Masjid Jami’ Peneleh, kediaman HOS Cokroaminoto serta rumah masa kecil sang proklamator, Soekarno adalah beberapa bukti sejarah yang dapat kita temukan di Kampung Peneleh. Kampung tua yang menjadi saksi perjalanan panjang kota Surabaya.
Tak ada yang tahu pasti soal asal mula kampung yang berada di sebelah timur Kali Mas ini. Namun, beberapa sejarawan meyakini bahwa Peneleh adalah kampung kuno peninggalan kerajaan Ujung Galuh yang dulunya merupakan tempat kediaman pangeran Wisnu Wardana.
Selain kampungnya, hal lain yang juga terkenal dari Peneleh adalah makamnya. Ada yang mengatakan bahwa makam ini sudah ada sejak tahun 1814, namun berdasarkan peta Surabaya tahun 1800an, makam Peneleh diyakini berdiri sejak tahun 1834. Kapanpun itu, fakta bahwa makam ini merupakan salah satu pekuburan modern tertua di dunia tentu tak dapat terelakkan.
Di lahan makam seluas 4,5 hektar itu terbenam jasad-jasad petinggi VOC, komandan pasukan belanda, serta beberapa tokoh penting lainnya. Ornamen-ornamen dengan arsitektur khas eropa klasik, serta ukiran kalimat-kalimat dengan bahasa belanda kuno menghiasi nisan-nisan kuburan di makam Peneleh.
Sayangnya, sejarah itu kini seakan hilang tergerus waktu. Masjid Jami’ yang dipercaya sebagai masjid pertama yang dibangun Sunan Ampel itu rupanya masih kalah tenar dengan masjid Al Akbar yang jauh lebih megah dan mewah. Sedangkan makam Peneleh kini telah beralih fungsi tak ubahnya seperti tempat sampah. Bau pesing, kotoran hewan dan sampah-sampah dapat ditemui hampir di setiap sudut komplek pemakaman.
Mungkin karena kita berpikir bahwa yang dimakamkan di Peneleh adalah mantan penjajah, lantas kita bersih keras untuk bersifat acuh. Sejarah tetap sejarah, Soekarno juga pernah berkata ”Bangsa yang besar dalah bangsa yang tidak pernah lupa dengan sejarah bangsanya sendiri”. Peneleh, kampung dan makamnya adalah sejarah kota Surabaya, sejarah kita.
Mungkin, saat ini kita sedang terbius dengan indahnya gedung-gedung pencakar langit, bangunan-bangunan berdinding kaca serta gemerlapnya Surabaya sebagai kota metropolitan. Kita sibuk terlena dengan mimpi-mimpi kota modern dan tak sadar sedang menimbun sejarah kota di bawah sampah.
Surabaya sepertinya sudah tak sabar untuk segera menjadi Singapura, Seoul atau Tokyo. Tapi berhentilah sejenak, lihatlah bagaimana Singapura, Seoul dan Tokyo masih melestarikan peninggalan sejarah mereka.
Aldrin Dewabrata
Mahasiswa Teknik Sistem Perkapalan
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)