ITS News

Senin, 02 September 2024
15 Oktober 2011, 09:10

Krisis Pangan dan Upaya Menuju Kemandirian Pangan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Data Food and Agricultur Organization (FAO) menyebutkan, orang lapar sedunia telah mencapai angka 1,02 milyar orang dan kawasan asia-pasifik menjadi penyumbang utama yakni sebesar 570 juta orang termasuk Indonesia.  Jumlah ini naik 11% dari tahun lalu, yakni sebesar 915 juta orang. Permasalahan tersebut saat ini banyak menjadi pusat perhatian banyak negara, terutama negara-negara berkembang.

Indonesia sendiri, sebagai salah satu dari 7 negara penyumbang kelaparan terbanyak di dunia telah dikategorikan ke dalam kategori serius dalam Global Hunger Index. Tentu saja angka kelaparan yang tinggi tersebut juga disebabkan oleh tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun ini mencatat angka kemiskinan di Indonesia mencapai lebih dari 31 juta orang. Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat pada tahun 2012 akibat krisis keuangan dunia. Tingginya angka kemiskinan berbanding lurus dengan potensi orang kelaparan karena seseorang menderita kelaparan tentu disebabkan karena faktor kemiskinan.

Harga makanan yang tinggi seringkali menjadi momok bagi masyarakat ekonomi bawah. Sebagai contoh, berdasarkan monitoring harga pangan yang diambil dari website pemerintah Surabaya (update 14 Oktober 2011), harga beras mencapai Rp. 9.200,00/kg, harga cabai mencapai Rp.10.000,00/kg, bahkan harga sayur-sayuran seperti kangkung mencapai Rp. 4.000,00/ikat. Apabila dibandingkan dengan harga pangan 30 tahun terkahir, harga-harga ini jauh melonjak tinggi. Bisa dibayangkan bagaimana susahnya keluarga ekonomi bawah makan sehari-hari dengan penghasilan yang mungkin hanya cukup untuk membeli beras saja.

Pemerintah sendiri sebenarnya telah memiliki beberapa kebijakan seputar penanggulangan krisis pangan. Kebanyakan selama ini pemerintah selalu mengimpor kebutuhan pangan dari luar negeri. BPS mencatat selama Januari-Juni 2011, impor komoditi pangan utama seperti beras, jagung, kedelai, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging sapi, mentega, minyak goreng, susu, telur unggas, kelapa, kelapa sawit, lada, kopi, cengkeh, kakao, cabai kering, dan tembakau, totalnya mencapai 11,33 juta ton dengan nilai USD5.36 miliar atau setara dengan Rp. 45 triliun. Sedangkan jika dirata-rata, impor pangan Indonesia per tahunnya adalah Rp. 110 triliun, sementara nilai pembiayaan pertanian dalam APBN hanya Rp. 38,2 triliun. Jelas hal ini akan berdampak penurunan produksi pangan dalam negeri apabila tidak dibarengi dengan kebijakan yang berpihak pada industri pangan dan pertanian lokal.

Sebenarnya istilah ketahanan pangan sendiri masih rancu untuk dipakai. Prinsip ketahanan pangan adalah tersedianya pangan yang cukup, caranya teserah, apakah mau diproduksi atau diimpor. Harusnya prinsip yang digunakan adalah kemandirian pangan yang berarti ketersediaan pangan yang berasal dari dalam negeri sendiri, dengan kata lain semuanya swasembada.

Sudah bukan menjadi hal yang baru jika masyarakat Indonesia mengandalkan beras/nasi sebagai bahan makanan pokok mereka. Padahal untuk memenuhi kebutuhan beras masyarakat Indonesia yang jumlahnya sekitar 237 juta orang, jumlah ketersediaan bahan pangan di Indonesia tidaklah cukup. Setiap tahunnya, konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia adalah 139 kg. Bisa dibayangkan, menurut data BPS tahun 2010, jumlah produksi padi di Indonesia hanya mencapai 66.469.394 ton, tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat Indonesia. Ironis sekali memang, mengingat Indonesia juga merupakan negara agraris dengan lahan pertanian yang luas. Maka dari itu, diversifikasi pangan merupakan salah satu solusi untuk mengendalikan krisis pangan.

Antara Teknologi, Keadilan Iklim dan Kemandirian Pangan

Jika dilihat sekilas memang seakan-akan tidak ada hubungan langsung antara teknologi, keadilan iklim dan kemandirian pangan. Namun, jika kita lihat lebih jauh, ketiga hal ini sangat erat kaitannya.

Seperti kita ketahui bersama bahwa untuk mengatasi semakin terbatasnya sumber energi yang ada maka baru-baru ini sumber energi alternatif semakin banyak ditemukan dan dikembangkan. Beberapa sumber energi alternatif yang ada biasanya banyak mengambil hasil perkebunan seperti singkong, jagung, minyak sawit dan jarak. Untuk memproduksi sumber energi alternatif tersebut secara besar-besaran, banyak lahan pertanian di Indonesia yang dialihfungsikan menjadi perkebunan. Hal ini menjadikan adanya ketidakseimbangan antara manusia dan mesin dalam memperebutkan hasil perkebunan yang notabene juga dapat menjadi makanan pokok alternatif pengganti beras.

Permasalahan antara pemanfaatan energi alternatif dan krisis pangan ini semakin gempar diperbincangkan akhir-akhir ini. Indonesia sempat mengalami krisis kedelai gara-gara hasil produksi kedelai di Indonesia diekspor secara besar-besaran ke Amerika Serikat saat banyak lahan kedelai di Amerika Serikat dialihfungsikan menjadi ladang jagung untuk memprodusi ethanol. Belum lagi saat terjadi krisis minyak goreng di Indonesia karena 80% CPO (crude palm oil / minyak sawit) kita banyak diekspor ke Cina, India dan Uni Eropa untuk diolah menjadi biodiesel.

Mengenai keadilan iklim sendiri, sebenarnya sistem pangan global saat ini yang dikembangkan dengan sistem monokultur dengan model industri menyumbang 44-57% dari total emisi Gas Rumah Kaca (GRAIN,2008). Emisi terbesar disumbangkan dari industri pengepakan dan transportasi pangan lintas benua yang menyumbang 15-20% emisi yang dilakukan oleh negara-negara utara ke selatan. Untuk itu, sangat perlu ditekankan adanya kemandirian pangan yang ditekankan pada produksi pangan lokal agar emisi GRK dapat berkurang.

Hari Pangan Sedunia dan Masa Depan Kemandirian Pangan

Pada tanggal 20-23 Oktober 2011, Indonesia merayakan hari pangan sedunia yang bertempat di Kabupaten Bone Balango, Provinsi Gorontalo. Gorontalo terpilih menjadi tuan rumah Hari Pangan Sedunia (HPS) dikarenakan peran aktif Pemprov Gorontalo di bidang pertanian khususnya sebagai salah satu sentra penghasil jagung nasional, serta mengingat keberhasilan masyarakat Gorontalo dalam memperkuat ketahanan pangan.

Menurut panitia, dalam acara puncak HPS nanti, kegiatan yang dilaksanakan antara lain pemberian penghargaan kepada petani/nelayan, petugas lapangan (bidang pertanian, perikanan dan kehutanan), pemberian hadiah bagi pemenang lomba, pencanangan teknologi, pembukaan pameran dan bazaar produk pertanian, gelar teknologi serta temu wicara dengan masyarakat luas yang bergerak dalam dibidang pertanian.

Tentu saja acara tersebut sangat baik sekali diadakan mengingat pemerintah masih serius dalam mengentaskan krisis pangan. Namun, lebih baik lagi hal ini ditindaklanjuti dengan sikap aktif dalam menggalakkan diversifikasi pangan, pengurangan impor pangan yang disertai dengan peningkatan mutu teknologi produksi pangan dalam negeri, serta pemusatan swasembada pangan di tiap daerah dan pemanfaatan sumber energi alternatif secara bijak yang mengedepankan kepentingan dalam negeri. Semoga kedepannya Indonesia menjadi teladan negara lain dalam kemandirian pangan, tentu saja salah satunya dengan pengembangan teknologi di Indonesia, khususnya yang berpihak pada kemandirian pangan.

Fikri Yoga Permana
Mahasiswa Teknik Elektro ITS

Berita Terkait