Suasana riang dan haru sering kali menyertai pertemuan hati setelah interaksi keseharian menimbulkan disharmonisasi. Itulah Idul Fitri, kekuatannya menyebarkan kasih sayang bagi sesama, menggelorakan rasa saling berbagi, dan menumbuhkan kembali harmonisasi antarsesama.
Bagi sebagian orang, Idul Fitri berarti terbebas dari beban akibat konsekuensi logis segenap amalan selama romadhon. Kewajiban puasa yang melarang makan dan minum selama hampir empat belas jam, sholat tarawih, bangun dini hari untuk makan sahur, atau sejumlah amalan lain yang terasa memberatkan. Pada sisi lain, perintah untuk beramal (baca: shodaqoh) menjadi beban tersendiri karena kocek harus dirogoh lebih dalam dan itu mengakibatkan budget bulanan menjadi lebih besar.
Akan tetapi bagi sebagian orang yang lain, puasa adalah bulan terindah di antara bulan-bulan yang lain karena memberikan kesempatan kepada ummat Muhammad saw untuk meraih derajat ketaqwaan. Seluruh aktivitasnya senantiasa bernafaskan ibadah. Ia tidak saja mencurahkan energinya untuk meraih kemuliaan, namun hati, pikiran, dan jiwanya ia kerahkan untuk memenuhi perintah Tuhannya serta berupaya memperoleh yang terbaik melalui serangkaian amalan yang disyariatkan selama romadhon.
Kita memamng bebas memilih. Bagi yang menganggap puasa dengan segala rangkaian ibadah dan amalannya sebagai beban, maka Idul Fitri menjadi momentum yang ditunggu-tunggu karena kedatangannya berarti pembebasan dari "penderitaan". Walhasil, puasa tidak menghadirkan kesan apa-apa dan tidak menjadi momentum penting dalam kehidupannya. Romadhon tak lebih sebagai beban ritual dan penghujung romadhon justru dianggapnya menghadirkan kegembiraan.
Bagi yang menganggap romadhon adalah bulan suci yang mengandung rahmat, pengampunan, dan pembebasan dari ancaman neraka, maka kepergiannya seolah mendatangkan duka. Ia ingin terus dalam pelukan romadhon. Ia ingin senantiasa dalam balutan romadhon karena menyadari bahwa Allah memberikan kesempatan penuh untuk meningkatkan ketaqwaannya. Lebih-lebih, janji Allah untuk menurunkan kebaikan dan kemuliaan pada sepertiga terakhir romadhon menjadikan ia semakin merasa dekat kepada Sang Maha Pencipta.
Karena itu, bagi yang menganggap romadhon adalah beban berat yang harus segera "dihempaskan" setelah berakhir, maka Idul Fitri adalah saat yang menggembirakannya dan seluruh "kenangan" romadhon pun akan segera hilang dari ingatannya. Sedangkan bagi yang menganggap romadhon adalah bulan yang memberikan kesempatan kepadanya untuk meningkatkan potensi dan kesempatannya meraih surga Allah, maka kepergiannya berbuah kesedihan dan rasa rindu untuk bertemu kembali dalam waktu segera.
Idul Fitri ditandai dengan berakhirnya puasa romadhon yang diikuti dengan sholat Idul Fitri. Bagi sebagian besar bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa serumpun, Idul Fitri berarti berkumpul dengan sanak keluarga dan handai taulan, meskipun untuk keperluan itu terkadang harus dibayar dengan harga yang cukup mahal. Tidak sedikit yang harus dikorbankan untuk memenuhi hajat silaturahim itu, termasuk dengan menempuh perjalanan jauh dengan sebutan mudik.
Perayaan menyambut Idul Fitri digelar dengan cara masing-masing sesuai kearifan lokal. Semuanya bermuara pada satu titik: merayakan hari kemenangan yang juga disebut Lebaran. Semua tradisi seputar lebaran menandai berakhirnya satu bulan penuh masa pendidikan dan pelatihan mengendalikan hawa nafsu dengan syariat yang telah ditentukan.
Idul Fitri adalah hari raya yang datang berulangkali setiap tanggal 1 Syawal, yang menandai puasa telah selesai dan kembali diperbolehkan makan minum di siang hari. Artinya kata fitri di sini diartikan "berbuka" atau "berhenti puasa" yang identik dengan makan minum. Maka tidak salah apabila Idul Fitri disambut dengan makan-makan dan minum-minum yang tak jarang terkesan diada-adakan oleh sebagian keluarga.
Terminologi Idul Fitri seperti ini harus dijauhi dan dibenahi, sebab selain kurang mengekspresikan makna Idul Fitri itu sendiri, juga terdapat makna yang lebih mendalam lagi. Idul Fitri seharusnya dimaknai sebagai "Kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci" sebagaimana ia baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor, kelahiran kembali ini berarti seorang muslim selama sebulan melewati Ramadhan dengan puasa, qiyam, dan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri, dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.
Sejatinya, Idul Fitri berarti kembali kepada naluri kemanusiaan yang murni, kembali kepada keberagamaan yang lurus, dan kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak Islami, Inilah makna Idul Fitri yang asli. Adalah kesalahan besar apabila Idul Firi dimaknai dengan "Perayaan kembalinya kebebasan makan dan minum" sehingga tadinya dilarang makan di siang hari, setelah hadirnya Idul Fitri akan balas dendam, atau dimaknai sebagai kembalinya kebebasan berbuat kemudharatan yang tadinya dilarang dan ditinggalkan kemudian.
Imam Syafii
Kasubbag pendidikan FTI
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)