ITS News

Selasa, 03 September 2024
01 Juni 2011, 00:06

Intuisi Messi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Valencia memaksa Messi berhenti menari. Iniesta dihabisi Carrick. Xavi ditempel terus. Villa tak diijinkan menembak. Ferguson benar. Memang itulah cara mengalahkan tiki-taka. Hajar sejak lapangan tengah, ketika dapat bola, langsung umpan jauh, mumpung mereka pendek-pendek.

Lagipula, gaya bermain khas Inggris dan Spanyol cuma beda-beda sedikit. Mereka sama-sama bermain dalam tempo tinggi. Bedanya, Inggris seperti pasukan Artileri yang punya meriam-meriam penembak jauh, sementara Spanyol lebih seperti Infanteri yang berani berperang jarak dekat. Sementara pengamat lain memberi saran, tiki-taka dilawan tiki-taka. Sayang, MU tak berniat mengubah gayanya.

Saya nonton Final Liga Champion dengan sepupu yang masih SD. Saya pakai baju Indonesia, dia pakai baju MU. Sebenarnya, saya seorang pendukung Arsenal yang fanatik dan sepupu saya seorang Madridista (pendukung Real Madrid). Berhubung ada idiom "musuhnya musuh adalah kawan", maka dia bela MU dan saya mengambil garis oposisi.

15 menit pertama membuat dia melempar senyum kemenangan. Sementara saya cuma bisa menahan nafas saat Chicharito mengelabui Pique dan berhadap-hadapan dengan Valdes. Tapi, seperti roman picisan, yang terjadi kemudian adalah antiklimaks yang menyakitkan bagi para pendukung "iblis abang". Bola seakan sudah disuap Barcelona untuk selalu berada di dekat para pemainnya. Kalau ditanya siapa yang menyuap? Jawabannya: patungan joint venture antara Messi, Iniesta, dan Xavi.

Saya juga tidak habis pikir. Betapa ketiga orang ini seakan satu hati yang tak bisa dipisahkan. Tanpa melihat, Xavi tahu kalau Pedro akan menerobos melewati Vidic. Tanpa melongok tiang gawang, Messi tahu kapan dia harus menakut-nakuti Evra, kemudian menembak. Sayang, Evra telat menghalangi. Sedangkan Villa? dengan cantiknya membuat mata seluruh penonton melotot sejenak, memperhatikan setiap detik bola menyusur gawang. Walaupun Rooney juga membuat gol dengan manis, gol Barca masih belum terbayarkan.

Mereka seakan digiring intuisi yang tajam. Strategi sudah dihafal di luar kepala. Mereka bagaikan "chatting" dalam hati alias telepati. Sorotan bahkan kedipan mata bisa berarti sebuah paragraf pembuka dalam surat permohonan. Tidak ada teriakan,"Saya di sini, di sini, berikan bolanya, cepat!". Hembusan angin mengirimi kabar ke syaraf-syaraf mereka. Oh, dia akan menerobos dari kanan. Oh, dia akan ber-tiki-taka dengan saya. Oh, dia akan menembak langsung ke gawang. Oh…Oh… dan Oh, tanda saling pengertian.   

Perilakunya mirip nelayan tradisional saat menggerebek paguyuban ikan yang sedang mengadakan pertemuan rutin. Toh, tanpa GPS, mereka bisa mendulang ikan berton-ton. Atau seperti seorang koruptor yang tahu betul kapan harus kabur ke Singapura (yang pasti sebelum keluarnya surat pencekalan dari KPK). Itulah manusia, yang dianugerahi intuisi untuk menunjang kesuksesannya masing-masing.

Mungkin, kuncinya ada pada pendidikan. Tiap masa punya generasinya masing-masing. MU pernah punya class of 92, Belanda pernah merasakan sentuhan terbaik dari generasi Ajax 70′, Portugal pernah jaya bersama golden generation di bawah kepemimpinan Luis Figo, bahkan Indonesia bisa berbangga dengan Primavera-nya. Namun untuk periode ini, jawaranya adalah La Masia.

Banyak orang mengira, intuisi terlalu klenik. Sederhananya, indera ke enam. Tapi justru saya meyakini betul, keberhasilan diakibatkan dari daya intuisinya yang tajam membaca suasana. Bisa jadi, dalam latihan, Guardiola mengarahkan bla-bla-bla. Xavi bisa membaca dimana Pedro menempatkan diri, kemana Messi berlari, atau bagaimana Iniesta mengumpan, datar atau lambung? Tapi saat pertandingan, dimana mental lebih berkuasa, maka intuisi mengambil dominasi.

Saya tidak tahu, belajar dimana untuk menguasai ilmu intuisi ini. Hanya saja, setahun lalu, saya pernah bergumul dengan pembuat kapal di Madura. Yang bikin saya heran, mereka membuat kapal tanpa secoret hitung-hitungan pun di kertas. Katanya begini,"Kalau panjangnya segini ya Mas, berarti kayu yang dibutuhkan segini, jarak dan tinggi tiangnya segitu, cadiknya segini meter dari haluan, kalau nggak gitu nanti tenggelam, bla-bla-bla,". Saya cuma geleng-geleng kepala. Kuliah dimana Pak?

Hmm
, apa intuisi itu seperti ajian atau kesaktian? Seperti seorang wali yang berjalan di atas air? Rasanya berlebihan. Lantas apa? Mungkin sepertinya lebih dekat pada kata visioner: kemampuan menebak masa depan (bukan menebak nomor togel). Walaupun suatu adagium berkata "The future’s not ours to see,", kiranya kita dipaksa menjadi John Naisbitt yang pandai menebak apa yang terjadi pada dunia sepuluh tahun mendatang.  

Saya pernah dipercaya menjadi libero. Pelatih selalu menerapkan marking man to man terhadap seorang striker yang dianggap paling berbahaya. Kadang intuisi saya kalah, kadang si striker yang menang (lebih sering striker yang menang). Yang saya kawal saat itu, bergerak bebas tanpa diketahui niatanya. Jadi saya cuma bisa menebak-nebak. Mungkin sama seperti kehidupan, sulit ditebak. Kita pun akhirnya berjudi pada keputusan yang pahit.

Begitulah sepak bola. Walau yang dilihat hanya bola yang diperebutkan 22 orang, kita bisa tertawa, menangis, tersenyum, meloncat-loncat, bahkan meraih ketegangan seperti saat Edward Cullen mencium Bella Swan. Tapi sebagai penonton yang rajin ke bioskop, biasanya tahu kemana plot akan berakhir. Itu termasuk intuisi juga ndak ya?

Bahtiar Rifai Septiansyah
"I owe to football!" (Albert Camus)

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Intuisi Messi