Gaya bahasanya sederhana. Benar-benar seperti sedang bercerita. Mengagumkan, betapa di usia tuanya ia masih bisa menuliskan kejadian-kejadian besar dalam hidupnya. Mengagumkan, bahwa sebagai seorang manusia ia diberkati untuk bisa merasakan kejadian-kejadian tersebut.
Yang terpenting, ia bisa mengabadikannya. Menjadi seorang wartawan yang bukan sekedar mencatat kejadian hari itu juga. Tapi ia mengamati terus perkembangannya. Setelah lama kejadian tersebut berlalu, ia masih bisa berkomentar mengenainya. Inilah yang menyebabkannya bukan seorang wartawan, melainkan pula seorang negarawan, sejarawan dan budayawan.
Kembali ke bangku sekolah saya, akhir SMA. Betapa frustasinya saya, karena ternyata buku-buku mata pelajaran sejarah di kelas dua dan tiga hampir membahas hal-hal yang sama. Padahal sudah mahal-mahal saya membelinya.
Bahkan, seingat saya, sejak SD pun pelajaran sejarah tak banyak berubah. Selalu berkisar pada masa nusantara (kerajaan-kerajaan, kepercayaan animisme dan dinamisme), masa penjajahan (gubernur-gubernur Hindia Belanda), perang kemerdekaan, pasca kemerdekaan (perang dan perjanjian-perjanjian). Semua dengan pembahasan yang rata-rata sama.
Sudah begitu, ternyata banyak hal yang tak dibahas dengan jelas. Seperti, kenapa Amir Syarifuddin beralih menjadi salah satu pemberontak PKI? Padahal sebelumnya ia selalu ditampilkan sebagai sosok pendukung pemerintah.
Sama halnya dengan kasus Alex Kawilarang. Mengapa tokoh penting yang sempat menumpas beberapa gerakan pemberontakan ini bisa bergabung dengan gerakan Republik Maluku Selatan (RMS)?
Juga kenapa sedikit sekali yang dibahas mengenai Pemerintahan Darurat RI tahun 1949? Padahal saat itu Negara sedang dalam keadaan sangat genting. Buku sejarah saya meloncat maju ke masa ketika Soekarno-Hatta akhirnya ‘dikembalikan’ oleh Belanda.
Adakah yang pernah menanyakan hal-hal serupa?
Seandainya saat itu saya sudah ‘berkenalan’ dengan Rosihan. Dia tahu. Dia tahu, dan dia menceritakan semuanya dengan jujur dan tegas.
Alangkah berbahayanya, bila generasi Indonesia hanya disodori nama-nama dan angka-angka dan diminta menghafalkannya. Namun tanpa pengertian mendalam mengenainya. Padahal, bukanlah sejarah merupakan alat utama sebuah Negara untuk belajar bagaimana menghadapi masa depan?
Alangkah berbahayanya, bila orang asing yang lebih aktif mempelajari sejarah kita, bisa lebih paham dari bangsa pemilik sejarahnya sendiri.
Seandainya buku-buku pelajaran sejarah adalah seri Petite Histoire. Sudah jelas, enak dibaca pula.
Hari ini, saya belajar untuk menulis sejarah mengenai seorang pencatat dan pelaku sejarah.
Lisana Shidqina
Mahasiswi Arsitektur angkatan 2009
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)