Rahman Hakim. Hati kita juga bergetar ketika mendengar kabar gugurnya pahlawan reformasi di depan kampus mereka. Sekarang, menjadi pahlawan tidak mesti turun ke jalan. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk bangsa ini.

Saya dengar kabar, kalau ada salah satu dari mereka yang amat berprestasi. Sungguhpun tidak mengurangi kemuliaan yang lainnya, ia menanamkan pada kita tentang semangat untuk berkarya kapanpun itu. Selama kesempatan itu masih ada, maka pergunakanlah sebaik-baiknya. Sehingga saat kita pergi, orang akan mengenang kita dari karya-karya kita. Si jeunesse savait, Si vieillesse pouvait. Umur bisa jadi cuma hitung-hitungan angka, tapi kedewasaan harus direngkuh tanpa harus menunggu kepala empat atau lima.   

Suatu kesempatan, Subchan ZE, salah satu negarawan muda yang dianggap the rising star pada masanya, pernah berkata: Jikalau usia masih di bawah 40 tahun, giatlah bekerja, giatlah beramal, tekunlah berjuang, sebab apabila usia sudah 40 tahun akan terasa stamina mulai mengendur.

So, don’t miss the bus!

***
Nasib memang tak kabari kita, kapan, mengapa, bagaimana, dimana, dan dengan siapa kita menjalani kehidupan. Kadangkala kesenangan datang tiba-tiba, dan kemurungan hadir sekilat mampirnya kebahagiaan. Kita pilu mendengar kepergian mereka. Tapi kita lupa, mengambil hikmah dari semuanya. Tua-muda itu soal umur. Lebih dari itu, ia membuat kita berpikir untuk bersegera menjadi sesuatu, sebelum seuatu yang lain -yang mahabesar itu- datang.

Soe Hok Gie menulisnya dengan indah:
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan
Yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu
Bahagialah mereka yang mati muda

Saat Chairil Anwar melempar sajak Dipenogoro, bongkahan semangat sebesar mercusuar meluncur di hadapan kita. Ketika ia bilang: Maju! Sang pembaca merenung, maju? yang benar saja! Lalu ketika ia bilang: Selempangkan keris dengan gagah, maka kita semakin bertambah ragu, sudah siapkah kita? Menghadapi hidup yang makin mencekik ini. Apalagi ketika didengungkan kalimat: Sekali berarti, sudah itu mati. Kita merunduk tiarap.

Jimi Hendrix, guru bagi gitaris beken seperti Stevie Ray Vaughn, Eric Clapton, Keith Richard, juga Slash, menyisakan tanda tanya di ujung hidupnya. Sebagaimana vokalis psikedelik Jim Morrison, pelantun blues paling legendaris Janis Joplin, pendiri Rolling Stone Brian Jones, dan terakhir bintang rock 90-an Kurt Cobain, kematian mereka terlalu misterius di umurnya yang baru menginjak 27 tahun. Terlepas dari betapa kontroversialnya mereka, malah mereka mampu merengkuh keberhasilannya di umur belia. Kata Jimi: Biarlah saya jalani hidup sebaik-baiknya. Saya akan mati saat memang waktunya tiba.

Kalau banyak yang berkata dengan bangga bahwa life begins at forty, justru di kesempatan ini saya ingin berteriak: life ends at forty! Kira-kira sepakatlah saya dengan afirmasi John Lennon dalam sebuah liriknya. You know that, i’ve been dead at 39. Tentu saja, kematian bukan soal jasad yang membiru, tapi lebih dari itu.

Bahtiar Rifai Septiansyah
Teruntuk sahabat/adik kami yang sedang tersenyum di alam sana
Selamat Jalan Kawan, engkau bertiga adalah pahlawan bagi kami!

Berita Terkait