Negeri ini memiliki menjadi lima region. Hidup seperti ini membuat rakyatnya menjadi terkotak-kotak. Belum lagi, puluhan distriknya. Sudah pasti, membuat kotak-kotak tadi semakin mengotak. Dalam ilmu sejarah dikenal istilah kasta. Mungkin juga, istilah yang tepat untuk memperjelas apa sih kotak-kotak itu. Bedanya, tingkatan kasta versi ini diatur oleh sendiri. Setiap region bahkan setiap distrik boleh sesuka hati untuk memilih berada dimana. Bahkan mau dibawa kemana yang lainnya.
Dalam istilah modern, inilah yang dinamakan Arogansi atau si A. Di negeri ini istilah ini jauh lebih sakral dari apapun. Termasuk, dari integralistik sekalipun. Inilah yang saya rasakan meskipun baru sebentar hidup di negeri ini.
Disadari atau tidak, arogansi di negeri ini lebih dari sekedar budaya. Bagaimana tidak, lha wong memang sudah diprogramkan sejak usia dini. Ibarat menanam pohon, lubangnya digali sudah diukur dengan pasti berapa kedalamannya dengan metode analsis keunggulan dan kelebihan.
Lubang yang merekah itupun siap menjadi tempat bernaung para biji-biji pilihan (mahasiwa). Lantas, ditutup dengan rapi. Disiram dengan berbagai nasehat dan dipupuk dengan sedikit bumbu keagungan. Hasinya, tunas itu bersemi. Dan jadilah seperti sekarang. Semua mempunyai kebanggaan yang super lebih.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan arogansi. Toh, pada dasarnya arogansi memang dibuthkan. Arogansi adalah wujud loyalitas terhadap sebuah lembaga. Bahasa trennya adalah rasa cinta. Lebih dalam yaitu rasa memiliki. ”Bagian dari diri”. Setidaknya, begitulah ungkapan mereka.
Dalam tataran bahasa, arogansi mempunyai lawan. Lebih praktisnya, adalah integralistik. Atau sebut saja si I. Masalahnya, di negeri ini arogansi itu segalanya. Bahkan, diurutkan kedudukannya berada di paling atas mengalahkan integralistik yang seharusnya menjadi pemersatu.
Negeri ini memang tak buta. Berbagai upaya telah coba diusung untuk mengangkat derajat si I. Mulai dari Integration Workshop (IW) yang kemudian diganti Hari Biru ITS (Harbits) kemudian Social and Responsibility Training (SOROT) hingga akhirnya menjadi Generasi Integralistik (Gerigi). Dari yang semula dilaksanakan di akhir diubah menjadi di depan. Tapi toh, arogansi itu tetap enggan untuk menggeser sedikit kursinya. Masih ada aja yang tidak terima karena alasan budaya.
Mereka yang katanya menerima pun, tetap sama. Jadi ingat apa jaman Pra-TD kemarin, katanya integralistik region tapi kok arogansi masih saja menjadi payung yang setia. Tanya bukti? Monggo! Coba tengok ketika pemilihan ketua ketua, mutlak semua berebut menjadi pemimpin. Atas dasar apa? Biasanya jadi ketua adalah sesuatu yang dihindari. Usut punya usut, ada sedikit pressing. Ini tak lain dan tak bukan, karena ingin lebih menang dengan distrik lain.
Kontradiksi dengan apa yang diungkapakan oleh petinggi distrik di pembukaan. Sedikit mengutip kata orang, ”Ini area kalian (maba) untuk bersatu. Tinggalkan bendera dan warna kalian, kebanggaan kalian. Disini kalian sama, tunjukkan jika region A hebat”. Dan hebatnya, semua menyuarakan hal yang sama.
Sekali lagi kontradiksi. Katanya tinggalkan warna tapi kok tidak sadar. Para petinggi itu tidak sadar, ketika mereka berkoar panjang lebar, dibadan mereka jelas terpasang almamater mereka dengan warna, dan bendera yang berbeda. Kentara sekali arogansi disini.
Apa sih salahnya si I? Kok terkesan mereka (distrik dan region) sangat alergi terhadapnya. Bukankah kalau dipikir integralistik itu lebih nikmat, lebih terasa ruhnya, lebih terasa keluarganya? Kalau bicara integralistik, jadi terbayang Interval (Integralistik Festival). Sebuah acara besar yang digelar oleh para alumnus Gerigi 2010.
Kegiatan ini benar-benar menunjukkan bagaimana para mahasiswa baru (maba) tumplek blek dalam satu kepanitiaaan. Kesan arogansi, hanya angin lalu. Cuma berlaku untuk perkenalan diri aja. Selebihnya bangga membawa integralistik dan nama negeri ini.
Kesan integralistik diperkuat oleh sebuah konfigurasi bendera oleh para maba. Sedikit mengulas, konfigurasi ini menghadirkan dua belas penari dengan warna bendera yang berbeda. Sampai detik ini, warna masih menjadi penanda kekuatan yang melambangkan region dan distrik masing-masing. Tidak cukup hanya dengan bendera. Teatrikal perang antar penari yang ditampilkan seakan membenarkan budaya itu berkembang pesat di negeri ini. Namun kesemrawutan itu perlahan bergerak seirama membentuk sebuah konfigurasi yang indah. Bentangan bendera negeri ini secara bersama pun menjadi akhir dari konfigurasi ini.
Walau masih bau kencur akan apa itu arogansi, saya mengakui konfigurasi mampu membuat bulu kuduk berdiri. Sebuah konfigurasi singkat yang sarat makna untuk memahami apa itu integralistik. Andaikan saja seluruh petinggi-petinggi region dan distrik menyaksikannya, saya pastikan apa yang saya rasakan itu tidak salah. Sayang seribu sayang, berbagai usaha yang telah dilakukan, hanya dianggap angin lalu.
Seketika itu saya menyadari. Siapa sih angkatan 2010? Tahu apa kita (maba) akan integralsitik? Tak jauh lebih penting kali dari sekedar menunda tidur sepuluh menit.
Agaknya, integralistik itu adalah barang yang sangat langka di negeri berpenduduk lima belas ribu ini. Sebenarnya, saya percaya 90% lebih pasti menginginkan adanya integralistik. Akan tetapi buat apa cuma ingin thok! Kasarnya, ”kabeh wong iso nek cuma nggimpi”. Masalahnya yang terbesar bukan sadar. Karena saya percaya semua sadar jika integralistik itu baik.
Yang perlu diubah cuma satu. Apa itu? Budaya. Mumpung hari budaya lagi booming, segeralah para petinggi-petinggi mbok yo berani melawan arus. Sudah bukan jaman lagi berdiri tegak di hadapan membawa satu kroni.
Satu hal yang membuat masih terngiang-ngiang di benak saya adalah koar-koar salah satu petinggi distrik. Begini, ”Musuh kita itu bukan antar distrik, bukan pula antar region atau institusi. Musuh kita itu mereka. Para penjajah yang tidak kita ketahui. Adalah mereka yang merongrong negara ini,” wejangannya bersemangat.
Entah tulus atau tidak, bukanlah soal yang besar. Intinya koar-koar yang panjang itu mampu membuat saya berfikir ulang untuk lebih berbangga pada negeri ini. Indahnya jika seperti saudara tetangga yang kata orang integralistiknya juauh (sangat jauh) lebih buaik (sangat baik).
Jaharani
Mahasiswa Teknik Kimia 2010
Ayolah! Mbak, mas, tj sudah berubah jadi c dan oe sudah tidak terpakai!
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)