ITS News

Senin, 02 September 2024
22 November 2011, 14:11

Belum Bernilai Sebelum Bisa Dijual

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Kata-kata itu diucapkan saat berbincang mengenai mobil Sapu Angin. Mobil lima generasi yang mampu menempuh jarak 150 kilometer per liter ini telah membanggakan Indonesia dalam ajang Shell eco-marathon di Malaysia, dengan menyabet gelar juara pertama. Mobil itu telah menorehkan arti, namun mengapa ia masih disebut tak berarti?

Siapapun tentu bangga akan prestasi kampus tercinta. Saya juga sangat bangga dengan kiprah mobil buatan asli ITS itu di kancah internasional. Namun, saya tergelak shock dengan senyum terpaksa, saat mendengar statement Jusuf Kalla. Kalla melontarkan bejibun kritik yang bermuara pada sebuah kesimpulan, bahwa Sapu Angin tak bernilai sebelum ia punya level ekonomi.

Sorak galau para mahasiswa bergemuruh di seantero gedung Grha Sepuluh Nopember saat itu. Semua tampak kaget, bercampur ingin membenarkan statement Kalla. Termasuk saya, dengan berat hati bergumam, "Benar juga ya.. tapi.."

Sepulang dari acara itu, saya termenung dan berpikir. Memang benar, Sapu Angin belum punya nilai jual. Memang benar, produksi Sapu Angin memakan waktu yang lama. Memang benar, proyek Sapu Angin melahap budget yang besar. Memang benar, mobil Sapu Angin belum bisa diproduksi secara massal.

Namun, bukan berarti sebelum semua itu teraih, mobil itu tak berarti sama sekali. Apakah ukuran sebuah penemuan baru hanya dari sisi ekonominya saja? Lirik dulu sebentar, mobil itu membuat Indonesia patut berbangga padanya. Setidaknya dia menjadi berarti dengan bukti gelar juaranya. Setidaknya dia telah menorehkan secuil prestasi untuk Indonesia. Membuat bangga Indonesia, Jawa Timur, dan ITS.

Pada dasarnya, mobil Sapu Angin memang dibuat untuk kepentingan lomba Shell eco-marathon di Malaysia semata. Tidak ada maksud untuk mengembangkannya, memproduksinya secara massal, dan menjualnya. Di luar kenyataan tersebut, tidak adanya industri yang memberikan tawaran untuk bekerja sama juga menjadi faktor nomor wahid kendala sepak terjangnya.

Memang adanya Jusuf kalla dengan segala statementn-ya memberikan motivasi yang tinggi untuk para mahasiswa yang sedang menempuh studinya di bidang teknik. Agar generasi-generasi mendatang tidak membiarkan hasil karya itu berakhir hanya sampai sebatas juara lomba saja. Namun, dari perkembangan teknologi yang ada saat ini, tidak ada korelasi antara pemerintah, sektor industri, dan lembaga riset penelitian/perguruan tinggi.

Padahal, seperti dikatakan oleh Prof Ir Gamantyo Hendrantoro M Eng PhD dalam orasi ilmiahnya pada Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ITS ke-51, bahwa dalam rangka menjawab tantangan kemandirian teknologi, Indonesia membutuhkan kerjasama yang kuat antara perguruan tinggi serta pihak industri. Dan kerjasama ini perlu dijembatani oleh pemerintah.

Namun, berdasarkan indek daya saing (Global Growth Competitiveness Index), kemampuan teknologi Indonesia tertinggal dibandingkan negara Asean lainnya. Indonesia berada pada peringkat 46, jauh dibawah Malaysia (21), Singapura (2), Thailand (39), dan Brunei Darussalam (28).

Diungkapkan oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi, Gusti Muhammad Hatta, bahwa hasil-hasil survei badan dunia tersebut di atas menunjukkan bahwa kemampuan penguasaan teknologi bangsa Indonesia masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya. Padahal penguasaan teknologi merupakan modal dasar dalam menghasilkan sebuah inovasi yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Demi majunya kemandirian teknologi Indonesia, alangkah baiknya, jika dibangun kepercayaan  tinggi dari pihak industri/swasta nasional terhadap lembaga litbang atau perguruan tinggi yang telah mengadakan riset dan penelitian panjang untuk menemukan sebuah penemuan baru. Agar hasil temuan seperti Sapu Angin kebanggaan ITS ini, dapat mewujudkan mimpinya dengan mempunyai nilai jual, dan menjadi berarti dengan sesungguhnya.

Fifi Alfiana Rosyidah
Mahasiswi Sistem Informasi 2011

Berita Terkait