Siapakah ia, yang dengan begitu tegar menyaksikan kematian darah dagingnya setiap hari, menyempurnakan mayat putra-putranya yang tercecer tak karuan dan mendatangi penguburan mereka satu persatu. Seratus anak berarti seratus upacara penguburan yang harus dihadiri, seratus jasad yang harus disempurnakan, juga seratus kematian yang harus ditangisi. Dialah Gandari, ibu para Kurawa yang tampaknya memang telah ditakdirkan menanggung duka seumur hidup, dimusuhi takdir dan dikhianati Kresna.
Bayangkan sendiri bagaimana letih dan payahnya Gandari mengurus 100 orang putra, mengggantikan pakaiannya, menyusuinya satu-persatu, membina dan membesarkannya hingga dewasa dan tak henti berharap agar mereka menjadi ksatria sejati suatu saat nanti.
Namun demikianlah nasib yang tak pernah berpihak pada Gandari, harapan hanya harapan ketika menyaksikan pembantaian anak-anaknya di Kuruksetra, mimpi itu pupus sudah mengetahui kelanjutan sejarah yang hanya akan mengutuk putra-putranya. Tentu saja ia menagis, tapi ditahannya tangis itu sekuat mungkin.
Jangan pikir Gandari sama buruknya dengan putra-putranya. Ia, seperti halnya Kunti, ibunda para Pandawa juga mengajarkan kebaikan pada Kurawa, seringkali ia menasehati Kurawa untuk mengikuti dharma dan berdamai dengan para sepupunya, namun seperti kata dalang, nasehat-nasehat itu tak pernah dianggap. Perang tetap berlanjut.
Diceritakan bahwa diujung perang Gandari pernah memberikan Duryudana, satu-satunya Kurawa yang tersisa, sebuah ajian kebal yang memungkinkannya bertahan dari segala gempuran Pandawa, namun sekali lagi nasib baik tak pernah berpihak padanya. Melalui perantara Kresna, terciptalah kelemahan dari ajian kebal itu dan seperti telah bisa ditebak Duryudana pun akhirnya mati oleh gada Bima.
Menagislah Gandari, airmata yang selama ini ditahannya akhirnya tumpah juga di Hastinapura. Bagaimanapun ia hanya seorang wanita biasa. Ia kalut. Di tengah kekalutan itu keluarlah kutuk yang begitu berani. Disaksikan guntur dan diamini para dewa ia berteriak ”Tak akan selamat keturunan Kresna karena membiarkan perang terjadi. Akan saling membunuh anak-anak Kresna karena membiarkan Kuruksentra berdarah-darah. Dewa…Dewa…. dengarkan kutukku”.
…..
Penonton tercekat, kemudian hening lama, dalang menutup lakon, penonton bubar. Tapi disana duka dan gelisah Gandari abadi merasuk ke segala hati ibu diseluruh dunia.
***
Sekarang, dipelataran plasa dr.Angka dan Gedung Robotika duduk dengan sabar ibu-ibu yang menemani anak-anaknya mendaftar ulang. Di dahinya masih tersisa keringat, mungkin pagi tadi habis berkeliling di Keputih dan Gebang mencari kos yang layak untuk si buah hati, mungkin juga ia belum makan sejak pagi karena takut anaknya terlambat mendaftar ulang.
Namun di bibir mereka ada senyum yang mengembang. Dalam pikirannya ia tak sabar pulang ke kampung untuk bercerita pada jiran tetangga bahwa anaknya diterima di kampus Perjuangan. Sebuah kebanggan yang begitu wajar walau kita sering malu karenannya. Tapu lihatlah, dimata mereka ada binar harapan, harapan agar anak-anaknya sukses sejahtera. Cukuplah senyum sang anak menjadi pengganti darah dan keringat yang selama ini terlanjur keluar demi membesarkan sang anak.
Ah, saya speechless, benarlah sudah, ”kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang penggalah”. Selamat datang mahasiswa baru 2011, jangan lupakan ibumu di rumah.
Ihram
Mahasiswa Teknik Perkapalan
…ibu baru saja telepon.
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)