Keidentikan tersebut seakan berbalik bagi segelintir orang yang mengaku masih haus akan karya dan sumbangsih (bahasa kerennya: kontribusi) pada ITS, khususnya para pelaku ormawa. Sembilan belas calon anggota Legislatif Mahasiswa (yang menurut KD KM ITS produk MUBES IV nantinya bermetamorfosis menjadi Dewan Perwakilan Mahasiswa) dan dua calon Presiden BEM ITS menjadi salah satu dari segelintir orang tersebut.
Perubahan menjadi kata sakti yang disematkan pada cita-cita dalam sebuah gelaran besar bertajuk "Pemira" ini. Bagi mereka yang baru menghirup udara perjuangan di kampus biru, tentu ini menjadi atraksi pertama yang mungkin belum pernah mereka cicipi auranya. Begitu juga dengan mereka yang sedang duduk manis di angkatan 2010. Namun bagi angkatan di atasnya, bisa jadi ini momen yang ditunggu atau juga momen yang biasa saja.
Bisa menjadi biasa jika mindset yang tertanam di alam bawah sadar mereka adalah "gue nggak ikutpun juga nggak rugi". Bisa menjadi sangat penting jika semangat "jangan dia yang menang" ada di benak mayoritas mahasiswa ITS.
Suara-suara golongan putih alias "golput" bukanlah hal baru. Tak pelak ini mendorong KPU Pemira KM ITS untuk terus berinovasi dan aktif mempromosikan gerakan antigolput meski tembok besar masih kokoh menghadang di depan. Seribu satu jurus mulai dikerahkan.
Spanduk berwarna merah menyala berisi foto kedua Capres BEM ITS mulai terpampang di beberapa sudut kampus. Poster-poster kreatif juga telah beredar. Tidak ketinggalan, para calon melalui para TSK (Tim Sukses Kampanye) mereka juga ikut menebar optimisme atas turunnya angka golput melalui usaha kreatif a la mereka.
Seru rasanya menyaksikan pertunjukan demokrasi kecil-kecilan di kampus kita tercinta ini. Salah seorang rekan (dalam media yang sama) telah menyerukan betapa indahnya ikut berpartisipasi dalam pesta pora Pemira ini.
Sepakat. Mengapa?
Dengan partisipasi kita meski hanya sumbang satu suara, kita juga berkontribusi untuk menentukan wajah KM ITS setahun ke depan. Memilih untuk diam? Maka jangan harap kita pantas melayangkan protes jika di setahun ke depan penyelenggaraan kegiatan kemahasiswaan ada yang kurang sreg dengan kehendak hati.
Jangka panjangnya, kita sedang belajar untuk peduli terhadap negara. Aneh rasanya jika kita mengkritik penyelenggara negara jika kita ternyata tidak mau dimintai partisipasi dalam sebuah gelaran demokrasi. Sementok-mentoknya kita mau golput, ya haruslah berdasar. Jangan lantang bersuara golput jika visi calon saja kita tidak mau tahu.
Ada sebuah anomali dalam pengartian kata "golput" di masyarakat dewasa ini. Tidak sedikit yang menganggap bahwa golput adalah sebuah sikap netral. Namun menurut saya, golput belum tentu netral dan netral jelas bukan golput.
Saya sepakat jika golput itu adalah pilihan. Ya, para golputers telah memilih untuk tidak memilih dan itu (mungkin) dibolehkan secara hak. Namun WAJIB dipahami dan ditelusuri mengapa pilihan itu harus jatuh pada kondisi golput. Masa bodo dengan siapapun yang menangkah? Sudah percaya kepada siapapun yang menangkah? Atau tidak puas terhadap semua calon?
Angka golput di beberapa Negara maju memang cukup tinggi. Dari beberapa sumber menyatakan bahwa alasan golput di Negara maju adalah kepercayaan yang tinggi terhadap siapapun calon yang menang setelah calon pemilih mengenal para calon (kenal dari segi latar belakang calon atau dari visi perubahannya). Mengagumkan. Di Negara berkembang? Angka golput yang mencuat lebih didasarkan kepada ketidakpercayaan terhadap siapapun yang menang. Ada pesimisme.
Terlepas dari serba serbi golput, memiliki hak memilih adalah sebuah anugerah. Bahkan pada setiap babak kehidupan kita selalu dihadapkan pada kasus-kasus pemilihan keputusan. Jangan sampai golput menjadi kedok dari sebuah kata netral atau ketidakpedulian kita. Namun jika sudah tahu alasan mengapa kita golput dan itu lebih baik (menurut yang Anda yakini), maka lakukan dengan penuh tanggung jawab.
Imron Gozali dan Muhlas Hanif Wigananda. Keduanya jelas mempersiapkan semua gambaran untuk KM ITS dalam waktu yang tidak sebentar. Tidak mengherankan juga kalau mereka juga butuh tim, pemikiran, bahkan biaya dalam persiapan mereka.
Memimpikan KM ITS bersatu bukanlah hal mustahil jika segenap mahasiswa mampu dan mau turun menyumbang karya sesuai porsi dan passion-nya. Kita mungkin mencemooh kedua calon, tapi kita patut mengangkat topi karena mereka berdua mau merelakan segalanya untuk hal yang mungkin setahun ke depan akan berdampak terhadap kehidupan kita di kampus ini.
Tebaran senyuman transformasi a la Imron akan menjadi tawaran yang menggiurkan.
Semangat progresif dalam aura bersahabat versi Muhlas tak kalah menjanjikan.
Delapan gelaran kampanye lisan menjadi ajang bagi mereka untuk mendengar suara-suara kita, wahai mahasiswa ITS! Melalui event itu pula mereka menawarkan gagasan-gagasannya.
Secara kapabilitas, tentu kita tidak bisa memandang remeh keduanya. Imron dan Muhlas sukses mengemban amanah selaku Ketua Himpunan di tahun sebelumnya. Keduanya sama-sama pernah dibesarkan dari sebuah lembaga beasiswa yang konon mengasah keterampilan leadership mereka. Dalam hal akademis keduanya sukses melampaui angka standar IPK penerima beasiswa Fast Track Jerman (3.25). Pengalaman di BEM ITS pun mereka kenyam bersama pada periode 2009/2010. Wawasan kebangsaan, kemahasiswaan, sosial kemasyarakatan juga menjadi modal kuat dari mereka.
Lantas apa yang membedakan keduanya? Hanya roadshow Pemira yang mampu memuaskan penasaran atas pertanyaan itu.
KM ITS merindukan bersatu, bukan hanya satu. KM ITS mendambakan sebuah peradaban yang mampu menetaskan teladan-teladan. KM ITS menantikan ukiran senyuman emas untuk Indonesia. KM ITS menunggu uluran tangan dan semangat segenap warganya. KM ITS terwujud dari, oleh, dan untuk mahasiswa ITS.
Mendengar, memilih, mencemooh, mencibir, bahkan acuh tak acuh memang hak prerogatif kita sebagai warga negara ITS. Namun bisa dibayangkan jika pemikiran dari keduanya mampu bersatu dan didukung penuh oleh seluruh elemen KM ITS, maka…….
Transformasi Sinergis KM ITS untuk Indonesia Impian yang Bersahabat bukanlah tinggal asa.
Aris Pradana
Mahasiswa FTI ITS
Netral bukan berarti golput. Golput belum tentu netral.
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)